Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinyal Pasar

Sembrono Boros Ketika Risiko Meningkat

Pemerintah bersiap menggelontorkan dana ratusan triliun rupiah untuk impor senjata dan proyek ibu kota. Mengapa ironis? 

12 Februari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Momentum pertumbuhan jadi peluang bagi Indonesia.

  • Kebijakan belanja pemerintah tak rasional.

  • Seabrek risiko membahayakan ekonomi Indonesia.

SEHARUSNYA pemerintah tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Ekonomi Indonesia sebetulnya sedang menikmati rezeki nomplok sejak tahun lalu, mulai menggeliat dan mampu tumbuh 5,2 persen, jauh lebih baik ketimbang minus 0,71 persen pada 2020. Lonjakan harga komoditas menjadi daya dorongnya. Itu tecermin pada surplus neraca perdagangan 2021 yang mencapai US$ 35,34 miliar, tertinggi dalam 15 tahun terakhir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Banjir hasil ekspor dan momentum pertumbuhan itu semestinya menjadi amunisi yang baik untuk menjalankan berbagai program yang dapat memelihara pemulihan ekonomi. Dan, yang lebih penting, pemerintah sebetulnya bisa mengoptimalkannya untuk mengangkat derajat penduduk miskin. Per September 2021, masih ada 26,5 juta orang warga Indonesia yang secara resmi tergolong miskin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sayangnya, pemerintah justru mengambil kebijakan yang amat jauh dari pertimbangan ekonomi rasional. Bahkan pilihan yang diambil bisa berdampak negatif pada pertumbuhan. Belanja besar-besaran 42 pesawat tempur Rafale buatan Prancis senilai US$ 8,1 miliar, yang kontraknya ditandatangani pada Kamis, 10 Februari lalu, salah satu contohnya.

Amerika Serikat tak mau kalah berjualan mesin perang kepada Indonesia. Pada hari yang sama, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat mengumumkan dukungan kuat untuk merestui penjualan pesawat tempur F-15ID beserta berbagai perlengkapan perang lain senilai US$ 13,9 miliar. Jika rencana pembelian ini terlaksana, plus kontrak dengan Rafale, Indonesia akan membelanjakan lebih dari Rp 300 triliun untuk impor senjata.

Bukan cuma itu contoh kebijakan belanja pemerintah yang sangat tidak bijaksana. Pemerintah tetap berkeras ingin membangun istana baru yang megah. Tanpa pertimbangan matang, apalagi menimbang analisis biaya versus manfaatnya bagi ekonomi secara keseluruhan dan pemberantasan kemiskinan, pemerintah ingin memulai pembangunan ibu kota baru tahun ini juga.

Perilaku pemerintah yang sembrono dan boros ini sungguh bertolak belakang dengan suasana yang melingkupi pasar global. Bank-bank sentral kini justru sedang bersiap memasuki masa sulit. Inflasi tinggi akan memicu kebijakan finansial yang makin ketat secara global. Di Amerika Serikat, data resmi yang terbit pekan lalu menyatakan inflasi tahunan 2021 mencapai 7,5 persen, tertinggi dalam 40 tahun. Walhasil, inflasi yang mulai lepas kendali bakal mendorong The Federal Reserve menaikkan bunga lebih cepat serta menyedot likuiditas lebih kuat.

Indonesia tak akan lepas dari meningkatnya bahaya akibat perubahan situasi global ini. Salah satunya risiko moneter. Nilai rupiah akan menghadapi tekanan hebat. Perubahan alokasi investasi makin intensif. Dana-dana investasi portofolio yang selama ini masih bertahan di Indonesia bisa dengan mudah mengalir keluar ketika pasar bergejolak.

Pemerintah juga akan menghadapi naiknya risiko pasar. Untuk menutup defisit anggaran dan keperluan refinancing utang, selama 2022, pemerintah harus menjual surat utang senilai Rp 991,3 triliun. Menerbitkan surat utang dengan nilai sebesar itu, ketika likuiditas makin ketat dan mahal, jelas membawa konsekuensi. Pemerintah harus bersedia membayar bunga lebih besar jika ingin memperoleh pinjaman dari pasar.

Itu pun tak cukup. Pemerintah masih harus meminta bantuan Bank Indonesia menanggung sebagian utang itu. Rencananya, BI membiayai defisit anggaran pemerintah senilai Rp 225 triliun tahun ini lewat pembelian obligasi secara langsung. Inilah monetisasi utang yang sungguh membahayakan kredibilitas Indonesia di pasar global. Bahkan tim konsultasi Dana Moneter Internasional (IMF) sudah memberi rekomendasi agar BI segera menghentikan monetisasi utang.

Seandainya pemerintah benar-benar memakai duit utang itu untuk memulihkan ekonomi, mengurangi kemiskinan, atau menutup ongkos kesehatan rakyat di masa pandemi, mungkin utang baru senilai hampir Rp 1.000 triliun tersebut masih bisa dimaklumi. Sungguh ironi yang sangat pahit jika ternyata pemerintah malah boros belanja senjata serta membangun istana.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Yopie Hidayat

Yopie Hidayat

Kontributor Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus