Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinyal Pasar

Berita Tempo Plus

Risiko Politik Danantara bagi Investor dan Pasar

Yopie Hidayat

Yopie Hidayat

Pemimpin redaksi tabloid ekonomi Kontan sejak November 2001 hingga menjadi juru bicara Wakil Presiden Boediono pada 2009-2014. Sebelum mendirikan Kontan, selama 1985-1994, ia bekerja di majalah mingguan Tempo. Lulus kuliah dari Universitas Airlangga, Surabaya, pada 1989, Yopie melanjutkan pendidikan dalam program Master of Public Policy di Lee Kuan Yeuw School of Public Policy Singapura. Pada 1994, ia mendapat Chevenning Award dari The British Council. Kini, Yopie menjadi anggota tim evaluator editorial Tempo

Pembentukan Danantara sarat drama politik. Pelaku pasar merespons negatif.

16 Februari 2025 | 08.30 WIB

Ilustrasi: Tempo/Alvin Siregar
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Alvin Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • BUMN tetap rentan terhadap campur tangan politikus.

  • Risiko politik BUMN meningkat sejak Prabowo menjadi presiden dengan segala manuvernya.

  • Investor mempertanyakan pengelolaan BUMN oleh Danantara.

DI bursa saham, ada satu jenis risiko yang paling membuat cemas investor: risiko politik yang sering sulit diprediksi. Perubahan arah politik dan kebijakan bisa memukul hampir semua korporasi, terutama yang bisnisnya bergantung pada konsesi dan regulasi pemerintah. Korporasi yang terpapar risiko politik paling besar adalah badan usaha milik negara atau BUMN.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Maklum, BUMN memang rentan terhadap campur tangan politikus. BUMN kerap mendapat “tugas-tugas khusus” yang berisiko merugikan perusahaan atau minimal mengurangi profit. Belum lagi cawe-cawe dalam penentuan dewan direksi ataupun komisaris. Kerap kali politikus membagi-bagikan jabatan di BUMN hanya dengan pertimbangan politis seraya mengabaikan aspek kemampuan ataupun karakter si pejabat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Akibatnya, meski BUMN menikmati berbagai privilese dalam menjalankan bisnis dengan dukungan sinergi sesamanya, investor yang bijak dan bukan spekulan selalu lebih berhati-hati dalam menentukan nilai perusahaan pelat merah itu. Risiko politik membuat nilai pasar BUMN selalu terdiskon cukup besar jika dibandingkan dengan nilai perusahaan non-BUMN yang setara.

Sebagai contoh, perbandingan antara bank BUMN dan bank swasta nasional dapat menjadi indikator penghitungan beban risiko politik oleh pasar. Mari kita tengok dengan membandingkan nilai pasarnya per akhir 2024. Nilai pasar di sini adalah market capitalization, yakni jumlah semua saham yang beredar dikalikan dengan harganya. Market capitalization bisa mencerminkan dengan obyektif cara pasar menetapkan nilai satu perusahaan dengan memperhitungkan semua faktor.

Bank Rakyat Indonesia adalah bank BUMN besar dari sisi aset, senilai Rp 1.993 triliun. Keuntungannya Rp 60,64 triliun setahun. Dengan profil seperti itu, nilai pasar BRI sebesar Rp 585 triliun. Contoh bank BUMN lain adalah Bank Mandiri. Asetnya Rp 2.427 triliun, jauh lebih besar ketimbang aset BRI. Namun profit Mandiri hanya Rp 55,78 triliun. Sedangkan nilai pasarnya Rp 478,3 triliun.

Sebagai pembanding, mari kita lihat angka-angka Bank Central Asia. Nilai aset bank ini Rp 1.449,3 triliun, jauh lebih kecil ketimbang BRI ataupun Bank Mandiri. Namun BCA mampu mencetak keuntungan bersih Rp 54,84 triliun, tak jauh berbeda dengan kedua bank yang asetnya jauh lebih besar itu. Walhasil, pasar menilai BCA sebesar Rp 1.106 triliun. Dengan kata lain, di mata investor, nilai BCA hampir dua kali lipat lebih berharga ketimbang BRI. Perbandingannya dengan Mandiri malah lebih besar: 2,3 kali lipat.

Risiko politik yang menekan BUMN justru meningkat berbarengan dengan peralihan kekuasaan ke Presiden Prabowo Subianto. Tanpa memberikan aba-aba sebelumnya, Prabowo merombak BUMN secara sangat fundamental dengan membentuk badan baru, Dana Anagata Nusantara atau Danantara.

Proses pembentukannya pun penuh drama politik. Meski kepala dan wakilnya sudah dilantik pada Oktober 2024, lembaga ini tak kunjung beroperasi karena berisiko melanggar undang-undang. Akhirnya, lewat proses kilat, Dewan Perwakilan Rakyat mengubah Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara yang memberi legalitas bagi Danantara untuk beroperasi. 

Kendati sudah ada payung legal, masih banyak pertanyaan investor yang belum terjawab. Yang terpenting: bagaimana kelak mutu tata kelola BUMN setelah bernaung di bawah badan baru? Akankah pengelolaannya makin profesional atau justru memburuk karena kencangnya intervensi politik? 

Yang jelas, sejak wacana pembentukan Danantara bergaung, pasar merespons negatif. Harga saham tiga bank BUMN yang kepemilikannya akan ditransfer ke Danantara langsung merosot dalam tiga bulan terakhir. Hingga Jumat, 14 Februari 2025, harga saham Mandiri melorot 25,99 persen, BRI turun 18 persen, dan BNI ambles 19 persen. Harga saham BUMN non-bank yang juga akan masuk ke Danantara, Telkom Indonesia, pun merosot 8,66 persen.

Sebelum beroperasi, Danantara sudah harus melihat bahwa nilai perusahaan yang akan dikelolanya merosot tajam. Sungguh sebuah kontras yang sangat tajam dengan tujuannya yang justru ingin menaikkan nilai BUMN di mata investor agar tertarik berinvestasi di Danantara.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Risiko Politik Danantara

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus