Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Anak SD hingga Pengemis jadi Pemain Judi Online, PPATK: Mayoritas Transaksi di Bawah Rp 100 Ribu

PPATK mencatat 80 persen pemain judi online melakukan transaksi dengan nominal kecil sekitar Rp 100.000. Pemain dari anak SD, pekerja bahkan pengemis. Pemain judi online rentan terjerat pinjol dan penipuan karena tidak memadainya penghasilan yang legal untuk mendukung dalam berjudi.

16 Juni 2024 | 12.53 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi judi online. Pixlr Ai

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat 80 persen pemain judi online melakukan transaksi dengan nominal kecil sekitar Rp 100.000. Koordinator Kelompok Humas PPATK, Natsir Kongah, mengatakan dari data transaksi dan pengaduan masyarakat yang diterima lembaganya, judi online telah masuk ke berbagai kalangan terutama masyarakat kelas menengah ke bawah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Natsir mengatakan total agregat transaksi kalangan masyarakat umum seperti ibu rumah tangga, pelajar, pegawai golongan rendah dan pekerja lepas telah mencapai lebih dari Rp 30 trilliun. “Diketahui banyak anak-anak belum dewasa, kelompok usia SD, SMP, para pengemis, mereka yang tidak memiliki pekerjaan, para pekerja sektor informal, bermain judi online menggunakan nama dan rekening perantaranya,” ujarnya kepada Tempo, Sabtu, 15 Juni 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia berujar, anak-anak dapat bermain judi online dengan menghimpun dana dalam kelompok-kelompok tertentu menggunakan rekening perantara. Data transaksi tersebut mengindikasikan fenomena judi daring sudah masuk ke hampir semua kalangan, dari usia anak-anak hingga usia tua bahkan pensiunan. Hampir 3 juta pemain merupakan kelas menengah ke bawah berdasarkan data rekening yang digunakan.

Beberapa data yang masuk ke PPATK, juga mengindikasikan keterkaitan judi online dengan perbuatan melawan hukum, misalnya pinjaman online, penipuan dan lainnya. “Karena tidak memadainya penghasilan yang legal untuk berpartisipasi dalam judol ini,” ujar Natsir.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Usman Kasong sempat menyebut para pemain judi online tersebut sebagai korban karena sebagian besar transaksinya dalam jumlah kecil. “Kami anggap mereka sebagai korban, karena itu pemerintah serius melakukan pemberantasan,” ujarnya.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy juga sempat mengusulkan agar korban judi online masuk ke dalam penerima bansos. "Kami sudah banyak memberikan advokasi mereka yang korban judi online ini, misalnya kemudian kita masukkan di dalam DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) sebagai penerima bansos," ujarnya 13 Juni 2024, seperti dikutip dari Antara.

Muhadjir menegaskan bahwa praktik judi baik secara langsung maupun daring dapat memiskinkan masyarakat, sehingga kalangan tersebut kini berada di bawah tanggung jawab kementerian yang ia pimpin.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus