Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKHIRNYA, ia pergi tanpa kerusuhan dan pertumpahan darah. Donald Trump meninggalkan Gedung Putih dengan damai menjelang upacara peralihan kekuasaan yang sampai harus melibatkan 25 ribu tentara untuk menjaga Washington, DC. Pasar keuangan lega, bersiap menyambut tambahan stimulus dari pemerintah Amerika Serikat yang nilainya spektakuler: US$ 1,9 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itulah tindakan pertama Presiden Joseph Biden untuk membenahi ekonomi Amerika yang morat-marit karena hantaman Covid-19. Biden harus mampu menumbuhkan kembali ekonomi seraya tetap menjaga stabilitas pasar keuangan dan sedapat mungkin mengurangi ketimpangan kesejahteraan yang kian menggigit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemberian stimulus semestinya bakal menaikkan daya beli rakyat Amerika, menumbuhkan permintaan akan berbagai barang dan jasa. Ini berpotensi memulihkan berbagai kegiatan usaha dan industri. Pada gilirannya, roda ekonomi bisa kembali bergerak di tengah wabah yang masih berkecamuk tanpa belas kasihan. Pembagian stimulus berupa dana tunai juga akan sangat membantu warga miskin yang paling menderita terkena dampak wabah.
Pasar kini mencermati betul bagaimana rencana stimulus ini bakal bergulir. Jika Kongres dan Senat Amerika setuju—pemungutan suara rencananya berlangsung pada awal Februari nanti—euforia kembali bisa melanda pasar dengan lebih kencang. Banjir aliran dolar ke ekonomi Amerika ini akan merembes ke mana-mana dan berdampak luas ke seluruh dunia.
Seperti biasa, pasar keuangan selalu antisipatif, bergerak lebih dulu. Sentimen positif bahwa stimulus akan bergulir mulus sudah menggerakkan pasar dengan kencang. Indeks S&P 500, patokan penting pergerakan harga saham di bursa New York, naik mencapai rekor baru 3.835,50 menjelang pembukaan bursa di Amerika, Jumat, 22 Januari lalu.
Pasar negara berkembang turut menikmati datangnya injeksi likuiditas dolar itu. Menurut data Financial Times, dana investasi mengalir kencang ke 30 pasar berkembang utama dunia selama tiga pekan pertama 2021. Nilainya mencapai US$ 17 miliar. Investor memburu imbal hasil yang jauh lebih besar di negara-negara berkembang. Bunga yang sangat mini di negara maju sudah tentu tak menarik. Harga saham di negara berkembang secara rerata naik 9 persen jika dihitung dalam dolar Amerika Serikat. Sebagai perbandingan, harga saham di negara-negara maju hanya naik 2,7 persen.
Indonesia tentu ikut menikmati banjir dolar itu. Pemerintah RI berhasil menjual obligasi dalam mata uang asing di bursa Singapura dan Frankfurt, senilai US$ 3 miliar dan € 1 miliar, pada 12 Januari lalu. Imbal hasil obligasi itu terendah sepanjang sejarah. Imbal hasil salah satu seri obligasi, berdenominasi dolar Amerika dan bertenor 10 tahun, cuma 1,9 persen. Kendati rendah, bagi investor, imbal hasil itu tetap jauh lebih menarik ketimbang imbal hasil obligasi pemerintah Amerika dengan tenor sama yang hanya 1,1 persen.
Tak hanya menangguk dolar dari pasar luar negeri, Indonesia menerima derasnya aliran dolar yang langsung masuk ke pasar finansial domestik. Berdasarkan data Bank Indonesia, selama tiga pekan pertama 2021, investor asing membeli berbagai aset senilai Rp 16 triliun atau US$ 1,14 miliar.
Masuknya dolar yang begitu kencang dari penjualan obligasi di luar negeri ataupun langsung ke bursa dalam negeri seharusnya membuat nilai rupiah melambung tinggi. Sayangnya, itu belum terjadi. Rupiah tenang bergeming di kisaran 14 ribu per dolar Amerika, nyaris tak berbeda dengan kurs di awal tahun.
Sepertinya, investor menghitung satu faktor risiko yang dapat membebani Indonesia: naiknya suku bunga. Pasar keuangan global akan guncang. Indonesia tentu tak akan luput dari gejolak itu. Pengalaman menunjukkan, jika kebijakan The Fed berbalik, dampaknya pada rupiah sungguh sangat dalam, seperti yang pernah terjadi pada 2013-2015.
Ironisnya, risiko itu justru akan muncul jika Presiden Biden berhasil menyehatkan ekonomi Amerika. Inflasi datang, The Federal Reserve pun harus menaikkan bunga atau minimal menghentikan arus banjir dolar. Tak ada yang tahu kapan itu terjadi. Untuk sementara, pasar masih larut dalam sukaria, menyambut banjir dolar dari Biden.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo