TAK hanya agen tunggal, puluhan perusahaan pembuat komponen mobil, ikut terpukul akibat menurunnya produksi mobil. Salah satu di antaranya, yang mau tak mau menghadapi keadaan sulit itu, misalnya ban. Soalnya, tahun lalu saja sekitar dua juta ban tak terjual, di pasar bebas -- sementara para perakit mobil sudah pula mengurangi permintaan mereka pada pabrik-pabrik ban. Situasi itu cukup membuat kalang kabut Kawatama, Direktur Penjualan PT Bridgestone Tire Indonesia (BTI), produsen ban yang menggantungkan pasarnya sekitar 75% dari produksinya pada agen tunggal mobil-mobil Jepang di Indonesia. Ditemui TEMPO di kantornya yang nampak luas di lantai 18 Wisma Metropolitan, Jakarta, Kawatama berulang-ulang menggaruk-garuk kepalanya. "Pusing," katanya dalam bahasa Indonesia berlogat Jepang. Sudah tinggal selama 3 tahun di Indonesia, sarjana hukum asal Tokyo itu tak menyembunyikan kecemasannya pada keadaan pasaran ban yang lesu sekarang ini. "Pesanan dari langganan perakit mobil sudah turun 15%," ungkapnya. Ditambah sisa produksi lama yang tak terjual tahun lalu, jumlah ban BTI yang belum terjual itu, katanya, harus dilempar ke pasar bebas. Ini berarti persaingan di pasar bebas akan semakin ketat, karena selama ini tercatat 7 merk yang sudah bersaing merebut pembeli di pasar ini. Antara lain, Good Year, Intirub, Yokohama dan Dunlop. Di seluruh Indonesia produksi ban tahun lalu tercatat lebih 5 juta, padahal permintaan sekitar 3 juta. Jika BTI jadi melempar sisa produksinya itu ke pasar bebas, maka tak ayal, tumpukan ban mobil itu akan semakin menggunung -- sementara sampai sekarang tak ada tanda-tanda akan ada usaha pengurangan produksi. Akibatnya, timbul persaingan yang tak urung akan menyudutkan produsen yang kecil produksinya, seperti PT Dunlop Indonesia, produsen ban PMA -- Inggris-lndonesia. Baru memproduksi sekitar 600 ban per hari, Dunlop, menurut direkturnya, John N. Robinson, tahun lalu gagal mencapai target peningkatan 6% dari penjualan tahun sebelumnya. Bahkan, jumlah penjualan itu menurun 3%. Toh, itu tak membuat John putus asa. Merencanakan efisiensi dan tetap menggantungkan 75% pasarnya pada pasar bebas dia mengatakan tetap akan berjuang. Hanya akibat penurunan penjualan itu mereka tidak menerima karyawan baru tahun ini, untuk efisiensi. Yang juga menggantungkan pelemparan produk di pasar bebas seperti itu, adalah PT Intirub, persero pemerintah yang rata-rata membuat 3.600 ban per hari di dua pabriknya di Jakarta dan Palembang. Perseroan ini nampak belum khawatir akibat menurunnya produksi mobil akan mengenai mereka. "Penjualan kami tahun ini akan ditingkatkan lewat kampanye kepada para sopir," kata Sudjihwahono, Direktur Penjualan Intirub. Dia nampak optimistis hasil tahun ini tak merosot jauh dibandingkan tahun lalu, karena itu tak merasa perlu mengurangi produksi. "Yang penting kita lakukan adalah efisiensi " kata Azis Pane, Humas Intirub. Toh itu barangkali bukan jalan keluar. Berbagai cara memang harus dilakukan para produsen ban itu agar dapat keluar dari keadaan sulit. Itu juga nampaknya akan dialami produsen komponen lain yang menjamur tumbuh sejak pemerintah lewat Menteri Perindustrian 1979 menggalakkan pembuatan komponen penunjang automotif. Dimulai oleh agen tunggal seperti Astra, dan Kramayudha yang mendirikan anak perusahaan (konglomerasi), perusahaan pembuat komponen perorangan seperti produsen aki, kaca, radiator, dan lain-lain, tumbuh bak jamur. Itu karena penggalakan untuk membuat komponen di dalam negeri dilakukan dengan cara yang sedikit protektif. Pemerintah langsung melarang impor komponen yang sudah bisa dibuat di dalam negeri. Ini membuat perkembangan perusahaan pembuat komponen automotif itu, baik yang ada di bawah naungan perusahaan induk maupun yang perorangan berkembang pesat. Bermilyar investasi sudah ditanam di kegiatan ini dan beribu orang ditampung bekerja. Salah satu target pemerintah dalam mewujudkan terciptanya lapangan kerja berangsur direalisasikan, sampai awan mendung itu muncul tahun 1982. Rudyanto Hardjanto, Direktur PT Astra International memastikan keadaan perusahaan perorangan di sektor pembuatan komponen penunjang automotif itu lebih parah keadaannya dibanding yang dimiliki perusahaan induk. "Jika tak ada pesanan mereka tentu harus berhenti produksi," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini