Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Akar Dan Bom Waktu

Ekonomi Orde Baru mendapat prioritas untuk dikaji hampir semua seginya pada konperensi "Orde Baru, dulu, sekarang, dan mendatang", yang diselenggarakan ANU di Canberra. pembicaranya: Sadli, Iwan, dll.

9 Desember 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EKONOMI Orde Baru mendapat prioritas untuk dikaji hampir semua seginya pada hari pertama konperensi "Orde Baru, Dulu, Sekarang, dan Mendatang", yang diselenggarakan Australian National University (ANU) di Canberra, Senin pekan ini. Dalam cuaca musim panas yang teduh, para pakar dari Indonesia dan Australia tampak memadati Aula Goombs ANU, tempat diskusi berlangsung. Mereka membahas ekonomi Orde Baru, suatu topik yang harus diakui, sesudah 22 tahun, tetap saja mengundang rasa ingin tahu. Seperti kata Prof. Sadli dalam pidato pembukaannya, konperensi ini mencoha memahami "binatang apa jenis ekonomi Orde Baru itu, dan apa yang membuat binatang itu bertahan selama satu generasi". Dalam paparannya yang ditaburi celetukan lucu, Sadli mengemukakan garis besar ekonomi Orde Baru, mengenai akar-akarnya, triloginya, berikut evaluasi atas empat Repelita, deregulasi, dan tantangannya di masa depan. Bicara tentang akar-akar ekonomi Orde Baru, Sadli menyebut nama Widjojo Nitisastro. Peletak dasar lainnya adalah Hatta, yang merumuskan pengelolaan ekonomi sesuai dengan asas kekeluargaan, sesuai dengan pasal 33 UUD 1945. Adapun akar politik ekonomi Orde Baru adalah kerja sama para ekonom dan ABRI yang sudah terjalin lebih awal melalui Seskoad. Salah satu pesertanya adalah Jenderal Soeharto. Membahas kebijaksanaan ekonomi Orde Baru, Sadli mengakui, dua kali devaluasi pada 1983 dan 1986, penggalakan ekspor nonmigas, deregulasi di bidang pajak, perdagangan, pasar modal, dan dunia usaha keseluruhan itu merupakan proses yang menyakitkan. Tapi, serentak dengan itu, juga bisa dicatat beberapa kemajuan. Volume ekspor nonmigas meningkat dua kali, sektor manufaktur kembali mencatat pertumbuhan double digit. Disimpulkan oleh Sadli, menjelang akhir 1980-an, ekonomi Indonesia telah mengalami restrukturisasi yang penting, kendati tak menggembirakan semua lapisan. Ilmuwan yang berorientasi ke akar rumput (grass root) cenderung menyayangkan bahwa rakyat kecil tetap saja berada paling bawah. "Beberapa bom waktu bisa didengar berdetak, barangkali," tutur Sadli. Dia, sebagaimana pernah diungkapkan Widjojo belum lama berselang, tak luput menampilkan kemungkinan akan terjadinya resesi lagi di AS. Faktor lain adalah kemungkinan pergantian kepemimpinan nasional yang, siapa tahu, bakal membawa dampak ketidakstabilan ekonomi Indonesia. Orang akan mempertanyakan, apakah generasi mendatang akan mempertahankan kebijaksanaan ekonomi yang digariskan ini. Diakuinya, para pengambil kebijaksanaan telah berusaha melembagakan reformasi ekonomi, dan dengan demikian menjamin bahwa beberapa beleid tak akan dirombak lagi. Namun, disadarinya, waktu dan kemajuan membawa tantangan yang berbeda. Prof. Widjojo, yang oleh Sadli dianggap sebagai peletak landasan ekonomi Orde Baru, secara pribadi telah mengakui adanya tuntutan agar beleid itu berubah. Sebelumnya, pemerintah memprakarsai mengatur, dan melakukan apa saja demi kemajuan ekonomi, pemerataan, dan stabilitas, sedangkan kini pemerintah diharapkan untuk memberi kesempatan kepada kekuatan-kekuatan produktif dalam masyarakat untuk terus menciptakan kemakmuran. Dikatakannya juga, pemerintah sebaiknya menjamin kestabilan politik dan membuat perannya lebih transparan. Sadli pribadi tak sepenuhnya yakin tatanan ekonomi sekarang sama sekali tak akan diutak-atik kelak. Dia menunjuk Brasil dan Filipina, yang pernah mencatat kemajuan ekonomi, tapi kemudian terbukti kemajuan itu tak terlepas dari kenyataan politik dan sosial. Pada akhir pidatonya, Sadli menyebut-nyebut adanya spekulasi kehadiran "kelas menengah" di Indonesia, salah satu produk dari kemajuan ekonomi selama 20 tahun Orde Baru. Beberapa pakar yang lebih muda adalah Mari Pangestu dan Iwan Jaya Aziz. Masing-masing bicara mengenai beleid perdagangan dan pembangunan daerah. Lalu Hal Hill mengulas masalah industri, Chris Manning bicara soal lapangan kerja, Anne Booth tentang distribusi pendapatan dan kemiskinan, dan Peter McCawley tentang bantuan luar negeri. Mari Pangestu memfokuskan kajiannya pada perdagangan sejak 1982 ke atas, ketika banyak tindakan berani diambil pemerintah, seperti pengalihan sebagian besar tugas bea cukai ke SGS, diberlakukannya kredit ekspor, dan restrukturisasi perdagangan dari ekspor migas ke nonmigas. Mari menilai, dua kali devaluasi nilai rupiah telah membawa dampak positif, setidaknya pada nilai tukar rupiah yang menjadi lebih riil, dan pada gilirannya membuat ekspor nonmigas ikut terpacu. Mengenai masa depan, Mari lebih mengkhawatirkan dampak negara maju terhadap ekspor Indonesia ketimbang proteksi yang mereka lancarkan. Mari, seperti halnya banyak ekonom lain, yakin bahwa masa depan ekonomi Indonesia banyak bergantung pada investasi modal asing, yang pada 1989 naik lumayan. Sejauh yang menyangkut ekonomi masa depan, adalah menarik pertanyaan yang dilancarkan Prof. Jamie Mackie, tentang apakah kelak para teknokrat -- kalau ada apa-apa -- masih cukup kompak untuk menghadapinya. Berkomentar tentang kekompakan yang ditanya oleh Mackie, Mari tak melihat kemungkinan ke arah itu. Ia malah khawatir, beberapa kebijaksanaan masa kini, seperti pembentukan BPIS (Badan Pengelola Industri Strategis), yang dalam pelaksanaannya mungkin saja nanti bisa memukul balik. Dari segi kebijaksanaan perdagangan, akibatnya bisa crucial. Mengapa? "Karena BPIS potensial menjadi proteksionis, sementara harga produknya bisa saja menjadi lebih melonjak," katanya. Iwan Jaya Aziz, yang membahas masalah pembangunan daerah, untuk kesekian kali menekankan pentingnya proyek Inpres, namun khawatir dananya yang makin ciut -- kini rata-rata Rp 6 ribu per kapita per tahun. Melihat kenyataan ini, dia tidak yakin apakah pembangunan akan memberi efek menetes ke bawah (trickle-down effect) seperti yang diharapkan. Anne Booth, pakar ANU yang meneliti distribusi pendapatan di masa Orde Baru, melihat terjadinya gejala membesarnya kesenjangan antara kaya dan miskin. Dalam telaahnya yang dibuat berdasarkan data survei BPS 1976, 78, dan 82, ia melihat, di Jawa kesenjangan ini bukan terjadi karena semakin fatalnya si miskin, namun karena si kaya berlari lebih cepat. Sebab, dengan ukuran apa pun, nasib keluarga miskin dalam era Orde Baru memang membaik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus