Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Yang Dipotong Suami Gelap

Alwin, 25, memotong mayat "istri" mudanya, sri undayati, di dusun ambalau, agam, sum-bar. Sebelumnya Sri ditusuk parang & dicekik. Alwin jengkel, karena Sri ngotot ingin serumah dengan istri pertamanya.

9 Desember 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMOTONG-MOTONG mayat korban untuk menghilangkan jejak sudah menular ke luar Jawa. Yenni Farida, 14 tahun, Senin dua pekan lalu, menjerit ketakutan begitu melihat mayat tanpa kepala dan tangan menyembul dari lumpur, di tepi pematang sawah. Teriakan gadis kecil segera menggegerkan Dusun Ambalau, Desa Sidang Tengah, Kecamatan Matur, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Kapolsek Matur, Letnan Dua Salman Bahar, yang datang ke lokasi menyaksikan korban, seorang wanita muda tewas mengerikan. Selain kehilangan kepala, tubuh korban ditebas dari ketiak dan isi perutnya hilang. Mayat di dusun kecil itu nyaris pula misterius. Sebab, tak seorang penduduk pun yang kehilangan anggota keluarganya. Untunglah, polisi tak hilang akal. Letda. Salman Bahar mendata semua warga yang meninggalkan desa dalam sepekan terakhir. Dari data itu, ditemukan nama Alwin, 25 tahun, yang baru saja pulang ke desa itu setelah tiga tahun merantau ke Duri, Riau. Enam belas hari sebelumnya, Alwin pulang ke dusun itu membawa seorang wanita asal Nganjuk, Jawa Timur, Sri Undayati, yang diakui Alwin sebagai istrinya. Karena senang, orangtuanya, Marsidin dan Nurijah, pada 10 November membikin helat peresmian pernikahan anak ketiganya itu. Pasangan itu kelihatan mesra. Bahkan Alwin sempat berbendi-bendi bersama Sri ke obyek wisata di Puncak Awang. Rupanya, di hari-hari bahagia itu Alwin sibuk membujuk Sri untuk tinggal di dusun tersebut bersama kedua orangtuanya. Ia sendiri berniat kembali ke Duri, tempat istri pertamanya, Syahrini, menetap. Ternyata, Sri ngotot ingin ikut kembali ke Duri. Alwin panik. Pada Rabu dinihari, 15 November lalu, Sri meminta suaminya menemaninya ke kamar mandi di belakang rumah untuk buang air kecil. Kesempatan itu tak disia-siakan Alwin. Ia segera menyelipkan parang ke balik bajunya. Begitu Sri keluar dari kamar mandi, Alwin menusukkan parang ke perut wanita malang itu. Teriakan Sri tak sempat didengar orang lain karena Alwin dengan cepat mencekik lehernya. "Ia mati ketika itu juga," kata Alwin. Mayat Sri diseret Alwin ke tengah sawah, 100 meter di belakang rumah orangtuanya. Di situ dia menggorok leher korban sampai putus. Kedua tangan korban dipenggal. Kepala dan kedua tangan itu ditanam di bawah rumpun padi di tempat berlainan. Ia juga mengorek isi perut korban dan mencampakkannya ke tengah-tengah sawah. Setelah melucuti anting-anting, kalung, cincin, dan arloji korban, Alwin membenamkan mayat tanpa kepala itu ke lumpur sawah. Kemudian lumpur itu diratakannya. Kepada ibunya, Nurijah, Alwin memberi tahu bahwa Sri sudah duluan pulang ke Duri. "Dia tak sempat permisi karena takut mengganggu tidur Ibu," kata Alwin. Dua hari kemudian, Alwin menyusul ke Duri. "Saya pikir penghapusan jejak pembunuhan itu sudah bagus," kata Alwin kepada polisi. Ternyata, tidak. Salman Bahar dan anggotanya, yang memburu ke Duri, menangkap pembunuh itu 23 November lalu. Alwin, yang pernah dihukum tiga bulan penjara karena menikam mamaknya, diboyong ke Polres Agam di Bukittinggi. Ia pula yang membantu polisi menemukan potongan-potongan mayat korban. Alwin, yang berkumis tebal dan berhidung mancung, mengakui perbuatannya. "Karena Sri bandel," alasan Alwin. Ia, katanya, tak ingin Sri ikut ke Duri karena di situ ada "istri pertamanya", Syahrini, yang kini hamil 7 bulan. Lulusan sekolah teknik yang sehari-hari bekerja sebagai keamanan sebuah panti pijat di Duri itu mengenal Syahrini di tempat kerjanya. Dua bulan lalu, ia jatuh hati kepada Sri, janda beranak dua, penghuni baru panti pijat tersebut. Mereka kemudian kumpul kebo. Hanya saja hubungan mereka itu tak diketahui Syahrini. Sebab itu, Alwin ingin mengungsikan "istri" mudanya itu ke kampungnya. Ternyata, "kemesraan" berubah menjadi kesadisan di tanah kelahirannya. Monaris Simangunsong & Fachrul Rasyid (Padang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus