Bagi Al Nyoo, terbang ke Hong Kong tentu bukan acara istimewa. Boleh jadi, kota niaga terbesar Asia itu, untuk pengusaha sesibuk dan sekaliber dirinya, sama dengan Blok M bagi orang Jakarta kebanyakan....
Tapi bukan berarti tak ada yang spesial ketika Al Nyoo terlihat buru-buru memasuki ruang duduk pesawat yang akan membawanya ke Hong Kong, awal Maret lalu. Ia tampak tegang dan sedikit grusah-grusuh. Saking buru-burunya, laptop pribadi, yang biasanya selalu lengket di tangan, kali itu ketinggalan. Al Nyoo segera menelepon kantor dan minta agar komputer penuh dokumen penting itu segera disusulkan ke Hong Kong dengan kurir khusus.
Cerita laptop tercecer ini mestinya tak berarti apa-apa kalau beberapa hari setelah Al Nyoo pergi, pemerintah tak menutup Bank Papan Sejahtera. Bank yang menekuni pembiayaan perumahan itu dibekukan izin operasinya bersama dengan 37 bank lain yang gagal memenuhi ketentutan kecukupan modal minimal. Al Nyoo memang bukan lagi orang yang harus bertanggung jawab di Bank Papan. Tapi semua orang tahu, ia merupakan orang pertama Bank Papan ketika bank kelas menengah itu dibeli Hashim Djojohadikusumo satu setengah tahun lalu.
Kalau begitu, benarkah kepergian Al Nyoo yang buru-buru itu berkaitan dengan penutupan Bank Papan? Tak ada yang berani memastikan. Yang jelas, bersama petinggi di kelompok usaha Tirtamas itu, kabarnya, ada sembilan bankir lain yang tiba-tiba "sakit" dan tengah berobat di luar negeri. Semua itu terjadi bersamaan, pada hari-hari di sekitar pengumuman likuidasi bank, 13 Maret lalu.
Perginya Al Nyoo dan sakitnya para bankir di luar negeri mungkin saja sebuah kebetulan. Tapi, boleh jadi juga, mereka memang punya agenda lain: menghindari jerat hukum. Penutupan bank memang punya buntut tak enak bagi para pemilik (pemegang saham pengendali) dan pengurus (komisaris dan direktur) bank. Mereka bisa kena jerat sejumlah tuduhan pidana perbankan.
Pelanggaran batas maksimum pemberian kredit alias BMPK, misalnya (lihat boks: BMPK, Pagar untuk Dilanggar?). Pelanggaran ini kedengarannya memang klise, dan rasa-rasanya sudah biasa dilakukan para bankir. Tapi, disadari atau tidak, risiko hukum pelanggaran BMPK jelas tak ringan. Menurut UU perbankan yang baru, setiap pelanggaran BMPK yang disengaja bisa diancam hukuman penjara maksimal 10 tahun.
Bukan itu saja. Pelanggaran BMPK biasanya juga merembet ke manipulasi data keuangan. Soalnya, kredit ke grup sendiri merupakan salah satu pos dalam laporkan keuangan bank yang harus dibeberkan ke Bank Indonesia serta masyarakat. Setiap pelanggaran BMPK mestinya akan kepergok pada saat pertama jika laporan itu disajikan dengan jujur. Karena itu, ada kecenderungan para pelanggar BMPK akan sekaligus menabrak rambu-rambu window dressing karena memoles laporan keuangan agar tampak lebih cantik dari semestinya. Kalau ini yang terjadi, ancaman bagi para bankir tadi berlipat menjadi 15 tahun kurungan.
Begitu mudahkah para bankir ini akan terserempet vonis mengerikan itu? Rupanya, tak semudah itu. Menurut Kepala Direktorat Reserse Mabes Polri, Kolonel I Made Mangku Pastika, ada banyak tahap prospes penyidikan untuk menyeret para bankir sebagai tersangka tindak pidana perbankan.
Dalam hal pelanggaran BMPK tadi, misalnya, tak semuanya punya unsur tindak pidana kriminal. Pelanggaran BMPK baru bisa dijadikan delik pidana jika ada unsur kesengajaan. "Sudah tahu berlebih," kata Pastika, "eh, diberi dan diberi lagi." Salah satu petunjuk yang jelas adanya kesengajaan pelanggaran BMPK adalah jatuhnya surat peringatan dari BI. Jika surat peringatan itu turun tapi tak diindahkan, "Bankir itu bisa kena jerat pidana."
Memang benar, hal itu tak saja belum bisa dipakai untuk membawa bankir ke pengadilan. Ada banyak teknik untuk menghindari tuduhan. Pelanggaran BMPK kini sering bisa dihindari dengan pelbagai dalih. Yang paling banyak dipakai adalah kenaikan harga dolar dalam dua tahun terakhir. Seiring dengan naiknya harga dolar, nilai kredit yang dicairkan dalam mata uang dolar kini membengkak lebih dari tiga kali lipat.
Jadi, sebuah pinjaman US$ 1 juta, dua tahun lalu (setara dengan Rp 2,5 miliar), kini sudah menggelembung jadi Rp 8 miliar. Akibatnya, bank yang memberikan kredit ke grup sendiri dalam mata uang dolar praktis terancam melanggar BMPK. Apakah ini pelanggaran yang disengaja? Tentu saja tidak.
Karena itu, agar fair, Bank Indonesia membuat aturan baru. Pelanggaran BMPK yang semata-mata disebabkan nilai kredit melambung gara-gara kenaikan kurs dolar tidak dianggap sebagai pelanggaran tapi palampauan BMPK. Persoalannya, permakluman ini kemudian menjadi semacam kilah umum. Setiap pelanggaran BMPK disebut-sebut gara-gara kenaikan harga dolar....
Selain harga dolar, nilai ekuitas alias modal bank yang terus merosot juga jadi masalah. Pada zaman krisis seperti sekarang, harga dolar tinggi, suku bunga rupiah melonjak, membuat tingkat kredit macet di perbankan semakin besar. Akibatnya, para pemilik bank perlu menyediakan dana cadangan untuk mengganti kredit yang tak tertagih itu. Tanpa suntikan kapital baru, dana pencadangan ini harus diambilkan dari ekuitas yang ada. Semakin besar kredit macetnya, semakin cepat jumlah modal berkurang.
Nah, BMPK dihitung sebagai persentase jumlah kredit kepada satu kelompok tertentu atau grup sendiri dibandingkan dengan modal. Jika modal bank menyusut, jelas bahwa besaran BMPK akan terus naik walaupun jumlah kredit tak bertambah.
Dengan kedua kedok ini, pelanggaran BMPK bank, tak bisa tidak, memang agak sedikit terselimuti. Tapi kedua persoalan teknis itu tak sulit dilacak. Pengaruh kenaikan harga dolar terhadap nilai kredit untuk grup, misalnya, gampang dicek dengan merinci porsi kredit dalam dolar dan rupiah.
Andai saja seluruh kredit diberikan dalam nominal dolar, nilai rupiahnya saat ini paling banyak tiga kali lipat dari nilai kredit ketika dicairkan dua tahun lalu. Artinya, pelanggaran BMPK yang masih termasuk kategori pelampauan paling banter cuma tiga kali lipat jumlah yang diperkenankan. Di atas jumlah itu, hampir bisa dipastikan terjadi pelanggaran BMPK. Itu artinya para bankirnya terkena ancaman hukuman 10 tahun.
Lalu bagaimana mengecek data kredit bank yang dicairkan ke grup sendiri secara akurat? Tak mudah, memang. Pos kredit afiliasi di dalam neraca keuangan bank sebenarnya menyajikan besaran ini. Tapi pada umumnya jumlah yang dicantumkan tak sesuai dengan kenyataan.
Dalam uji tuntas (due diligence) auditor internasional terhadap perbankan Indonesia dari April hingga September tahun lalu, sebenarnya diteliti dengan lengkap data-data BMPK yang nyangkut ke setiap kelompok usaha. Tapi data itu kemudian bocor sehingga muncul menjadi semacam dokumen tak bertuan dengan sedikit perubahan versi di sana-sini.
Jika data itu benar, pelanggaran BMPK di perbankan Indonesia memang begitu dahsyat. Daftar yang diterima TEMPO menunjukkan pelanggaran BMPK berkali-kali lipat dari yang diperkenankan. Apa yang terjadi pada Bank Nusa Nasional, yang sahamnya dikuasai kelompok usaha Bakrie—tampaknya bisa jadi contoh.
Menurut peraturan, kredit Bakrie dari BNN mestinya tak boleh lebih besar dari Rp 200 miliar. Kalaupun semua kredit itu diberikan dalam dolar, paling banter kredit Bakrie dari BNN saat ini nilainya setara dengan Rp 700 miliar. Tapi ternyata, menurut daftar dari sumber TEMPO, kelompok Bakrie memiliki utang lebih dari Rp 2,5 triliun di BNN!
Aburizal Bakrie, ketua kelompok usaha Bakrie, membantah angka-angka itu. Ia mengaku memang benar ada kredit BNN untuk anak-anak perusahaan Bakrie. Cuma, "Tak ada yang melebihi BMPK," jawabnya tegas. Tapi seorang pejabat di Departemen Keuangan balik menyangkal bantahan ini. Ia membenarkan, para pengurus BNN telah melanggar ketentuan BMPK dengan sengaja.
Menurut pejabat ini, pertanda bahwa pemilik atau pengurus bank ikut terkena serempet pelanggaran UU Perbankan amat gamblang. "Gampang," katanya, "lihat apakah mereka masih terpakai sebagai bankir atau tidak." Ia memberi satu petunjuk: semua pengurus dan pengelola BNN kini dicopot pemerintah. Tak satu pun dari orang yang digaji Bakrie itu yang masih terpakai. Nama seperti Odang Kariana, Kurnia Achmadin, atau Arifin Haris kini sudah berganti menjadi Safrullah Hadi Saleh, Budi Purwanto, dan Lintang Nugroho.
Ini dengan jelas menunjukkan satu hal: para pengurus lama itu tak becus mengurusi bank atau melanggar Undang-Undang Perbankan. Dalam hal pengurus BNN, kata sang pejabat, "Mereka melanggar batas maksimum pemberian kredit."
Kalau mau jujur, pergantian pengurus bank yang mengindikasikan pelanggaran BMPK seperti pada BNN bukan soal yang istimewa. Dari tujuh bank yang dinasionalisasi, hanya Bank Rama yang pengelolanya tak diganti seorang pun. Jadi, mungkin Ical tak perlu terlalu risau menghadapinya. "Toh, banyak juga temannya," kata sumber TEMPO.
Petunjuk adanya pelanggaran BMPK bukan cuma terjadi di bank-bank yang diambil alih pemerintah. Bahkan di bank-bank "kelas satu" yang ikut program rekapitalisasi pun ditemukan gelagat yang sama. Apa yang terjadi di Bank Internasional Indonesia (BII), misalnya. Dengan modal hampir Rp 3,5 triliun, bank di bawah bendera Grup Sinar Mas ini mestinya hanya bisa memberikan kredit ke konglomerasi Eka Tjipta Widjaja paling banyak Rp 700 miliar. Jika semua kreditnya diberikan dalam nominal dolar, nilai kredit BII ke Grup Sinar Mas paling banter hanya boleh membengkak sampai Rp 2,2 triliun.
Padahal, menurut sumber TEMPO, hasil uji tuntas auditor internasional menyebut pinjaman Sinar Mas ke BII mencapai Rp 5,5 triliun. Kalau angka ini benar, agak sulit diterima akal jika BII tak melanggar BMPK. Tapi, kepada TEMPO, komisaris sekaligus juru bicara BII membantah tuduhan itu. "Tak ada BMPK di BII," katanya singkat.
Bantahan seperti itu tampaknya akan menjadi jawaban umum. Kendati sejumlah sinyal jelas menunjukkan adanya pelanggaran, tampaknya tak mudah membuktikan seorang bankir telah menabrak rambu-rambu BMPK atau tidak. Bahkan, kalau melihat pengalaman selama ini, sekadar membawa para bankir ke pengadilan pun bukan soal yang gampang. Hingga hari ini, setelah 16 bank ditutup dan 48 bank dibekukan izinnya sejak November 1997, baru ada satu bankir yang kena vonis atas pelanggaran BMPK (lihat halaman 73). Puluhan kasus lainnya seperti lenyap tanpa bekas.
Pastika mengaku, kepolisian memang tengah mengumpulkan bahan. Dari 38 bank yang dibekukan izinnya, akan dilihat mana yang memenuhi unsur pidana dan mana yang tidak. Diperkirakan, dalam pekan ini, dokumen yang dikumpulkan bersama Bank Indonesia itu akan terkumpul lengkap. Setelah itu, barulah mereka bisa menentukan apakah penyidikan bisa dilakukan atau tidak. Proses bertahap seperti ini, menurut Pastika, memang harus ditempuh sesuai dengan kesepakatan antara Kepolisian, Bank Indonesia, dan Kejaksaan Agung.
Menurut seorang ahli hukum perbankan, proses seperti ini bukan hanya lamban, tapi juga memberi kesempatan kepada setiap bankir yang merasa terancam untuk mengamankan diri. Mestinya, ada lembaga superpower yang bisa bertindak cepat dan dilandasi kekuatan hukum.
Lembaga seperti itu sebenarnya sudah ada. Namanya Badan Penyehatan Perbankan Nasional alias BPPN, yang dibekali pasal-pasal supersakti untuk segera menyeret para bankir agar disidik. Tapi para pejabat BPPN pun terkesan ngeper ketika diminta kesigapannya untuk menyelesaikan pelanggaran UU Perbankan ini. Sambil berguman menahan kesal, seorang pejabat hanya berkata singkat, "Jadwal dan tata cara rekapitalisasi bank saja bisa diubah, apalagi soal beginian...."
Apa boleh buat. Pasal-pasal hukum saja tampaknya tak cukup.
Dwi Setyo dan Biro Jakarta
Tunggakan Kredit Macet Bankir Kakap:
1. Bambang Trihatmodjo 2. Hutomo Mandala Putra 3. Prajogo Pangestu 4. Astra International 5. Ciputra Development 6. Edi Tansil 7. Aburizal Bakrie | Rp 22,919 triliun Rp 4,9 triliun Rp 2,6 triliun Rp 1,867 triliun Rp 1,478 triliun Rp 1,3 triliun Rp 1,29 triliun |