WARTA lain dari Berlin Barat, yang juga muncul tapi tidak bersangkutan dengan utang, adalah berita mengenai reaksi Menteri Keuangan Sumarlin terhadap jatuhnya harga minyak di pasar spot. Untuk jenis Arabian Light, harga per 29 September 1988 adalah 10,90 dolar per barel dan untuk jenis Arabian Heavy bahkan di bawah 10 dolar. Dengan asumsi APBN bahwa harga minyak adalah 16 dolar per barel, maka jatuhnya harga ke tingkat serendah sekarang amat mengkhawatirkan, terutama apabila bencana itu berlangsung terus. Dalam wawancara dengan Reuters, Sumarlin berucap bahwa jatuhnya harga minyak tidaklah mengkhawatirkan Indonesia. Dikatakannya, kalau perlu Indonesia akan menekan pengeluarannya seperti di tahun 1983 dan menggunakan credit line yang memang tersedia. Tak lupa diungkapkannya bahwa cadangan devisa Indonesia ada sebanyak 6,2 milyar dolar, jumlah yang cukup untuk blaya impor selama 6 bulan. Tapi situasi tahun 1988 jauh berbeda dari situasi lima tahun berselang. Dewasa ini kita hidup secara hemat dan ketat. Sedangkan pada tahun 1983 kita masih melaksanakan rephasing investment -- penyesuaian derap investasi -- yang dalam pelaksanaannya praktis meniadakan rencana investasi yang nilainya milyaran dolar. Kini peran investasi besar dari pemerintah praktis menurun. Jadi, kalau mau menghemat anggaran seperti dikatakan Sumarlin, perlu dipertanyakan bagian mana yang masih mungkin dipotong. Gaji pegawai negeri sudah tiga tahun dibekukan. Anggaran Pembangunan sudah jauh lebih kecil dibanding Anggaran Rutin, sementara anggaran itu sendiri telah dialokasikan sesuai dengan bantuan luar negeri yang didapat. Keadaan klan suram karena pembayaran bunga dan cicilan utang hampir tak mungkin diutakatik, apalagi pemerintah bersiteguh untuk membayar utang-utangnya sesuai dengan jadwal. Hal lain yang mempersulit pemerintah dalam memainkan variabel kebijaksanaannya adalah bergesernya peran pemegang devisa -- dan pemerintah ke masyarakat yang lebih luas. Ini terjadi karena bergesernya perolehan devisa dari sektor migas (pemerintah memperoleh dan menyalurkan devisa ke APBN melalui anggaran pengeluaran negara) ke nonmigas (perolehan pemerintah dari pajak ekspor hanya sedikit, sisanya ada pada swasta dan BUMN yang mengekspor). Penggunaan devisa nonmigas yang berada di luar jangkauan pemerintah ini sulit dilacak karena proses akumulasi dan distribusinya. Yang pasti, akan amat sulit bagi pemerintah untuk memainkan variabel kebijaksanaan di bidang fiskal dan moneter, dalam kondisi langka devisa dan langka dana. Akhirnya, sudi tak sudi, pemerintah harus kembali ke program deregulasi, yang di masa lalu terbukti keberhasilannya dalam meningkatkan ekspor nonmigas dan mendorong investasi. Dikhawatirkan bahwa paket deregulasi itu sulit menunggu hingga November, apalagi Desember, seperti yang dikemukakan Menteri Sumarlin di Berlin. Mengapa? Semakin lama paket deregulasi ditunda, semakin gencar isu devaluasi dilancarkan oleh berbagai pihak yang cemas akan keadaan aset mereka. Bukan mustahil orang tiba-tiba menubruk dolar, hanya karena khawatir aset mereka anjlok. Terlebih karena mereka mengira, merosotnya aset seirama dengan merosotnya harga minyak. Syahrir
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini