MASKOT krisis keuangan Asia Tenggara. Bambang Trihatmodjo mendapat "gelar" itu dari Jeffrey Winters, ekonom Northwestern University, Amerika Serikat. Putra ketiga mantan presiden Soeharto itu menjadi penunggak terbesar kredit di bank-bank pemerintah. Penampilannya yang dingin, kalem, sopan, rupanya bisa mengecoh siapa saja. Berbeda dengan Hutomo Mandala Putra, adiknya, Bambang Tri tampil low profile, tak banyak yang bisa dikorek dari mulutnya. Namun, diam-diam dia menguras habis bank-bank pelat merah yang kini menyimpan kredit bermasalah di atas 90 persen. Sebagian besar dari kredit bermasalah itu masuk kategori lima (tidak membayar bunga selama sembilan bulan).
Dalam daftar 50 debitur kakap yang utangnya macet total di Bank Mandiri (leburan dari Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bapindo, dan Bank Exim), utang Bambang Tri menempati urutan teratas dengan kredit macet di atas Rp 20 triliun. Itu berarti bos grup usaha Bimantara—yang kabarnya sudah lengser—itu meraup 56 persen dari total kredit macet 50 debitur kakap sebesar Rp 40,76 triliun. Adiknya yang biasa disapa Tommy berada di posisi kedua dengan kredit macet hampir Rp 5 triliun. Kongsi bisnis Bambang Tri-Prajogo Pangestu pun tak ketinggalan ikut mengosongkan kocek bank pemerintah. Kredit macetnya mencapai separuh dari utang macet Tommy Soeharto.
Menurut Wakil Ketua BPPN, R.C. Eko S. Budianto, total kredit macet kategori lima yang berasal dari Bank Mandiri mencapai Rp 77 triliun. Artinya, 50 debitur kakap itu mengambil porsi 53 persen dari total kredit macet Bank Mandiri. "Sedangkan yang dari BNI, BRI, dan BTN belum masuk. Targetnya akan masuk 31 Maret ini," kata Eko kepada Agus Hidayat dari TEMPO.
Macetnya kredit bank-bank BUMN ini tak bisa tidak memperlihatkan betapa longgarnya bank pemerintah itu mengucurkan kreditnya. Melihat beberapa proyek milik sejumlah konglomerat yang dibiayai kredit bank pemerintah, boleh jadi kelayakannya tak pernah diteliti. Yang penting ada anak-anak presiden, risiko macet dihitung belakangan. Sangat mungkin pula, ini malah dijadikan sebagai jembatan atau lobi untuk mendekat ke pusat kekuasaan. Atau sebaliknya, cap anak presiden itu membuat para bankir di bank pemerintah keder dan meloloskan saja apa maunya kelompok "Tosiba", atau belakangan bisa ditambah "Tosibatumatik"—Tommy, Sigit, Bambang, Tutut, Mamik, dan Titik.
Karena itu, jika Bambang dan Tommy berada di daftar kredit macet urutan puncak, itu tak terlalu mengherankan. Keduanya memiliki ambisi besar untuk mendirikan perusahaan yang benderanya bisa dikibarkan tinggi-tinggi. Bambang Tri mengerek proyek petrokimia Candra Asri Petrochemical Center (CAPC) senilai US$ 1,6 miliar, adapun Tommy menaikkan bendera PT Timor Putra Nasional (TPN), yang menggarap proyek mobil nasional (mobnas), dengan nilai investasi awal US$ 650 juta. Kedua proyek ini sekarang tak bisa diharapkan. Hanya, Bambang lebih diuntungkan karena proyeknya sudah beroperasi, sebaliknya proyek mobnas Tommy bubar sebelum jadi.
Dalam letter of intent yang diteken dua pekan lalu antara IMF dan pemerintah, disebut soal penyelesaian kredit macet. Paling tidak, akan ada gambaran bagaimana penyelesaiannya. Pekan lalu, daftar debitur macet itu kabarnya sudah diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Empat bank yang akan dilebur menjadi Bank Mandiri itu masing-masing menyerahkan daftar 50 debitur macet, baru kemudian diseleksi menjadi 50 debitur terbesar yang macet di Bank Mandiri. Dari situ diseleksi lagi 20 debitur terbesar yang akan diprioritaskan untuk diselesaikan masalahnya.
Caranya? Ada tiga pilihan yang dihadapi para pemilik atau debitur macet itu. Yang pertama, dilakukan recovery, bisa dengan cara utangnya ditukar dengan saham. Kedua, restrukturisasi utang dengan penjadwalan kembali pembayaran utang pokok dan bunga. Kedua opsi ini harus dipenuhi dengan tenggat 30 April 1999. Jika sampai tanggal itu tak juga ada penyelesaian, 20 debitur tersebut akan dihadapkan ke Pengadilan Niaga untuk dibangkrutkan. Ini pilihan paling pahit yang biasanya dihindari pemerintah.
Para debitur nakal itu memang dimungkinkan tidak membayar utangnya yang macet. Namun dua pilihan pertama agaknya sulit dilakukan. Opsi pertama, utang ditukar saham, sulit karena nilai proyek macet itu bisa susut hingga 10 persen dibandingkan dengan ketika kreditnya diajukan ke bank. Apalagi kredit untuk proyek yang belum beroperasi. Kalaupun diambil pemerintah, penjualannya pasti sulit. Pilihan kedua, penjadwalan utang, juga tidak mudah. Restrukturisasi utang biasanya memakan waktu berbulan-bulan, sebagaimana yang terjadi pada utang-utang luar negeri perusahaan swasta, sementara waktunya cuma sampai 30 April.
Nah, siapa pengusaha yang sudah membuat susah itu? Berikut profil mereka:
Bambang Trihatmodjo
Kredit terbesar penggemar olah raga menembak ini disalurkan ke CAPC. Proyek ini semula dirancang dengan investasi US$ 2,25 miliar. Namun, karena pemerintah kemudian memperketat pinjaman luar negeri dengan membentuk Tim Pinjaman Komersial Luar Negeri (PKLN), proyek itu macet sekitar enam bulan. Bambang Tri (pemegang 25 persen saham) yang berkongsi dengan Prajogo Pangestu (40 persen), Henry Pribadi (25 persen), dan Peter F. Gontha (10 persen), tak kurang akal. Proyek itu diubah statusnya menjadi penanaman modal asing (PMA). Caranya, mereka mendirikan dua perusahaan di Hong Kong, Siemene International Ltd. dan Satllion Co. Ltd.
Kedua perusahaan itu menggandeng Marubeni (Jepang), mengakuisisi CAPC, dan komposisi saham berubah menjadi Siemene (65 persen), Satllion 10 persen) serta Japan Indonesia Petrochemical Corp. (25 persen). Investasinya pun disunat menjadi hanya US$ 1,6 miliar. Mulai April 1995, perusahaan itu sudah berproduksi. Hanya berselang empat bulan, CAPC mengajukan perluasan produksi dengan rencana investasi US$ 1,8 miliar. Tak jelas, dari mana saja duit investasi CAPC, tapi yang pasti Bank Exim memasok US$ 2,7 miliar.
Kredit Bambang Tri yang juga besar didapat melalui bendera Apac Centertex, senilai Rp 865,4 miliar, melalui Bapindo. Pabrik tekstil terpadu Kanindotex ini awalnya punya "jawara" mobil Robby Tjahjadi, yang tak sanggup bayar utang ke Bapindo dan BBD. Apac kemudian masuk dengan mendapatkan penjadwalan utangnya. Dua bank itu menyuntikkan Rp 539 miliar, dan Rp 170 miliar di antaranya dana segar kepada Apac. Utang itu juga direstrukturisasi menjadi delapan tahun plus bunga yang sangat rendah, 11 persen. Dalam klausul kredit, kedua bank itu juga tak punya opsi mendapatkan saham jika Apac tak mampu membayar utangnya. Ternyata, setelah dialihkan ke Bambang, perusahaan itu tetap tak mampu membayar pinjamannya.
Hutomo Mandala Putra
Anak kelima Soeharto ini mampu menyedot kredit dari empat bank pemerintah itu, nilainya Rp 4,9 triliun, sebagian dalam dolar. Sebagian besar dipakai untuk proyek mobnas (US$ 400 juta), dan yang lain untuk pembelian cengkeh melalui Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) sekitar Rp 900 miliar. Proyek mobnas sekarang sudah dianulir, sementara BPPC sudah dibubarkan, sehingga tak jelas siapa yang akan membayar utang itu.
Timor Putra Nasional memang masih punya pabrik di Cikampek dan stok mobil sekitar 14 ribu unit. Namun, dengan penjualan mobil yang anjlok pada 1998 dan kemungkinan masih berlanjut pada tahun ini, stok mobil itu belum tentu habis dalam dua tahun. Sementara itu, pabriknya juga baru setengah jadi, sehingga tak mungkin bisa dipakai. Selain itu, TPN juga masih punya tunggakan pajak senilai Rp 3 triliun. Jadi, bank-bank itu kini harus berebut aset dengan Dirjen Pajak dan Bea Cukai, nilainya pasti jauh di bawah investasi awal US$ 650 juta.
Prajogo Pangestu
Taipan kayu berwajah klimis ini sempat mengejutkan dunia bisnis di Indonesia ketika tampil dengan bendera Barito Pacific Timber (BPT). Dia langsung menyodok ke papan atas konglomerasi di Indonesia, menyaingi Salim, Sinar Mas, dan Lippo. Berkah harga kayu yang tinggi pada dekade 1980 dan sukses penjualan sahamnya pada 1993 mendongkrak nilai aset Prajogo. Di BPT saja, ketika itu nilai asetnya mencapai Rp 5 triliun.
Kedekatan Prajogo dengan Keluarga Cendana makin memuluskan bisnisnya. Menggandeng Siti Hardijanti Rukmana, Prajogo menggarap kelapa sawit dan pulp, serta bersama Bambang membangun CAPC. Prajogo juga ikut andil membeli saham Astra International ketika William Soeryadjaya lengser akibat Bank Summa kolaps. Namun, kibaran benderanya cuma bertahan sekitar setahun. Sejak 1994, bisnis Prajogo mengempis.
Soal utang, Prajogo melalui juru bicara perusahaan BPT, Riskintono Rahman, membantah punya pinjaman senilai Rp 2,5 triliun kepada BBD. "Kalau di BDN ada, nilainya US$ 22 juta," katanya. Riskintono juga membantah kredit itu macet karena jatuh temponya baru tahun depan. "Bagaimana bisa dibilang macet," kata Kris, yang juga membantah Prajogo kini berada di luar negeri. "Keluarganya juga tetap di Indonesia".
Ciputra
Pengusaha yang besar lantaran bisnis properti ini diberitakan punya kredit macet di Exim dan Bapindo senilai Rp 1,478 triliun. Namun, menantu Ciputra, Harun Hajadi, yang kini menangani bisnis keluarga itu mengaku hanya punya pinjaman Rp 103,4 juta kepada Bapindo, sedangkan di Exim dia mengaku tak punya utang sepeser pun. "Gede sekali. Kalau benar segitu, saya sudah kaya," katanya.
Menurut Harun, utangnya di Bapindo juga sulit dibilang macet. Sebab, katanya, Ciputra Development sudah mengajukan usul restrukturisasi selama lima tahun dan Bapindo menyetujuinya. Dia juga yakin pemerintah tak akan mempailitkan perusahaannya karena dengan cara itu pemerintah tidak akan mendapatkan apa-apa. "Saya kira itu untuk menekan swasta untuk segera merestrukturisasi utangnya," kata Harun.
M. Taufiqurohman, Dewi Rina Cahyani, dan Wenseslaus Manggut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini