Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Perencana keuangan dari Financial Counsulting, Eko Indarto, memperkirakan menabung saham untuk investasi jangka panjang masih prospektif di tengah ancaman resesi 2023. Namun untuk investasi menengah, masyarakat bisa memilih bentuk investasi lain, seperti emas atau valas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Khususnya untuk yang punya kepentingan di mata uang asing,” ujar Eko kepada Tempo, Minggu, 9 September 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sisi lain, Eko menyarankan investor lebih dulu menghindari investasi di sektor properti, kripto, dan investasi spekulatif tinggi lainnya. Bentuk investasi tersebut memiliki risiko lebih tinggi.
“Sementara waktu, maksimalkan di emas, obligasi, dan reksa dana pendapatan tetap,” kata dia.
Kendati demikian, Eko mengatakan masyarakat tidak perlu takut berinvetasi. Investasi justru dianggap lebih baik daripada berutang. “Tetap investasi berapa pun dana yang ada. Kurangi dan jauhi utang, atau coba untuk mendapatkan other income,” ujarnya.
Baca juga: Perbedaan Resesi dan Depresi Ekonomi
Isyarat resesi ekonomi santer terdengan akhir-akhir ini. Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira membeberkan dampak dari ancaman resesi 2023 terhadap Indonesia. Salah satunya, kata dia, adalah pelemahahan nilai tukar rupiah terhadap dolar secara kontinu.
“Mungkin rupiah akan mencapai titik Rp 15.700 sampai Rp 16.000 per dolar Amerika Serikat, itu masih dalam batas yang moderat,” ujar dia melalui sambungan telepon Sabtu malam, 1 Oktober 2022.
Kemudian, Bhima melanjutkan, pelemahan nilai tukar rupiah itu juga bisa menyebabkan imported inflation dari biaya impor, terutama impor pangan yang ketergantungannya makin tinggi. Contohnya, gula, garam, gandum, bawang putih, dan daging. Itu kemungkinan bisa mempengaruhi biaya bahan baku dari inflasi 2023.
Selanjutnya adalah stagflasi di dalam negeri. Dia berujar, setelah melihat data pengangguran usia muda, yang sebelumnya pada 1997 itu angkanya 14,6 persen, pada 2021 menjadi 16 persen.
“Jadi situasi sekarang sebenarnya, stagflasi ini kan kondisi harga barang naik tidak imbangi oleh kesempatan kerja, jadi harga barangnya naik, inflasinya diperkirakan tahun ini 7 persen lebih sementara dari kesempatan lerjanya terbatas,” ucap Bhima.
Dia menilai hal itu berisiko dan efeknya bisa ke mana-mana. Efek tersebut mulai pendapatan negara, aktivitas konsumsi rumah tangga, hingga realisasi investasi. “Karena kan orang mau investasi melihat domestiknya masih solid apa enggak. Ya, jadi itu risikonya,” tutur Bhima.
RIRI RAHAYU | M. KHORY ALFARIZI
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.