KELOMPOK Delapan, yang beken dengan nama Kodel, ternyata benar-benar siap untuk terjun ke industri perhotelan. Manakala proses pembangunan Regency Hotel -- ini proyek hotel milik Kodel yang pertama -- belum tuntas, pekan lalu Kodel sudah mengumumkan rencana pembangunan hotelnya yang kedua, yakni Tamarind Ibis. Berbeda dengan Regency yang dibangun di kawasan segitiga emas, Jakarta, Tamarind didirikan di Jalan Wahid Hasyim, yang juga pusat keramaian Jakarta.Dan jika Regency menyandang bintang lima, Tamarind ditargetkan untuk bintang tiga saja. Total investasi yang dibutuhkan (Rp 24 milyar), 65% di antaranya sudah memiliki jaminan pinjaman dari BBD. Sementara itu, sisanya ditanggung oleh tiga pemodal yang bergabung dalam PT Tamarindo Nusa Hotel (TNI). Merekaadalah: Kodel Invesindo Nusa yang menguasai 52,5% saham, PT Yanatera 37,5%, dan PT Sartindo Pranamega 10%. Menurut Bachrumsjah Hamzah, Direktur Utama TNI, para pemodal Tamarind optimistis kalau hotel dengan 130 kamar itu akan untung. Ini jika dilihat dari data tingkat hunian hotel berbintang tiga di Jakarta. Pada tahun 1990,misalnya, 1.400 kamar hotel kelas ini memiliki tingkat hunian hingga 78%.Tahun lalu, kendati jumlah kamar meningkat menjadi 2.200 buah, tingkat huniannya malah naik menjadi rata-rata 89%. Berpegang pada pertumbuhan seperti itu, wajarlah jika Bachrumsjah, yang berniat membidik pengusaha kelas menengah sebagai tamunya, juga optimistis.Katanya, Tamarind bisa mencapai titik impas dalam waktu tujuh tahun hanya dengan tingkat hunian 65%. Haji Saidin, pengusaha kayu dan kontraktor di Kalimantan Tengah juga sudah mengintip bisnis bintang tiga sejak lama. Diakini tengah membangun Hotel Dewi Wisata, yang dibangun di atas tanah 22 hektare di kawasan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Pak Haji mengatakan bahwa hotel yang akan beroperasi di akhir 1992 ini akan menghabiskan Rp 20 milyar. Itu untuk membuat bangunan bertingkat empat yangmemiliki 107 kamar, plus 60 pondok (cottage). Di samping itu, hotel yang dicanangkan berbintang tiga ini akan memiliki helipad, diskotik, kolam renang, bar, dan lapangan tenis. Peluang bintang tiga dilihat Saidin dari indikator jumlah turis asing yang yang datang ke Kalimantan Tengah. Jumlah mereka tiap tahun terus meningkat.Tahun lalu, turis asing yang datang ke KalTeng mencapai 1.500 orang atau naik 30% dibandingkan tahun sebelumnya. Satu hal yang tampaknya terlupakan oleh Pak Saidin, yakni pesaing di sekitarnya. Di KalTeng, tepatnya di Palangkaraya, kini telah beroperasi dua hotel baru, yakni Dandang Tingang, yang berbintang dua, dan Hotel Sakura dengan satu bintang. Selain itu, seribu turis yang datang ke KalTeng selalu mempunyai tujuan Taman Nasional Tanjungputing. Dan mereka biasanya menginap diHotel Rimba, karena kunjungan ke habitat orang utan selalu berupa satu paket (termasuk menginap di Hotel Rimba). Memang, hotel milik Haji Saidin hanya berjarak 12 kilometer dari Taman Nasional tersebut. "Tapi, saya tetap tidak mengerti, bagaimana perhitungan bisnis yang dipakai Haji Saidin," kata Abdul Rasyid, salah seorang pengusaha sukses di KalTeng. Namun, Haji Saidin tetap meneruskan proyeknya. Dan ia yakin bahwa hotelnya yang akan bertarif Rp 150.000 semalam, akan mampu menarik pengunjung. "Sayaperkirakan dalam waktu lima tahun kami sudah bisa menarik untung," katanya. Optimisme Haji Saidin didukung oleh Sofyan Ponda, pemilik PT Sofyan Hotel yang kini mengelola tiga hotel. Dua bulan lagi, sebuah hotel lain miliknya --juga berbintang tiga -- akan mulai beroperasi di Jalan Cut Mutiah, Jakarta Pusat. "Hotel kelas ini (maksudnya bintang tiga) sangat strategis sekali bagi investor bidang perhotelan," tutur Sofyan. Alasannya? Dengan tarif lebih murah, hotel bintang tiga, yang bertarif US$ 54-94 per malam -- bisamenyediakan fasilitas yang tak jauh berbeda dengan hotel-hotel bintang empat dan lima. Mulai dari sambungan telepon langsung internasional, hingga ke fasilitas rekreasi dan olahraga. Begitu pun dalam hal lokasi, hotel bintang tiga tak kalah strategis. Menurut Sofyan, hotel bintang empat dan lima hanya dikonsumsi oleh kalangan bergengsi tinggi, sedangkan bintang tiga cocok bagi pengusaha yang menginginkan perjalanannya efisien, efektif, dan irit. Kalangan pengusaha kelas menengah juga tak luput dari incaran Grup Santika, yang kini mengelola lima hotel di Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Kuta. Menurut Hari Kusnanto, Direktur Pemasaran Santika, empat hotelnya yang berbintang dua dan tiga memiliki tingkat pengisian yang lumayan, 87-91%. Sedangkan Santika yang berbintang empat (di Semarang) tingkat occupancy rataratanya hanya 60%. Mungkin karena itulah, Santika tak ingin bergeser dari kelasnya. Tak lama lagi, dua hotel berbintang tiga lainnya akan dibangun Santika di Jakarta dan Surakarta. Sampai kapan lahan usaha di hotel berbintang tiga ini akan menarik alias menguntungkan? Kalau cuma untuk Jakarta dan sekitarnya, Sofyan Ponda punyaperhitungan. Katanya, kota metropolitan ini masih membutuhkan sekitar 2.000 kamar. Berarti, jika target itu telah terpenuhi, lahan ini akan jenuh aliastidak menguntungkan lagi bagi pendatang baru. Tak heran bila Sofyan berwanti-wanti. "Tetaplah berhati-hati dalam investasi. Jangan terlalu royal," pesannya. Budi Kusumah, Ardian T. Gesuri, Indrawan, dan Almin Hatta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini