Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MANAJEMEN Bank Danamon sewot. Dua pentolannya, Wakil Direktur Utama Jerry Ng dan Direktur Kepatuhan Anika Faisal, mengundurkan diri pada Oktober lalu. Kepergian dua orang itu ternyata disusul 120-an karyawan. Sekitar 80 persen mereka yang pergi berasal dari divisi simpan-pinjam. Bagian inilah yang menangani kredit usaha mikro, kecil, dan menengah alias microbanking—produk andalan bank milik Temasek Singapura itu.
Celakanya, surat permohonan pengunduran diri itu belakangan terus bertambah dari hari ke hari. Malah sebuah kantor cabang di Jambi sempat kosong melompong gara-gara belasan pegawainya angkat kaki. Tak tahan, Danamon pun mengadu ke Dewan Kode Etik Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) saat rapat pleno organisasi itu digelar 7 Mei lalu. Pekan berikutnya, mereka melapor ke Bank Indonesia di Jakarta dan Bandung.
Rupanya, para pegawai Danamon yang hengkang itu ditampung oleh Bank Tabungan Pensiunan Nasional. Perusahaan ini baru saja diakuisisi Texas Pasific Group—perusahaan private equity tempat dua pentolan Danamon tersebut menclok. Menurut Wakil Direktur Utama PT Danamon Tbk. Joseph Luhukay, Bank Tabungan juga berencana membikin produk untuk usaha mikro, kecil, dan menengah.
Jos—panggilan akrab Joseph—menuding dua mantan sejawatnyalah yang memboyong para karyawan Danamon ke Bank Tabungan. Menurut dia, langkah keduanya membawa bedol desa mantan anak buahnya tidak etis. ”Ini bisa merusak industri perbankan secara umum,” kata Jos.
Masalah bajak-membajak bankir, kasus seperti Danamon-Bank Tabungan Pensiunan Nasional kali ini bukan yang pertama. Nyaris tiap tahun kasus serupa terjadi. Pada 2004, misalnya, ketika Danamon mengawali bisnis usaha mikro, kecil, dan menengah, dunia perbankan heboh. Saat itu sejumlah bank perkreditan rakyat memberikan peringatan agar karyawannya tak disentuh. Akhirnya, menurut sumber Tempo, Danamon menggaet bankir Citibank untuk level head (manajer level menengah). ”Anak buahnya diambil dari Bank BRI,” ujar sumber itu.
Yang paling marak adalah ketika pemerintah membuka lebar bisnis perbankan melalui Paket Oktober 1988. Saat itu banyak pengusaha membuka bank baru atau bank yang sudah ada memperbanyak cabang. Berebut bankir profesional pun jadi hal biasa. Mereka tergiur iming-iming gaji dan pangkat yang lebih tinggi. Gubernur Bank Indonesia—saat itu Adrianus Mooy—sampai memanggil pengurus Perbanas.
Ujung-ujungnya, asosiasi perbankan nasional itu mengeluarkan edaran yang mengingatkan para bankir akan etika perbankan. Misalnya, bank yang akan menarik manajer bank lain mesti memberitahukan dua bulan sebelumnya agar bank yang ditinggalkan tak kocar-kacir.
Kali ini Perbanas juga tidak diam. Dua bank yang berselisih akan diundang pekan ini untuk menjelaskan data karyawan yang dipersengketakan, termasuk jumlah dan ringkasan riwayat hidup masing-masing. Ketua Perbanas Sigit Pramono mengatakan data yang lengkap dan akurat menjadi dasar penyelesaian yang adil dan diterima kedua pihak. ”Dua-duanya kan anggota kami,” katanya.
Namun, tak ada undangan yang melayang ke meja direksi Bank Tabungan Pensiunan Nasional. Menurut Direktur Kepatuhan yang membawahkan divisi sumber daya manusia, Taufik Hakim, hanya bank sentral yang meminta penjelasan soal ini. Pekan lalu manajemen telah menyampaikan data rekrutmen selama 2007-2008 kepada Direktur Pengawasan Bank Indonesia.
Rencananya, Taufik menambahkan, banknya akan merekrut 500-an karyawan pada tahun ini untuk mengisi 10 cabang baru yang akan dibuka sebagai bagian dari perluasan bisnis. Sebanyak 300-an sudah terealisasi. Bank tersebut memasang iklan lowongan kerja di sejumlah koran nasional.
Hasilnya, ”Sepuluh persen di antaranya berasal dari bank yang menjadi polemik (Danamon),” ujar Taufik. Karena itu, ia menolak tuduhan bahwa pihaknya telah melakukan rekrutmen secara tidak etis. ”Kecuali kalau dari 500 rekrutmen yang direncanakan, 300-nya dari salah satu bank.”
Pengamat perbankan Fauzi Ihsan menilai saat ini Indonesia memang menghadapi krisis bankir. Pasokan tenaga kerja sektor ini tak seimbang dengan perkembangan perbankan yang pesat. Hal ini, menurut dia, tak lepas dari krisis perbankan 1998 ketika tenaga-tenaga berpengalaman tidak bertambah.
Saat ini, ketika krisis sudah berlalu dan aktivitas perbankan kembali meningkat, kebutuhan akan bankir pun melonjak. Kendati jumlah bank kini hanya 129 (jauh lebih sedikit ketimbang sebelum krisis yang mencapai 237 bank), kebutuhan tenaga kerja jauh lebih besar. ”Sekarang ada yang membuka counter privasi, risk management, dan lainnya,” katanya.
Untuk memenuhi kebutuhan itu, Fauzi menambahkan, mereka mencari bankir-bankir yang ada. Level bankir senior, misalnya, mesti memahami risk management. Sebaliknya, tenaga kerja yang baru lulus dari perguruan tinggi tentu harus dididik lagi.
Jos membenarkan lulusan lembaga pendidikan perbankan yang ada di Indonesia tidak siap pakai. Apalagi untuk menjalankan bisnis microbanking, kata dia, mesti dididik lagi, terutama pendidikan mental. ”Nyalinya mesti gede. Siapa yang mau ngantor di pasar, wong bankir-bankir berdasi,” ujarnya.
Faktor inilah rupanya yang menjadi salah satu alasan mengapa Danamon mencak-mencak ketika karyawan divisi simpan-pinjamnya ”diobrak-abrik”. Apalagi Jos memprediksi bisnis microbanking memiliki prospek cerah di masa mendatang. Pangsa pasar yang belum digarap sangat besar. Danamon saja baru menjamah 700 dari sekitar 30 ribu pasar tradisional yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Menurut Jos, bisnis ini memang tengah diminati. Pasar kredit tanpa agunan dengan suku bunga yang nyaris tinggi ini besar sekali. Yang lebih penting, potensi kredit seretnya jauh lebih kecil dibanding kredit lain. Hasilnya memang recehan, tapi volumenya besar.
Tak mengherankan bila bank-bank besar berencana terjun ke sektor ini. Berdasarkan ”bisik-bisik” yang masuk ke telinga Jos, setidaknya ada 10 bank asing dan bank besar yang akan ikut bermain di pasar ini. Artinya, Jos harus bersiap-siap kehilangan lebih banyak lagi pegawainya.
Retno Sulistyowati, Muchammad Nafi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo