Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Pertambangan Indonesia (API-IMA) meminta pemerintah meninjau kembali rencana kenaikan tarif royalti untuk komoditas mineral dan batu bara. Permintaan ini disampaikan melalui surat resmi kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, pada 13 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
API-IMA menyoroti dampak kenaikan tarif royalti yang dinilai akan semakin memberatkan industri pertambangan serta sektor pendukungnya. “Kenaikan tarif royalti mineral akan semakin memberatkan penambang dan tentu berdampak bagi industri pendukungnya yang selama ini menjadi kontributor penting bagi penerimaan negara, perekonomian nasional dan regional serta ketahanan energi dan investasi,” tulis Ketua Umum API-IMA Rahmat Makassau dalam suratnya dikutip, Ahad, 16 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beban Tambang Semakin Berat
API-IMA menilai kenaikan tarif royalti berisiko menambah tekanan terhadap industri yang telah menghadapi berbagai tantangan ekonomi. Salah satu yang disoroti adalah tingginya biaya operasional yang sudah membebani perusahaan tambang. Kenaikan harga energi, termasuk biaya bahan bakar biosolar, membuat ongkos produksi semakin mahal. Selain itu, biaya infrastruktur dan pengolahan juga terus meningkat, membuat daya saing industri semakin tergerus.
Selain faktor operasional, API-IMA juga mencatat adanya beban tambahan dari kebijakan fiskal. Tarif Pajak Pertambahan Nilai Pertambangan (PPN) sebesar 12 persen semakin mengurangi margin keuntungan perusahaan tambang. Kebijakan lainnya, seperti kewajiban retensi Dana Hasil Ekspor (DHE) sebesar 30 persen selama 12 bulan, dinilai semakin memperburuk kondisi keuangan perusahaan. Kebijakan ini memaksa perusahaan untuk menahan sebagian besar pendapatan ekspor mereka, yang berakibat pada peningkatan utang dan bunga pinjaman.
Investasi besar yang telah digelontorkan untuk pembangunan smelter juga menjadi perhatian utama. Pembangunan smelter adalah proyek jangka panjang yang membutuhkan modal besar dan pinjaman bank dalam jumlah signifikan. Jika kenaikan royalti tetap diberlakukan, banyak perusahaan yang masih dalam tahap awal pengoperasian smelter akan mengalami tekanan keuangan yang lebih besar. Apalagi, penerapan aturan Global Minimum Tax akan semakin memperketat arus kas perusahaan, terutama bagi smelter yang masih dalam tahap commissioning atau baru beroperasi selama 2-3 tahun.
Dampak pada Daya Saing Global
API-IMA juga menyoroti bahwa kenaikan tarif royalti dapat membuat Indonesia kehilangan daya saing di pasar global. Dibandingkan dengan negara-negara lain, tarif royalti Indonesia untuk beberapa komoditas sudah relatif tinggi.
Sebagai contoh, untuk batu bara, tarif royalti di Indonesia saat ini berkisar antara 5-7 persen, tergantung pada kalori dan jenis kontrak perusahaan. Sementara itu, beberapa negara pesaing menawarkan tarif yang lebih kompetitif seperti Australia menerapkan sistem royalti berbasis keuntungan bersih sebesar 7-15 persen, yang lebih fleksibel terhadap fluktuasi harga pasar.
Kanada memiliki tarif royalti yang bervariasi antarprovinsi, berkisar 1-17 persen, yang memungkinkan lebih banyak ruang bagi perusahaan untuk menyesuaikan biaya operasional. Afrika Selatan dan Kolombia menawarkan tarif lebih rendah, sekitar 2-5 persen, yang lebih menarik bagi investor dibandingkan Indonesia.
Selain batu bara, tarif royalti untuk komoditas mineral seperti tembaga, emas, dan nikel di Indonesia juga lebih tinggi dibanding negara lain. Ada kekhawatiran kenaikan royalti yang diusulkan pemerintah akan membuat investasi di sektor tambang menjadi kurang menarik. Dengan persaingan global yang semakin ketat, kebijakan ini justru bisa mendorong investor untuk beralih ke negara lain dengan regulasi yang lebih kompetitif.
Permintaan API-IMA kepada Pemerintah
Dalam konsultasi publik yang digelar pada 8 Maret 2025, pemerintah mengusulkan perubahan tarif royalti dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2022. API-IMA meminta agar pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan ini dengan memperhatikan dinamika industri dan daya saing global.
Sebagai organisasi yang menaungi perusahaan pertambangan mineral dan batu bara serta ekosistem industri pertambangan, API-IMA berharap kebijakan tarif royalti disusun dengan pendekatan yang lebih seimbang. “Kami berharap kebijakan ini tidak hanya memperhatikan kepentingan penerimaan negara, tetapi juga mempertimbangkan keberlanjutan investasi dan daya saing industri pertambangan nasional,” kata Rahmat dalam suratnya.
Surat tersebut juga ditandatangani oleh Direktur Eksekutif API-IMA Hendra Sinadia serta ditembuskan kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Keuangan, Ketua Dewan Ekonomi Nasional, serta Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM.