Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tersebab Setrum Surya Hemat Biaya

Pengguna panel surya menikmati pengurangan tagihan listrik bulanan hingga 80 persen. PLN mengganjal para peminat energi bersih ini dengan syarat dan pembatasan.

18 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pembangkit Listrik Tenaga Surya di atas dealer IMM Toyota Mojokerto, Jawa Timur. Foto: Utomo SolaRUV

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pengguna PLTS atap menikmati pengurangan tagihan listrik dari PLN.

  • Pengguna PLTS atap bisa mengekspor listrik kepada PLN.

  • PLN kini memperketat syarat pemasangan PLTS atap.

TERIAKAN lantang Gede Robi, vokalis band Navicula, yang membawakan lagu “Metropolutan” menemani aktivitas I Gusti Agung Putra Dhyana alias Gung Kayon pada Kamis petang, 17 Juni lalu. Saat itu Gung Kayon sedang memotong rumput dan menyapu daun kering di belakang rumahnya di Desa Geluntung, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, Bali. Sembari bekerja, pria 52 tahun ini menggendong tas punggung berisi baterai 24 volt/9 ampere-jam dan dua panel surya dengan daya masing-masing 10 watt-peak (WP).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Panel surya penghasil setrum itu ia gunakan untuk menyalakan mesin potong rumput. "Dengan bantuan panel surya bisa bertahan satu jam untuk potong rumput,” katanya kepada Tempo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak cuma untuk menyalakan mesin potong rumput, Gung Kayon juga memasang panel surya di atap rumahnya. Dia mengaku memakai instalasi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap sejak 2016.

Bertahun-tahun memanfaatkan PLTS atap, Gung Kayon tak terlalu bergantung pada aliran listrik dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN. Meski begitu, dia tetap berlangganan listrik dari PLN berdaya 1.300 volt-ampere (VA) dengan biaya rata-rata Rp 20 ribu tiap bulan. “Listrik PLN cuma jadi cadangan,” ujarnya.

Sejak 2016, Gung Kayon aktif memasang PLTS untuk kliennya, para ekspatriat yang tinggal di Bali. Menurut dia, minat masyarakat memanfaatkan sinar matahari sebagai sumber energi listrik cukup tinggi di Bali. Kebanyakan pengguna energi bersih ini adalah warga negara asing.

Hal serupa dialami I Gede Putra Angga Sastra. Pria 42 tahun warga Desa Paksebali, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung, Bali, ini memasang enam panel surya dengan daya maksimal 2.700 WP pada Oktober tahun lalu.

Setelah memasang panel surya di atap rumahnya, Angga bisa memangkas lebih dari 70 persen biaya listrik bulanan. Sebelum memakai PLTS atap, saban bulan Angga harus membayar tagihan listrik Rp 800 ribu. "Setelah memakai PLTS atap, hanya Rp 145 ribu. Listrik yang saya hasilkan juga dijual ke PLN,” ucapnya.

Angga mengaku mengenal PLTS atap dari keponakannya yang menjalankan bisnis instalasi perangkat tersebut. Dia mengeluarkan uang Rp 50 juta untuk memasang PLTS atap. “Keuntungannya, bayar listrik ke PLN menjadi murah,” ujarnya. Penjualan atau “ekspor” listrik dari panel surya menjadi bentuk kompensasi dari PLN yang mengurangi tagihan Angga.  

Di sekitar rumahnya, kata Angga, saat ini baru dia yang menggunakan PLTS atap. Alat ini mengundang rasa penasaran sekaligus minat para tetangganya. Tapi, menurut dia, mereka mundur setelah mengetahui harga dan biaya pemasangan alat tersebut.

Di Surabaya, ada Elieser Tarigan yang memasang PLTS atap pada 2012. Dosen sekaligus Kepala Pusat Teknik Lingkungan dan Energi Terbarukan Universitas Surabaya itu merasa panel surya menjadi pilihan terbaik untuk menghemat biaya listrik yang ditagihkan PLN. “Saya bisa menghemat biaya sangat banyak,” tuturnya pada Kamis, 16 Juni lalu.

Panel surya di posko wisata sawah Sumber Gempong, Trawas, Mojokerto, Jawa Timur. Foto: Utomo SolaRUV

Elieser memasang panel surya seluas 10 meter persegi di atap rumahnya di Jalan Wiguna Selatan, Kecamatan Gunung Anyar. Tahun lalu, dia memasang panel tambahan. Sebelum memakai PLTS atap, Elieser membayar tagihan listrik bulanan Rp 900 ribu-1 juta. Kini tagihannya hanya Rp 130 ribu. “Itu pun kalau kami menyalakan AC nonstop,” ucapnya.

Saat pertama kali memasang panel surya 10 meter persegi pada 2012, Elieser masih memakai konverter yang mengubah solar cell menjadi listrik rumahan menggunakan baterai. Baterai ini harus diganti setiap lima tahun dengan biaya Rp 20 juta per 100 ampere. Sistem ini dikenal sebagai PLTS atap off-grid atau tak tersambung dengan jaringan listrik PLN.

Setelah hampir sepuluh tahun memakai sistem off-grid, Elieser mencoba sistem on-grid atau PLTS yang terhubung dengan jaringan PLN. PLTS atap ini terhubung dengan meteran ekspor-impor listrik untuk menghitung kelebihan listrik panel surya yang dijual atau diekspor kepada jaringan PLN. Cara ini, menurut Elieser, lebih murah karena dia tak perlu bolak balik mengganti baterai.

Setelah pemerintah menerbitkan peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral nomor 26 pada Agustus tahun lalu, pengguna PLTS atap on-grid seperti Elieser bisa mendapat insentif berupa kenaikan tarif ekspor listrik yang harus dibayar PLN. Dalam aturan lama, PLN hanya membeli 65 persen listrik PLTS atap yang disalurkan pelanggan. Kini 100 persen listrik dari PLTS atap bisa dijual kepada PLN sehingga penggunanya mendapat pengurangan tagihan listrik yang jauh lebih besar.

Tergiur oleh insentif ini, Elieser mengajukan permohonan izin pemasangan PLTS atap tambahan sekaligus penambahan daya dari 2.200 VA menjadi 4.400 VA. Tapi proses itu tak semulus yang ia bayangkan. PLN hanya mengizinkan daya maksimum PLTS atap 3.700 WP atau 85 persen dari yang ia ajukan dalam permohonan.

Alih-alih memberi izin, petugas PLN menawari dia fasilitas jasa menaikkan daya supaya PLTS atapnya segera berfungsi. Elieser akhirnya meminta penambahan daya menjadi 5.500 VA pada November tahun lalu dan dua bulan kemudian alatnya baru bisa dipasang. "Kalau waktu itu terlambat mengajukan mungkin nasibnya seperti yang lain, yang sama sekali tidak dilayani," ujarnya.

Setelah melewati proses yang cukup panjang, Elieser yakin jerih payahnya saat memasang PLTS atap bisa ia nikmati kurang dari tujuh tahun ke depan. Setelah itu, dia berharap bisa terbebas dari tagihan listrik PLN.

Tempo berupaya menghubungi PLN untuk meminta tanggapan mengenai rumitnya prosedur pemasangan PLTS atap di beberapa daerah. Vice President Komunikasi Korporat PLN Gregorius Adi Trianto hanya memberikan jawaban singkat. Menurut dia, PLN mendukung program pemerintah melakukan transisi energi serta mengembangkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan. "Transisi energi harus dilakukan secara cermat dan tepat. Kami sudah memiliki peta jalan untuk mencapai neutral carbon di 2060," tutur Greg secara tertulis.

Managing Director PT Utomo Juragan Atap Surya Indonesia atau Utomo SolaRUV, Anthony Utomo, mengatakan pengguna PLTS atap memilih sistem on-grid yang lebih murah dan tak terganggu hujan atau mendung yang menghalangi sinar matahari. "Karena terhubung pada jaringan PLN, keandalan jaringan listriknya terjaga," ucapnya.  

Namun, Anthony menambahkan, minat pengguna PLTS on-grid terganjal aturan PLN yang membatasi pemasangan daya maksimal 15 persen dari kapasitas listrik PLN yang mereka gunakan. Pembatasan ini yang menghambat pemasangan panel surya atap dengan kapasitas tertentu.

Dia memberi contoh, PLN hanya mengizinkan pemasangan PLTS atap 200 VA untuk pengguna listrik rumah tangga berdaya 2.200 VA. Padahal kapasitas panel surya per lembarnya 400-450 VA. “Apa iya, panel surya ini harus digergaji dulu untuk memenuhi standar PLN,” katanya. Menurut Anthony, tuntutan PLN kepada pelanggan agar menambah daya juga memberatkan.

Menurut Anthony, sejak Idul Fitri lalu PLN tidak memberi izin pemasangan PLTS atap di semua wilayah dengan alasan tidak sesuai dengan persyaratan. Anthony, yang menjabat Wakil Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia, menduga sikap PLN ini berkaitan dengan masalah oversupply atau kelebihan pasokan listrik. “Kini yang telanjur memasang PLTS atap dan panel surya nasibnya bagaimana?” tuturnya.

KUKUH S. WIBOWO (SURABAYA), MADE ARGAWA (BALI)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Aisha Shaidra

Aisha Shaidra

Bergabung di Tempo sejak April 2013. Menulis gaya hidup dan tokoh untuk Koran Tempo dan Tempo.co. Kini, meliput isu ekonomi dan bisnis di majalah Tempo. Bagian dari tim penulis liputan “Jalan Pedang Dai Kampung” yang meraih penghargaan Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Lulusan Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus