Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Ketika Modal Tak Berpaspor

Politik pergerakan modal bisa menjadi penjelas mengapa negara seperti Indonesia bisa dilanda krisis. Kritik keras Jeffrey Winters terhadap kebijakan ekonomi Orde Baru.

29 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Power in Motion
Modal Berpinda Modal Berkuasa
Penulis: Jeffrey A Winters
Penerbit:Pustaka Sinar Harapan,1999
Tebal: 321 halaman + xxvl

Mungkin inilah buku yang terbit terlalu pagi. Buku ini ditulis oleh Jeffrey Winters pada 1996 dan datang dengan pesan: betapa pentingnya peran politik dari pergerakan modal. Itu satu pesan yang kemudian terbukti ketika krisis terjadi di negeri ini. Barangkali jika terbit setelah krisis, buku ini bisa menjadi risalah yang begitu lengkap dan memukau tentang bagaimana posisi politik pergerakan modal. Seperti yang ditulis Faisal Basri dalam pengantarnya, seandainya buku ini ditulis setelah Soeharto lengser, mungkin Jeffrey Winters akan menulis masalah tentang pertarungan antara Soeharto dan para pengelola modal, sebagai salah satu penjelas penting jatuhnya pemerintahan Soeharto.

Saya tak tahu seberapa benar pernyataan Faisal, tapi mungkin itu sebabnya buku ini seperti terbit terlalu pagi. Kendati begitu, buku ini telah memperkaya wacana tentang peran modal. Analisis tentang modal sebenarnya bukan hal baru dalam wacana ekonomi politik Indonesia. Tapi menempatkan analisis modal dari kerangka kapitalisme, seperti yang dilakukan Winters, adalah sebuah perspektif baru. Buku ini terasa begitu penting, terutama ketika ada satu anggapan umum—yang diterima seperti sebuah kebenaran—bahwa korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) adalah faktor tunggal krisis ini. Jika itu benar, ada satu pertanyaan penting yang harus dijawab: mengapa krisis baru terjadi pada Juli 1997? Bukankah KKN telah hadir di Indonesia sejak 30 tahun yang lalu atau bahkan sebelumnya?

KKN saja agaknya tak bisa menjadi faktor tunggal yang menyebabkan krisis ini. Observasi yang agak hati-hati datang dengan petunjuk bahwa mobilitas modal—akibat terintegrasinya pasar uang internasional—telah menjadi pemicu krisis. Itulah sebabnya orang seperti George Soros, melalui bukunya The Crisis of Global Capitalism, mulai berteriak. Itu pula yang menjelaskan mengapa Hong Kong, Singapura, atau Australia, yang konon memiliki pemerintahan yang relatif bersih, pun sempat dilanda krisis. Di sinilah pemahaman tentang pertarungan politik modal menjadi begitu penting saat ini.

Dengan observasi yang mendalam tentang struktur kekuasaan dari penguasa modal, Winters menunjukkan bahwa derajat pergerakan modal telah menjadi indikator yang lebih baik ketimbang "nasionalisme" modal. Pertanyaan yang muncul saat ini, menurut Winters, bukanlah soal apakah modal itu dimiliki pihak asing atau domestik, tapi lebih pada masalah apakah modal itu bersifat mobile atau immobile. Dan inilah yang memang menjadi relevan ketika kita membicarakan soal krisis di banyak negeri, termasuk Indonesia.

Buku ini menyajikan potret yang begitu tajam tentang politik modal di Indonesia sejak jatuhnya Soekarno sampai situasi di awal 1990-an. Dengan tajam dan rinci, Winters menulis bahwa dalam kurun waktu 1965-1973, ketika negara mengalami kebangkrutan, pemerintah begitu terbuka terhadap modal. Di sini peran politik modal menguat. Boom minyak yang terjadi pada 1974 kemudian mengubah cerita ini. Uang minyak yang melimpah telah memberikan posisi tawar-menawar (bargaining power) bagi negara untuk membatalkan secara sepihak relasi ini. Dan di pertengahan 1980-an, ketika harga minyak melemah, negara kembali begitu tanggap terhadap pengendali modal swasta. Kebijakan ekonomi negara cenderung kembali kepada ekonomi pasar. Dalam konteks inilah proses tarik-menarik antara negara dan modal terjadi.

Satu bagian yang juga menarik untuk digarap lebih luas dalam buku ini adalah transformasi dalam pola relasi akumulasi modal dengan kekuasaan. Dalam konsep yang konvensional, hubungan kausal antara akumulasi modal dan kekuasaan lebih dipahami dari arah di mana modal bisa mempengaruhi kekuasaan atau kebijakan. Namun, pada saat peran negara menguat akibat naiknya harga minyak, hubungan kausal itu justru berjalan terbalik: akumulasi kapital terjadi karena kekuasaan. Di sinilah terbuka sebuah koridor diskusi yang begitu luas. Sebuah buku yang terbit kepagian mungkin justru sebuah buku yang baik karena membuka ruang bagi penjelajahan pemikiran. Tentu ini bukan sebuah kesimpulan akhir.

Muhammad Chatib Basri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum