Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Prabowo berambisi mengkonsolidasikan aset tujuh BUMN di bawah Danantara.
Warganet kekhawatir Danantara memicu skandal korupsi besar seperti 1MDB Malaysia.
Sejumlah ahli mewanti-wanti risiko penyelewengan dana, utang yang berlebihan, hingga beban APBN.
HARI peluncuran Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau BPI Danantara makin dekat. Namun sambutan masyarakat terhadap lembaga yang akan mengkonsolidasikan aset tujuh badan usaha milik negara (BUMN) ini tidak begitu positif.
Di media sosial X, sejumlah warganet mengungkapkan kekhawatiran akan kehadiran Danantara. Muncul seruan menarik uang dari bank-bank yang dikelola oleh BUMN karena khawatir penyalahgunaan dana.
Danantara yang akan diluncurkan pada 24 Februari 2025 ini merupakan salah satu ambisi Presiden Prabowo Subianto untuk mengoptimalkan pengelolaan aset negara dengan skala besar sehingga bisa mendorong pertumbuhan perekonomian nasional. Dia menyebutkan lembaga ini sebagai konsolidasi semua kekuatan ekonomi Indonesia karena akan membawahkan tujuh perusahaan pelat merah yang dianggap paling menguntungkan dan strategis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Umum Partai Gerindra itu menyatakan pendanaan awal untuk Danantara sekitar US$ 20 miliar akan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, khususnya dari hasil penghematan anggaran yang telah dilakukan dalam beberapa waktu terakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Danantara ditargetkan mengelola aset senilai lebih dari US$ 900 miliar atau sekitar Rp 14 ribu triliun. “Saya rasa ini akan menjadi langkah yang transformatif,” ujar Prabowo dalam acara World Governments Summit 2025 yang diselenggarakan secara virtual di Dubai, Uni Emirat Arab, Jumat, 14 Februari 2025.
Namun ambisi Prabowo ini justru dinilai berisiko tinggi oleh sejumlah ahli. Bahkan ada yang menyamakan kehadiran Danantara dengan skandal keuangan besar, seperti kasus 1Malaysia Development Berhad (1MDB) di Malaysia. 1MDB didirikan oleh Perdana Menteri Malaysia Najib Razak pada 2015.
Badan investasi ini menjadi skandal keuangan besar yang melibatkan penyalahgunaan dana investasi negara hingga miliaran dolar Amerika Serikat melalui transaksi tidak transparan dan pencucian uang lintas negara. Saat itu, dilaporkan banyak kasus korupsi yang dilakukan Najib Razak bersama kroni-kroninya yang bersumber dari 1MDB.
Ekonom dari Center of Reform on Economics, Yusuf Rendy Manilet, mengungkapkan kekhawatiran masyarakat terhadap Danantara, terutama dalam perbandingannya dengan kasus 1MDB di Malaysia. Kekhawatiran ini berakar pada risiko tata kelola yang lemah dan penyelewengan dana. Meskipun belum ada indikasi bahwa Danantara akan mengalami nasib serupa, pengalaman 1MDB menunjukkan bagaimana lembaga investasi negara dapat menjadi sarana korupsi jika tidak diawasi secara ketat.
Terlebih, Danantara bekerja dengan mengumpulkan aset BUMN untuk mencari uang. Aset tersebut bakal digadaikan sebagai jaminan utang atau bahkan dijual. Danantara akan memanfaatkan aset negara untuk berinvestasi dalam berbagai proyek, seperti energi terbarukan, penghiliran atau hilirisasi, produksi pangan, dan manufaktur. “Jika Danantara terlalu bergantung pada utang atau dana publik tanpa kepastian keuntungan, risiko terhadap APBN dan stabilitas ekonomi bisa meningkat,” tuturnya kepada Tempo, Kamis, 20 Februari 2025.
Tahap-tahap Pendirian DanantaraBadan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara merupakan lembaga pengelola investasi yang bertujuan mengoptimalkan pengelolaan aset negara. Danantara dijadwalkan meluncur pada 24 Februari 2025.
|
Selain itu, jika skema pendanaan Danantara melibatkan penerbitan surat utang dalam negeri, Yusuf memperkirakan adanya potensi crowding out, yang menyebabkan sektor swasta kesulitan mengakses pembiayaan karena likuiditas tersedot ke proyek-proyek yang dijalankan Danantara. Karena itu, Yusuf menekankan pentingnya diversifikasi sektor, skema investasi berbasis profitabilitas, serta keterlibatan investor swasta dan internasional agar risiko tidak sepenuhnya ditanggung oleh negara.
Menurut Yusuf, kasus 1MDB memberikan banyak pelajaran yang relevan bagi Danantara. Salah satu yang paling krusial adalah pentingnya tata kelola yang kuat serta pengawasan independen. 1MDB jatuh karena kurangnya transparansi dalam pengelolaan aset dan adanya intervensi politik yang mengabaikan prinsip-prinsip bisnis sehat. Karena itu, Danantara harus memiliki mekanisme audit yang ketat, laporan keuangan yang terbuka untuk publik, serta batasan jelas terhadap intervensi politik dalam pengambilan keputusan investasi.
Peneliti dari lembaga kajian Next Policy, Shofie Azzahrah, mengimbuhkan, kesalahan utama 1MDB adalah lemahnya tata kelola, kurangnya kontrol independen, serta keputusan investasi yang tidak transparan dan tak jelas manfaatnya bagi ekonomi nasional. Ketiadaan audit independen yang ketat juga memungkinkan transaksi gelap berlangsung selama bertahun-tahun sebelum akhirnya terbongkar. “Dari kasus ini, Indonesia harus belajar bahwa Danantara tidak boleh menjadi entitas yang kebal dari pengawasan,” tuturnya.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga berpandangan bahwa Danantara berisiko menghadapi masalah serupa dengan 1MDB. Meskipun konsolidasi BUMN di bawah Danantara berpotensi meningkatkan permodalan, ia menekankan penyalahgunaan dana dapat muncul, seperti yang pernah terjadi pada skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Hal ini dapat mengganggu stabilitas dan likuiditas perbankan.
Papan iklan 1Malaysia Development Berhad (1MDB) di gedung utama Bursa Efek Tun Razak di Kuala Lumpur, 1 Maret 2015. Reuters/Olivia Harris
Pengamat perbankan dari Perbanas Institute, Arianto Muditomo, pun mewanti-wanti pemerintah agar Danantara tidak mengambil terlalu banyak utang atau over-leveraging. Sebab, jika hal itu terjadi, beban keuangan negara bisa meningkat, terutama jika investasi yang dilakukan tidak menghasilkan keuntungan sesuai dengan harapan.
Jika Danantara berutang dalam jumlah besar hingga gagal bayar, Arianto mengungkapkan aset BUMN yang dijaminkan berisiko terancam. Dampaknya dapat berpengaruh negatif terhadap kinerja dan stabilitas perusahaan-perusahaan BUMN. Selain itu, perbankan bisa mengalami tekanan likuiditas karena banyak dana yang terserap untuk pembiayaan Danantara.
Suku bunga pun, kata dia, berpotensi naik karena bank perlu menjaga keseimbangan dana. Stabilitas ekonomi nasional juga dapat terganggu jika kepercayaan pasar menurun akibat risiko gagal bayar atau dampak sistemis terhadap sektor keuangan.
Kinerja BUMN 2024 di Bawah Danantara
|
Sementara itu, Menteri BUMN Erick Thohir menyatakan Danantara merupakan visi Prabowo untuk memastikan perusahaan pelat merah tidak bergantung pada anggaran negara. “Dana yang dihasilkan korporasi bisa dipakai untuk mengintervensi percepatan investasi atau pertumbuhan ekonomi,” katanya kepada Tempo, Senin, 10 Februari 2025.
Di sisi lain, Erick menuturkan Danantara akan membuat proses penyehatan BUMN yang bermasalah menjadi lebih cepat. Adapun dari total 114 perusahaan pelat merah, 47 perusahaan sudah terkonsolidasi. Namun tujuh di antaranya tidak sehat sehingga perlu direstrukturisasi. Dalam proses penggabungan atau penutupan perusahaan BUMN biasanya membutuhkan waktu dua hingga tiga tahun. Dengan Undang-undang BUMN yang baru, kata dia, hanya memakan waktu enam bulan.
Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan bahkan yakin keuntungan yang bisa diraup Danantara mencapai US$ 25 miliar atau sekitar Rp 408,5 triliun. Mantan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi itu juga mengklaim pengelolaan dana investasi di Danantara akan dilakukan secara profesional dan dipimpin oleh orang yang mumpuni. “Ini tidak akan dikelola oleh, mungkin seseorang titip-titip bahasanya, yang direkomendasi oleh ini dan itu,” ujarnya.
Tempo mencoba meminta tanggapan Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Deni Surjantoro selaku pihak yang akan menjadi anggota Dewan Pengawas Danantara sesuai dengan Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik Negara. Namun pesan yang dilayangkan Tempo sampai saat ini tidak dijawab. ●
Caesar Akbar berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo