Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengungkapkan kesepekatan keadilan harga kredit karbon tidak tercapai dalam sidang Trade, Investment, and Industry Ministerial Meeting (TIIMM) G20 yang berlangsung di Bali pada 21-23 September 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Khusus perjuangan kami tentang harga karbon itu belum mencapai kesepakatan. Jadi, Perjanjian Paris Nomor 6 Pasal 6 tentang keadilan dalam harga karbon kami sudah perjuangakan, namun belum ada kesepakatan," kata Bahlil saat konferensi pers yang ditayangkan dalam akun YouTube Kementerian Perdagangan, Jumat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak adanya kesepakatan mengenai keadilan harga kredit karbon ini membuat tren investasi di bidang energi hijau masih terus timpang antara negara-negara maju dengan negara berkembang. Padahal, saat Sidang TIMM pada Rabu, 21 September 2022, dia telah menyampaikan permasalahan ketimpangan tersebut.
Menurut Bahlil, hanya seperlima dari investasi energi hijau yang mengalir ke negara berkembang. Dengan kata lain, dua per tiga dari total populasi dunia hanya mendapat seperlima dari total investasi energi hijau.
Pada saat pertemuan kedua Trade, Investment, and Industry Working Group (TIIWG)/The Second TIIWG Meeting di Surakarta, Jawa Tengah, pada Juli 2022 lalu, Bahlil sudah sempat menyinggung bahwa harga karbon negara berkembang hanya senilai US$ 10. Sedangkan negara maju sudah tembus US$ 100.
Karena itu, harga jual beli kredit karbon atau carbon credit yang berasal dari proyek-proyek hijau dari negara maju jauh lebih mahal ketimbang negara berkembang. Bahlil pun berpandangan negara-negara G20 perlu mengatur tata-kelola harga karbon secara adil agar tidak terjadi ketimpangan yang signifikan dalam aliran investasi hijau.
"Di masa depan kita perlu menyepakati aturan main mengenai pasar karbon yang lebih adil dan lebih berimbang tanpa standar ganda antara negara maju dan berkembang," ucap Bahlil.
Persoalan ini, menurut Bahlil, merupakan dari bagian tantangan investasi yang berkelanjutan. Tantangan itu misalnya mengakhiri siklus ketergantungan negara-negara berkembang terhadap komoditas mentah sembari mengurangi dampak perubahan iklim.
Oleh sebab itu, Bahlil menuturkan perlu ada dukungan kepada negara berkembang yang ingin memajukan industrinya melalui optimalisasi kebijakan pemanfaatan sumberdaya alam. Hal itu seperti yang pernah dilakukan oleh negara-negara maju pada saat menaiki tangga pada masa awal revolusi industri.
"Apakah adil jika negara maju dahulu menaiki tangga untuk mencapai puncak lalu sekarang negara berkembang tidak boleh menaiki tangga yang sama?" ujar Bahlil.
Investasi yang berkelanjutan, kata dia, juga perlu ramah terhadap kepentingan masyarakat setempat. Karenanya, G20 perlu memastikan bahwa investasi berkelanjutan harus inklusif dan mendorong kolaborasi investor dengan UMKM lokal.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini