Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Babak-Belur Dihajar Lumpur

Lahan reklamasi megaproyek Pelabuhan Kalibaru berubah menjadi tanah isap. Puluhan triliun rupiah terancam melayang.

8 November 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Belum sempat digunakan, daratan buatan itu malah sudah seperti wilayah tak bertuan. Tiang-tiang pancang dari beton bergeletakan. Kontainer bekas tempat pekerja menginap terlihat senyap. Hanya ada beberapa pekerja yang bersiaga di kapal pengeruk lumpur alur pelayaran.

Akhir Oktober lalu, fotografer Tempo, Tony Hartawan, diam-diam merapat ke lahan reklamasi calon Pelabuhan Kalibaru di Tanjung Priok, Jakarta Utara, itu. Pada -Jumat siang yang panas terik, Tony menyewa sebuah kapal kayu bermesin bising yang berlabuh di dekat Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Kalibaru. Pemilik kapal, Muhammad Syaiful, 24 tahun, mengantar Tony dengan imbalan Rp 200 ribu.

Dari pengakuan Syaiful, Tony tahu lahan reklamasi itu sudah agak lama sepi. Syaiful sempat menduga, jangan-jangan para pekerja masih di darat melaksanakan salat Jumat. Ditunggu sampai pukul 3 sore, tidak ada manusia yang nongol. Hanya ada mereka berdua dan para pekerja di kapal keruk tadi.

Lahan reklamasi tetap sepi dan tanpa pekerjaan hingga Jumat pekan lalu. Menurut Syaiful, reklamasi sudah hampir satu tahun berhenti. “Kalau pekerjaan lain, baru minggu-minggu ini libur. Mungkin paku buminya habis,” katanya saat dihubungi ulang via telepon.

Sempat luput dari perhatian publik, kabar megaproyek seharga Rp 11 triliun—nilai kontrak awalnya Rp 9 triliun—ini mencuat lagi sejak akhir September lalu. Badan Pemeriksa Keuangan menemukan indikasi kerugian negara sebesar Rp 1,032 triliun dalam proyek PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) tersebut. BPK juga menemukan potensi kerugian keuangan negara sebesar Rp 440,211 miliar.

Temuan tercantum dalam “Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif atas Pembangunan Terminal Petikemas Kalibaru Utara Tahap I Pelabuhan Tanjung Priok”. Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara telah menyerahkan hasil audit tersebut kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Bambang Soesatyo di kantor parlemen, akhir September lalu.

Audit megaproyek Kalibaru adalah pemeriksaan keempat dalam rangkaian permintaan audit Panitia Khusus Hak Angket Pelindo II sejak awal 2016. BPK sebelumnya merampungkan audit perpanjangan kontrak Pelabuhan Jakarta International Container Terminal, perpanjangan kerja sama pengoperasian Terminal Petikemas Koja, dan penerbitan surat utang global Pelindo II. “Jika ditotal, indikasi kerugian negara (dari empat pemeriksaan itu) mencapai Rp 8,18 triliun,” ucap Bambang saat menerima laporan audit. 

Bambang mengatakan laporan tersebut akan segera dibawa ke rapat paripurna untuk diserahkan kepada Panitia Khusus Pelindo II. Setelah itu, Pansus Pelindo II yang akan menyetorkannya ke instansi penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian RI. 

Hampir dua bulan berlalu, laporan audit Kalibaru itu tak jelas juntrungannya. Bahkan Pansus Pelindo II—penggagas audit—mengaku belum menerima laporan tersebut. “Sudah diserahkan ke pimpinan DPR, tapi belum diserahkan ke kami,” tutur Rieke Diah Pitaloka, Ketua Pansus Pelindo II, Rabu pekan lalu. 

Seseorang yang mengetahui isi laporan audit mengatakan BPK memang belum sampai pada kesimpulan bahwa megaproyek Kalibaru gagal konstruksi, terutama untuk bagian reklamasi. “Ahli yang digunakan dalam audit BPK bilang baru potensi gagal konstruksi,” ujar sumber ini. “Megaproyek reklamasi bisa dilanjutkan, tapi Pelindo II harus punya perlakuan khusus, dan waktunya akan lama.”

DIGAGAS pada Juni 2010, megaproyek Kalibaru baru digarap Pelindo II setelah turun penugasan dari pemerintah pada 5 April 2012 lewat Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2012. Dalam penugasan, pemerintah meminta Pelindo menggunakan pendanaan sendiri tanpa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Kalibaru dikembangkan untuk mengantisipasi meningkatnya arus peti kemas efek pertumbuhan ekonomi nasional. Selain untuk peti kemas, Kalibaru disiapkan buat menampung pertumbuhan ekspor kendaraan.

Hingga kini, baru terminal kontainer 1 (New Priok Container Terminal 1) yang sudah beres. Menggandeng operator PSA Singapura, Pelindo II mengoperasikan terminal di atas 15 ribu tiang pancang (deck on pile) itu sejak September 2016. Dua terminal dan satu terminal produk yang akan dibangun di atas lahan reklamasi bernasib lebih buruk. Nasib reklamasi inilah yang menjadi inti temuan BPK.

Ringkasan laporan audit yang diper-oleh Tempo menyebutkan rentetan penyimpangan megaproyek sejak tahap perencanaan. Misalnya ada ketidaksesuaian tenaga ahli yang digunakan sehingga terdapat kelebihan bayar sebesar Rp 393,85 juta. PT PP, sang pemenang tender, diduga telah menerima informasi detail megaproyek sebelum lelang berlangsung. Durasi proyek selama 50 bulan juga tidak didasarkan pada pertimbangan teknis—kontrak pekerjaan diteken pada September 2012 dan direvisi menjadi hingga Januari 2018.

Sebagian hasil pekerjaan desain ulang pun tidak melalui pertimbangan teknis. Terutama penggantian material reklamasi dari pasir menjadi lumpur. Awalnya Pelindo II mengestimasi kebutuhan pasir untuk reklamasi mencapai 9,7 juta meter kubik. “Yang meminta materialnya diganti itu R.J. Lino, Direktur Utama Pelindo II saat itu,” kata seseorang yang mengetahui isi laporan audit.

Lumpur berasal dari pengerukan kolam dan alur pelayaran Kalibaru dengan estimasi volume 25 juta meter kubik. “Biar efisien dan tidak polutif katanya,” ujar sumber tadi. Pada Desember 2015, Lino dipecat Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno setelah menjadi tersangka dugaan korupsi pengadaan tiga unit quay con-tainer crane oleh PT Pelindo II tahun 2010.

Penggantian dari pasir menjadi lumpur itu membawa petaka. Lahan reklamasi butuh waktu lama untuk stabil (settle), yakni mencapai 30 tahun. Estimasi penurunan tanahnya 1-2 meter per tahun. Dampaknya: umur bangunan dan lapangan kontainer yang akan dibangun di atasnya juga terpangkas tinggal 20-25 tahun dari target semula 100 tahun. “Sekarang lahan reklamasi ini jadi lumpur isap,” tutur sumber -tersebut.

Naga-naga lahan reklamasi akan menjadi pasir isap sebetulnya sudah terdeteksi. BPK menemukannya setelah sampel lumpur itu diuji. Menurut hasil uji, lumpur bersifat tanah liat keras (hard clay). PT PP selaku kontraktor utama menguji ulang sampel. Hasilnya berbeda. “Ternyata lumpur itu lunak (soft clay),” kata sumber ini. “Kalau soft, pasti ambles terus.” 

Dalam “Laporan Keberlanjutan 2017”, Pelindo II sudah mengumumkan perubahan material itu. Dokumen tersebut menyatakan material hasil pengerukan menjadi material reklamasi di Kalibaru setelah melalui uji racun limbah sebelum ditimbun di dalam tanah.

Saat ditanyai auditor tentang perubahan material itu, R.J. Lino mengatakan peralihan tersebut hal biasa. “Cuma volumenya yang besar. Jadi orang melihat ini big project,” ucap sumber tersebut menirukan jawaban Lino. Ketika dimintai klarifikasi mengenai temuan BPK ini, Lino enggan menjawab. Pesan dan panggilan telepon kepadanya pada pekan lalu tidak berbalas.

Lino disebut-sebut merujuk pada Australia, yang juga menggunakan lumpur untuk reklamasi proyek pelabuhan. Salah satu pelabuhan Australia yang menggunakan lumpur sebagai material reklamasi adalah Pelabuhan Brisbane.

Masalahnya, proyek tidak mempertimbangkan faktor penurunan tanah. Dampaknya, pengubahan material yang tadinya dimaksudkan untuk penghematan justru menjadi keruwetan. “Makin ke sini banyak biaya tambahan untuk menambal efek dari penggunaan lumpur,” ujar sumber tadi.

Salah satunya pembuatan tanggul pasir yang dibungkus karung (sand bund) sepanjang 2.680 meter di lapangan kontainer 1B dan Disposal 1A. Hasil audit menyebutkan Pelindo II memutuskan membangun tanggul pasir agar reklamasi tidak makin melorot ke lautan. Ringkasan audit menyebutkan nilai pekerjaan ini Rp 615 miliar.

Pekerjaan dadakan itu tidak ada dalam kontrak dengan PT PP, tidak pula tercantum dalam adendum. “Tapi sudah dibayar.” Pembayaran, kata sumber ini, menggunakan item pekerjaan lain. Maksudnya, pasir-pasir untuk tanggul itu awalnya digunakan untuk lapisan atas lahan reklamasi. Pasir baru akan ditaburkan ketika lahan telah padat. Sayangnya, lahan reklamasi tetap lunak. Pasir itu, lengkap dengan nilai kontraknya, dioper langsung ke pekerjaan tanggul pasir.

Kini Pelindo II meminta konsultan asal Australia, KAFI, meninjau ulang proyek reklamasi. Konsultan ini berpengalaman menggarap proyek reklamasi dari lumpur. Selain itu, Pelindo II ditengarai merencanakan penyedotan air dari lahan reklamasi, yang tambahan biayanya kira-kira Rp 2,5 triliun.

Tahap I

• Kapasitas terminal peti kemas: 4,5 juta TEUs per tahun 

• Dua terminal curah cair: 10 juta m3 per tahun 

• Luas area: 270 hektare (32 hektare di atas tiang pancang, sudah beroperasi sejak September 2016, NPCT1)

• Estimasi investasi: US$ 2,5 miliar

• Pengembangan: mulai 2012

Tahap II

• Terminal peti kemas: 8 juta TEUs per tahun

• Luas area (reklamasi): 180 hektare

• Estimasi investasi: US$ 2,2 miliar 

• Pengembangan: mulai 2018 (target)

SEMENTARA Pelindo II masih menanti kajian konsultan, PT PP menunggu klaim-klaim pekerjaan yang belum dibayar. Hingga Januari 2018, saat kontrak berakhir, baru 70,45 persen yang selesai dan dibayar oleh Pelindo II. Sekretaris Perusahaan PT PP Agus Kana mengakui perusahaannya dalam posisi menunggu. “Kami enggak bisa nebak kapan selesainya,” ucap Agus, Kamis pekan lalu.

Kendati temuan BPK menyatakan lahan reklamasi masih berupa lumpur isap di sebagian besar titiknya, Sekretaris Perusahaan Pelindo II Shanti Puruhita menyatakan pembangunan tetap berlanjut. Area hasil reklamasi sudah bisa dilalui alat berat untuk melanjutkan pembangunan.

Tantangannya, kata Shanti, lumpur hasil pengerukan yang menjadi material reklamasi perlu mendapat perlakuan teknis lebih lama. “Proyek tetap dilanjutkan, terutama pengerukan, agar bisa dilalui kapal berbobot 15 ribu ton mati,” tuturnya, Kamis pekan lalu.

Ihwal tambahan biaya dalam megaproyek, Shanti mengatakan penetapan angkanya harus menunggu evaluasi yang sedang berjalan. Ia menyebutkan perusahaannya belum memperoleh salinan hasil pemeriksaan. “Yang jelas, kami akan melaksanakannya sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik.”

KHAIRUL ANAM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Khairul Anam

Khairul Anam

Redaktur ekonomi Majalah Tempo. Meliput isu ekonomi dan bisnis sejak 2013. Mengikuti program “Money Trail Training” yang diselenggarakan Finance Uncovered, Free Press Unlimited, Journalismfund.eu di Jakarta pada 2019. Alumni Universitas Negeri Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus