SIDANG gabungan IMF (Dana Moneter Internasional) dan Bank Dunia di Berlin Barat, yang berakhir Kamis pekan silam, belum menciptakan terobosan baru. Resolusi yang keluar berisi anjuran dan harapan bagi pertumbuhan ekonomi dunia, pengendalian masalah utang dan proses penataan kembali (restructuring) anggaran dan perdagangan negara-negara maju, serta nilai tukar mata uang. Sementara itu, di luar ruang sidang, aksi-aksi demonstrasi belum juga berhenti. Motivasi mereka: membela orang miskin, suatu hal yang agaknya tercermin juga dalam mata acara "utang luar negeri" dari IMF dan Bank Dunia. Dalam diskusi tingkat tinggi itu, ada dua hal penting yang keras gemanya di sini. Pertama adalah pidato Menteri Keuangan Sumarlin, dan kedua pidato Gubernur Bank Sentral Jepang Satoshi Sumita. Kedua tokoh itu membicarakan masalah utang luar negeri negara-negara berkembang, dan keduanya muncul dengan pendapat yang menlmbulkan reaksi keras. Menteri Keuangan Sumarlin mengharap agar negara-negara berkembang bisa melunasi utangnya berdasarkan nilai tukar yang berlaku pada saat mereka menandatangani utang itu. Hal yang sama sebenarnya telah dikemukakan Sumarlin pada Konperensi Indonesia-Jepang di Bali empat bulan yang lalu. Di Pulau Dewata itu ia juga menganjurkan agar sebagian portfolio utang dijadikan hibah (grants), dan agar di masa depan bantuan diberikan dalam bentuk hibah disertai kebebasan penuh bagi negara penerima hibah, untuk menggunakannya. Jika saja diterima, imbauan Sumarlin itu tentulah akan menguntungkan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Di samping itu, anjuran Sumarlin tentulah juga dimaksudkan untuk menghindari pengalaman pahit tahun lalu, ketika Indonesia dihajar gejolak kurs mata uang. Lihatlah, merosotnya nilai dolar terhadap yen telah membuat utang Indonesia pada Jepang meningkat US$ 1,1 milyar. Seperti kita ketahui, Indonesia memperoleh bantuan luar negeri lebih besar pada sidang IGGI tahun ini, sebagian karena bantuan Jepang ternyata lebih banyak dari yang semula direncanakan. Dan membesarnya bantuan Jepang itu tak lepas dari angka 1,1 milyar dolar tersebut. Hal menarik yang justru sedang terjadi di sini adalah berkembangnya kurs mata uang asing yang berbeda-beda terhadap rupiah. Sebab utama sebenarnya adalah menguatnya dolar AS tahun ini. Tapi sebab lain adalah bahwa rupiah kita tidak secara lurus bergandengan dengan dolar, hal yang berlangsung sejak Devaluasi September 1986 hingga awal 1988. Bila kita ambil tahun anggaran 1988-1989 ini, maka rupiah dalam semester I berapresiasi terhadap yen, sehingga 100 yen, yang di bulan April bernilai Rp 1.336, turun menjadi Rp 1.27. Dalam DM (mark Jerman Barat) rupiah berapresiasi lebih tajam, sehingga I DM turun dari Rp 997 menjadi Rp 910. Sementara itu, dolar AS berapresiasi terhadap rupiah dari Rp 1.669 menjadi Rp 1.704. Bila kecenderungan itu berlaku terus, maka utang Indonesia dalam yen harus dibayar dengan dolar yang lebih sedikit. Dengan kata lain, bila kecenderungan itu terus berlangsung, apresiasi dolar justru menguntungkan Indonesia. Ini terjadi karena perolehan ekspor kita sebagian besar dalam dolar, sementara struktur impor dalam utang kita lebih banyak mengandung unsur non-dolar. Tapi yang tidak kurang pentingnya adalah perkembangan nilai tukar itu sendiri, berikut peranan dolar AS dalam sistem moneter dunia. Hal terakhir ini juga yang disorot Gubernur Bank Sentral Jepang. Konsep pengaturan utang luar negeri dari Jepang mendapat reaksi keras dari AS -- pada dasarnya memang bisa mengakibatkan berkurangnya peran dolar AS dalam sistem moneter internasional. Dalam konsep itu, negara-negara berutang menukar sebagian utangnya dengan obligasi. Lalu bunga dan obligasi digaransi denean dana khusus yang dibentuk oleh negara berutang dan ditempatkan pada IMF. Selanjutnya, Jepang mengisyaratkan peningkatan bantuan Jepang melalui Bank Eksim Jepang, dengan syarat bahwa SDR (Special Drau)ing Rights), atau mata uang komposit yang diadministrasi oleh IMF semakin berperan sebagai mata uang internasional. Masalah nilai tukar yang dikemukakan oleh Menteri Sumarlin serta peran SDR yang diusulkan oleh Gubernur Bank Sentral Jepang Satoshi Sumita kedua-duanya bertumpu pada pengakuan akan besarnya peran Amerika Serikat dalam perekonomian dunia. Pada dasarnya, bukan saja Sumarlin, tapi juga para menteri keuangan negara-negara G-7 (AS, Inggris, Jepang, Prancis, Jerman Barat, Kanada, dan Italia) menginginkan semacam stabilitas pada fluktuasi dolar AS terhadap mata uang negara mereka. Yang selalu menjadi persoalan adalah, bagaimana mencapai stabilitas yang diinginkan itu. Pada umumnya ada dua pihak yang berbeda pendapat. Pihak pertama beranggapan, bahwa sumber ketidakstabilan nilai tukar adalah defisit pada anggaran AS. Menurut mereka, selama defisit terus berlangsung, maka defisit pada neraca perdagangan AS tetap berlanjut, dan defisit eksternal itu terus dibiayai dengan obligasi pemerintah AS. Sewaktu-waktu, menurut jalan pikiran ini, defisit akan membengkak dan obligasi pemerintah tidak laku (capital inflo ke AS berhenti), lalu nilai dolar akan jatuh. Satu-satunya cara mengatasi masalah ini adalah pengurangan defisit pemerintah federal AS. Tapi menjelang pemilu November depan, tampaknya tidak banyak yang akan dilakukan Presiden Ronald Reagan. Sementara itu, baik calon presiden Partai Republik, George Bush maupun Partai Demokrat, Michael Dukakis, tampaknya tidak bersungguh-sungguh mengatasi defisit anggaran. Adapun pihak kedua beranggapan, sumber ketidakstabilan justru politik fiskal yang terlalu kontraktif dari Jepang dan Jerman Barat. Akibatnya, share AS terlalu besar dalam menampung ekspor negara-negara berkembang, sedangkan permintaan dan sektor fiskal di kedua negara itu begitu terhenti, hingga bukan saja inflasi yang terkendali, tapi negara-negara berkembang kehilangan market outlet-nya di Eropa Barat dan Jepang. Sementara itu, utang negara-negara berkembang terus membengkak -- kini mencapai 1,2 trilyun dolar. Rata-rata utang negara-negara peminam besar (Argentina, Bolivia, Brasil, Cili, Colombia, Equador, Pantai Gading, Meksiko, Maroko, Nigeria, Peru, Filipina, Uruguay, dan Venezuela) terhadap ekspor di tahun 1987 sekitar 330%. Jangan heran kalau Indonesia, dengan Debt Service Ratio yang "hanya" 35-40%, tidak masuk kategori negara peminjam besar. Sjahrir
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini