Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font size=2 color=#FF9900>Perlindungan Saksi</font><br />Menunggu Tujuh Pelindung Saksi

Dewan Perwakilan Rakyat akan memulai proses pemilihan anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Rancangan peraturan pemerintah yang mengatur kerja lembaga ini jauh dari yang diinginkan.

19 Mei 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIRNYA seleksi itu datang juga. Setelah sekitar empat bulan nyaris tak terdengar kabarnya, akhir Mei ini Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat akan mulai menyeleksi calon anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Dewan akan memilih tujuh dari 14 nama calon yang dikirim dari Istana Presiden.

Pembentukan lembaga ini terbilang sudah lewat tenggat. Disahkan pada 11 Agustus 2006, Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, memerintahkan pembentukan lembaga ini paling lambat setahun setelah undang-undang itu dilahirkan. Tapi nyatanya, ya, sangat terlambat. ”Dari Presiden sudah terlambat,” ujar Trimedya Panjaitan, Ketua Komisi Hukum Dewan. Keterlambatan itu terjadi, kata dia, karena berkas calon itu ”bolak-balik” antara Departemen Hukum dan Istana Negara.

Sesuai dengan namanya, lembaga ini kelak punya tugas penting: melindungi saksi-saksi kunci yang mengetahui sebuah kasus yang, jika ia ”buka”, mengancam keselamatan jiwanya. ”Dengan adanya lembaga ini, akan banyak kasus kejahatan terhadap manusia atau kasus korupsi bisa diungkap,” kata Myra Diarsi, salah satu calon anggota Lembaga Perlindungan Saksi. Lembaga ini juga punya wewenang istimewa. Misalnya mengubah identitas saksi atau korban, memberikan jaminan hidupnya, dan menyediakan tempat tinggal baru.

Disaring dari sekitar 200 pendaftar, 21 nama yang dipilih panitia seleksi yang diketuai pakar hukum Harkristuti Harkrisnowo itu dikirim ke Presiden pada Desember silam. Di Istana, nama-nama itu digodok lagi oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, serta Menteri-Sekretaris Negara. Jumlah itu lantas menciut menjadi 14 nama.

Menteri-Sekretaris Negara Hatta Rajasa menolak kabar bahwa Istana lelet memproses nama-nama calon yang akan diajukan ke Dewan itu. ”Butuh waktu untuk itu,” ujarnya. Apalagi, kata Hatta, ada sejumlah calon yang tidak melampirkan daftar riwayat hidupnya. Calon yang dipilih, ujar Hatta, mewakili enam institusi: kepolisian, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, lembaga swadaya masyarakat, kejaksaan, akademisi, dan pengacara.

Di Dewan, untuk mendapat tujuh nama pilihan itu, Komisi Hukum akan memulai dengan membentuk tim beranggota 15 orang. Tim kecil yang dipilih dari 49 anggota Komisi Hukum itu mendapat tugas mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan pemilihan anggota lembaga perlindungan saksi tersebut. Terutama memverifikasi data yang diserahkan pemerintah.

Sebelum pemilihan, Komisi Hukum akan mengumumkan 14 nama itu di surat kabar. ”Masyarakat diberi waktu satu pekan untuk memberikan masukan dan keberatan terhadap calon yang diusulkan,” kata Trimedya. Kalau ada masukan yang bersifat kritik, Komisi Hukum akan mengundang beberapa lembaga untuk membahasnya. ”Jika tidak ada, langsung dilakukan fit and proper test,” kata Trimedya. Semua proses ini akan memakan waktu sekitar sebulan. Adapun pemilihan ketuanya akan dilakukan secara internal oleh tujuh calon terpilih itu.

Kendati terbentuknya Lembaga Perlindungan Saksi sudah di depan mata, sejumlah lembaga swadaya masyarakat ragu terhadap efektivitas lembaga ini. Menurut juru bicara lembaga ini, Supriyadi Widodo Eddyono, Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pemberian Kompensasi dan Restitusi jauh dari yang diinginkan. Padahal rancangan tersebut akan menjadi alat kerja Lembaga Perlindungan Saksi. ”Rancangan itu membatasi akses korban atas kompensasi, restitusi, dan bantuan,” ujar Supriyadi.

Untuk mendapatkan kompensasi, misalnya, menurut rancangan itu, harus lewat keputusan pengadilan yang bersifat tetap. ”Jadi, ada pembatasan bagi korban untuk mendapat kompensasi,” ujar Supriyadi. Pengertian kompensasi semacam ini, kata dia, melenceng dari mandat Undang-Undang Perlindungan Saksi. Bantuan untuk saksi juga diberikan dengan sejumlah syarat. Saksi harus mengenali identitas pelakunya dan harus ada putusan pengadilan yang bersifat tetap untuk mengesahkan pemberian bantuan tersebut.

Dengan syarat-syarat berat seperti itulah Supriyadi khawatir lembaga ini kelak gagal menjalankan misinya: memberikan perlindungan dan jaminan kepada saksi atau korban. Jika itu terjadi, masyarakat akan emoh tampil ”menyerahkan diri” untuk membongkar kasus kejahatan.

Ramidi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus