JATAH produksi minyak buat 13 negara anggota OPEC tetap saja menjadi masalah rawan. Selama ini, atap itu masih dianggap rendah, dan gampang disundul oleh kapasitas produksi yang berlebih. Semester kedua tahun ini, misalnya, jatah produksi resmi dipatok 20,5 juta barel sehari. Tapi, minyak OPEC yang mengucur di pasar membubung sampai 23 juta barel. Maka, sidang ke-86 OPEC di Wina, yang berakhir Selasa pekan lalu, berani mematok kuota 22 juta barel sehari. Kecuali sekadar menutup kebocoran "atap" pagu produksi, keputusan kuota baru itu juga dinilai lebih pragmatis dan realistis. Maksudnya, putusan itu tetap mempertimbangkan bahwa negara anggota akan memproduksi lebih manakala permintaan minyak sedang meningkat. Sidang kali ini, nampaknya, lebih business like dan kurang diwarnai pertentangan politik. Konflik Iran-Irak -- yang membuat sidang tahun lalu terulur gara-gara keduanya tak mau jatahnya disamakan -- sekarang praktis sudah "gencatan senjata". Seperti biasanya, lobi dari kamar ke kamar, di Hotel Marriot, tetap berperan penting. Yang sekarang agak lain adalah tampilnya langgam baru negara-negara Teluk. Biasanya, hanya empat negara moderator OPEC -- Aljazair, Indonesia, Nigeria, dan Venezuela -- yang aktif mengupayakan kompromi. "Sekarang, empat negara Teluk juga aktif mencari penyelesaian masalah," kata Prof. Soebroto, ketika dihubungi TEMPO di rumahnya di Wina, akhir pekan lalu. Sekarang Kuwait, yang suka bengal melanggar kuota, sudah cukup puas diberi jatah 1,5 juta barel (sebelumnya 1,14 juta barel). Berarti, produksinya yang sekarang mencapai 2,3 juta barel sehari, terpangkas sekitar 800 ribu barel. Kenaikan jatah resmi Kuwait, kali ini, antara lain berkat kemurahan Menteri Pertambangan dan Energi RI Ginandjar Kartasasmita, yang dengan suka rela dan terang-terangan mau mengurangi produksinya 100 ribu barel sehari. Jatah Indonesia tetap seperti kuota Semester II 1989, yakni 1,37 juta barel. "Untuk kondisi sekarang kami lebih suka membiarkan minyak Indonesia tetap di perut bumi daripada memproduksinya," ujar Ginandjar kepada wartawan di Tokyo, akhir bulan lalu. Sementara itu, Uni Emirat Arab (UEA), rekan badung Kuwait, tetap tak merasa perlu menaati jatahnya yang 1,09 juta barel sehari, kendati ikut menandatangani resolusi. Belakangan, diketahui bahwa UEA dengan ugal-ugalan menggenjot produksi sampai 2,6 juta barel. Tapi, Menteri Perminyakan UEA Mana Saeed Al-Otaiba berjanji bakal memompa 2 juta barel saja. Sisi positif lain, sidang berhasil merumuskan "harga patokan minimal" US$ 18 per barel. Tambahan kata "minimal" itu mencerminkan tekad para anggota untuk mencapai tingkat harga yang lebih baik. Harga rata-rata minyak OPEC sekarang sekitar US$ 17,76 sebarel. "Dengan mengatur produksi, kita memperhitungkan harga US$ 18 itu bisa dicapai," kata Soebroto meramal. Bagaimana minyak Indonesia? Minas, jenis minyak ringan Indonesia, untuk penyerahan November kemarin di Tokyo seharga US$ 17,86, naik 50 sen dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Menurut laporan Seiichi Okawa, wartawan TEMPO di Tokyo, pembeli Jepang mengeluh dengan harga segitu. Minas menjadi mahal, karena harganya terkait dengan minyak Tapis (Malaysia) dan Gippsland (Australia) yang juga meningkat. Yang menggembirakan, ternyata permintaan minyak Indonesia di Jepang meningkat 60% untuk bulan Desember yang dingin ini. Jepang meminta minyak mentah sekitar 330 ribu barel sehari. Tapi, Jepang khawatir, Indonesia hanya mampu memasok 250 ribu barel. Kalau posisi Indonesia bisa terus begitu, pasti keuntungan yang diraih dari selisih harga pasar dan patokan US$ 14 sebarel, bakal lebih dari US$ 1,2 milyar di atas proyeksi APBN tahun ini. Bchtiar Abdullah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini