Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Antara laba dan sikap waspada

Perolehan laba bank swasta menurun. disebabkan karena kredit macet dan biaya modal yang harus ditanggung.

12 September 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK semester pertama tahun 1992, bankbank swasta papan atas ternyata mengalami penurunan laba yang cukup memprihatinkan. Ada yang menganggap bahwa penurunan laba itu hanya soal biasa dalam dagang. Tapi banyak pula yangmenilai urusan ini terbilang gawat, mengingat sejak tahun 1988 sampai semester pertama tahun 1991, pendapatan perbankan belum pernah turun. Otoritas moneter memang telah berhasil mengendurkan ketegangan melalui penurunan tingkat suku bunga. Selama enam bulan, dari Desember 1991 sampai Juni 1992, bunga deposito di bank Pemerintah dan swasta sudah turun 1-3%,menjadi 16% sampai 18% setahun. Sesudah itu, suku bunga pinjaman pun secara lebih pelan juga merayap turun, kendati ratarata masih di atas 23%. Angka inimemang lebih baik dari ratarata Mei tahun 1991, tapi masih cukup jauh dari target yang diinginkan Bank Sentral, yakni bunga ratarata 19-21% pada akhirtahun 1992. Seiring dengan itu, banyak bank masih mengalami kesulitan menarik dana yang telah mereka pinjamkan. Ini terjadi, karena nasabah mengalami paceklik cashflow (uang tunai) akibat kebijaksanaan uang ketat dan tak sanggup bayar cicilan. Bahkan, untuk sekadar membayar cicilan bunga saja, banyak yang tak mampu. Ada pula yang karena terpaksa harus melepas sebagian aset mereka,misalnya gedung bertingkat. Para bankir swasta mengakui bahwa kredit macet adalah salah satu penyebab mengapa perolehan laba mereka merosot. Kalaupun laba masih diperoleh, sebagiandimanfaatkan untuk membentuk cadangan yang lebih besar, agar bisa menutup lubang akibat kredit macet tersebut. Vice President Bank Internasional Indonesia (BII), Hidajat Tjandradjaja, mengatakan bahwa di BII untuk tahun 1991 cadangannya hanya Rp 24 milyar. Karena ada sejumlah kredit yang macet, sekitar 3% dari seluruh dana yang dipinjamkannya, dan ini berarti meningkat dibandingkan tahun lalu yang 2%, BII sekarang menambah cadangannya menjadi Rp 6 milyar. Semester pertama tahunsilam, laba BII lebih dari Rp 63 milyar (sebelum pajak), tahun ini turun menjadi Rp 62 milyar. Sebab lain yang diakui kalangan perbankan sebagai biang penurunan laba adalah cost of money atau biaya modal yang harus ditanggung bank, yakni berupa bungadeposito dan tabungan yang sempat gila-gilaan. Bahkan, sampai awal 1992,timbul persaingan tak sehat, yakni pemberian bunga istimewa (melebihi yang diumumkan secara resmi) bagi para nasabah besar. Ketika bunga pinjaman menjadi sangat tinggi, sampai ratarata di atas 27% per tahun, BI masih berusaha menurunkannya dengan mekanisme SBI (bersifatkontraktif) dan SBPU (menambah likuditas). Namun, upaya itu disambut dingin oleh para bankir. Sampai awal 1992 mereka tetap memasang bunga deposito setinggi 22%, dengan bunga kredit tetap di sekitar 27% setahun. Maklum, banyak bank (termasuk deretan papan atas) yang hidupnya masih tergantung dari spread (selisih antara bunga pinjaman dan deposito) yang tinggi, sampai lebih dari 5%. Padahal, empattahun silam, umumnya bank bisa hidup dengan spread 3%. Saat itu, SBI yang bunganya 17,5-18,5% justru lebih digemari para bankir daripada harus memutar dananya dalam bentuk kredit. Mereka ekstra hati-hati menyalurkan pinjaman, tak lain karena takut macet. Memang, ada juga alasan sampingan, seperti demi mengamankan modal atau agar bisa memenuhi batasan CAR(capital adequacy ratio atau kecukupan modal terhadap aset berisiko) 5% per Maret lalu. Apa pun alasannya, "Langkah seperti itu merugikan," demikian kata seorang pemilik bank swasta devisa kepada TEMPO. "Terjadi negative margin yang menggerogoti pendapatan yang lain. Tentu saja keuntungan jadi berkurang." Situasi seperti itu digambarkan oleh bankir senior Marjanto Danoesapoetro,yang aktif di Federasi Bank Perkreditan Rakyat Indonesia itu, "Seperti kudalari kencang yang kemudian dilaso." Memang, melalui Pakto 1988, perbankan dalam negeri menjadi lebih bebas berkembang. Tapi, dengan Paket Februari 1991mereka seperti dihentikan mendadak. Kemudian dicekal lagi dengan keharusan memenuhi batasan CAR, sesuai dengan ketentuan Bank for InternationalSettlements (BIS) dan diikat LDR (loan to deposit ratio atau perbandingan antara kredit yang diberikan dan dana yang diperolehnya). Ada yang berpendapat bahwa otoritas moneter memberlakukan semua itu untuk terapi, agar perbankan nasional menjadi lebih sehat dan kuat. "Tapi dosisnyakelewat tinggi. Mestinya diberikan secara bertahap," komentar Marjanto. Obat yang kelebihan ukuran itu memang kemudian membuat perbankan tidak hanya menjadi lebih hati-hati, tapi juga seperti takut melangkah. Juni lalu, PresidenDirektur BCA Abdullah Ali sempat menyatakan, "Jika kelak terbukti banyak deposan lari karena suku bunga diturunkan, kami tidak akan menutup mata. Suku bunga pasti segera kami naikkan." Sikap seperti ini juga dikibarkan oleh bank Pemerintah. Lihat, misalnya Bank Bumi Daya, yang menurut neraca per 31 Maret lalu mencatat deposito Rp 7,5trilyun atau 34% dari total asetnya. "Kami harus berpikir dua kali untuk menurunkan suku bunga deposito atau menghapuskan hadiah tabungan," kata seorang anggota direksi BBD. Dalam situasi seperti itu, bank-bank Pemerintah pun mengalami kemunduran.Lima di antara mereka, Bank Exim, BBD, BDN, BNI, dan BRI, harus terbang ke Washington untuk memperoleh pinjaman dari Bank Dunia (total US$ 300 juta).Pinjaman ini perlu supaya modal lima bank BUMN itu bisa mencapai CAR 8% per Maret 1993, sesuai dengan ketentuan BI. Pekan lalu sempat pula tersebar isu bahwa untuk CAR mereka akan memperoleh dispensasi dari Bank Sentral. Maksudnya? CAR yang 8% itu boleh dicapai lebihlambat dari waktu yang sudah ditentukan. Berita ini kemudian dibantah oleh Direktur BI Dahlan Sutalaksana. Ditegaskannya bahwa semua bank memperoleh perlakuan sama. Otoritas moneter sendiri, setelah mengekang laju bank-bank tersebut, masih menegaskan bahwa perlu sikap hati-hati dalam mengatur suku bunga agar nasabah tidak lari. Ini dikatakan sendiri oleh Menteri Keuangan JB Sumarlin. "Kita harus hati-hati. Jangan sampai penurunan bunga ini menyebabkan capital flight," katanya. Kekhawatiran pelarian modal ke luar negeri itu agaknya timbul karena sampai Juni lalu, bunga simpanan dolar AS masih bisa mencapai sekitar 4%. Kalau deposito di sini 17%, setelah pajak menjadi sekitar 14,4%, dan dipotonginflasi 8% (proyeksi sampai akhir 1992), bunga yang diterima nasabah riilnya 6,4%. Bedanya tak banyak, lagi pula dengan dolar di luar negeri nasabah merasalebih aman. Masih perlukah sikap mengekang diri itu sekarang, dengan tetap tidak mau menurunkan suku bunga, sedangkan risikonya adalah penurunan laba? Dahlan Sutalaksana menegaskan, "Tidak." Dari hasil perhitungan BI terhadapkecenderungan suku bunga internasional dan deposito rupiah, diketahui bahwa sekarang pun menyimpan rupiah ternyata masih menguntungkan. Hitung saja, suku bunga simpanan dolar AS sekarang sudah sekitar 3%. Jika bunga deposito rupiah sekarang rata-rata 16,5% setahun, angka riil yang selayaknya diperoleh nasabah (setelah dipotong pajak dan inflasi) masih lumayan, yakni lebih dari 6%. Sikap terlalu hati-hati, bukan tidak menelan biaya. Menurut seorang bankir swasta, kini banyak bank besar yang hidupnya masih bergantung pada spread 5w7%. Dan ini tak semuanya masuk ke dalam perolehan, apalagi laba. Soalnya,sebagian sudah disedot untuk menebus biaya bunga simpanan (cost of money) yang sempat kelewat tinggi. Dan sekarang, belum pula diperoleh kompensasi dari perolehan bunga pinjaman. Mohamad Cholid, Bambang Aji, dan Wahyu Muryadi (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus