Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berita Tempo Plus

Bisnis Baju Bekas Ramah Lingkungan

Komunitas GombalProject.id mengedukasi publik untuk mengurangi limbah tekstil dan mengolah pakaian bekas menjadi produk baru.

16 Juli 2022 | 00.00 WIB

Lisa Andriani dan produk GombalProject.id di Jalan Imogiri Barat, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. TEMPO/Shinta Maharani
material-symbols:fullscreenPerbesar
Lisa Andriani dan produk GombalProject.id di Jalan Imogiri Barat, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. TEMPO/Shinta Maharani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

YOGYAKARTA --- Kerudung dan jins bekas menyesaki dua kontainer plastik milik Lisa Andriani di rumahnya di Jalan Imogiri Barat, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Seratus kerudung dan 30 jins itu akan diolah menjadi tas, topi, dan tote bag.

Di meja, berdiri mesin jahit lengkap dengan potongan kain perca dan jins. Lisa sedang menyiapkan prototipe topi model terbaru berbahan daur ulang limbah pakaian. Di rumah itulah Lisa menggerakkan GombalProject.id, komunitas yang mengedukasi publik untuk mengolah pakaian bekas menjadi barang baru. Gerakan ini punya misi mengurangi sampah berupa baju atau kain.

Lisa meminjam kata gombal untuk gerakannya itu. Dalam bahasa Jawa, gombal berarti kain bekas yang jelek dan tidak terpakai. “Kami mengajak orang melihat bahwa baju bekas juga punya nilai,” ujar Lisa, Jumat, 15 Juli 2022.

Lisa memulai gerakannya ketika lulus kuliah S2 dari Jurusan Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada pada 2018. Ia bersama dua temannya sering mencari awul-awul. Dia mencari pakaian bekas dari luar negeri setiap kali ada perayaan Sekaten. Saat hujan, baju-baju bekas itu tidak laku dan menjadi sampah.

Belajar dari YouTube

Kepedulian Lisa terhadap isu lingkungan muncul sejak dia berkuliah di Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Skripsinya berbicara tentang emisi karbon. Menurut Lisa, waktu itu wacana daur ulang masih sebatas pada sampah plastik dan belum menyentuh pakaian bekas. Dia dan kedua sahabatnya lalu mendirikan GombalProject.id. Komunitas ini memiliki misi mengedukasi masyarakat bahwa pakaian bekas tak terpakai bisa menjadi barang baru.

Lisa belajar mendaur ulang pakaian bekas secara otodidaktik melalui YouTube. Berbekal mesin jahit tua di rumahnya, Lisa belajar membuat pola dan menjahit pakaian bekas menjadi tas. Produk tersebut kemudian dijual di GombalProject.id.

Menurut Lisa, permintaan orang untuk mendaur ulang baju bekas semakin meningkat dalam dua tahun terakhir. Sejak GombalProject.id aktif berkampanye di media sosial seperti Instagram dan di kampus-kampus, peminat produk GombalProject semakin bertambah.

Pada 2020, komunitasnya mulai mengolah baju bekas secara terbatas untuk dibuat menjadi tas belanja dan tote bag. Setiap enam bulan sekali, mereka menjahit baju-baju bekas itu. Semula, mereka menerima semua jenis baju bekas.

Belakangan, komunitas itu mengevaluasi pola kerjanya karena baju bekas yang diterima kian menumpuk dan tak terkendali. Padahal komunitas itu tidak punya ruang khusus untuk menampung baju bekas. Lisa menggunakan kamarnya dan ruang tamu untuk menampung baju-baju bekas tersebut.

Lisa Andriani dan produk GombalProject.id di Jalan Imogiri Barat, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. TEMPO/Shinta Maharani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100


Berfokus Mengolah Kerudung dan Jins

Sejak 2021, GombalProject.id menata kembali pola daur ulang baju bekas. Mereka kini berfokus menerima baju bekas jenis kerudung dan jins saja karena lebih awet ketika didaur ulang. Komunitas itu juga mewajibkan donatur membayar Rp 1.000 untuk setiap helai baju yang mereka donasikan supaya memahami bahwa baju bekas itu punya nilai. Para penyumbang datang dari berbagai daerah, di antaranya Surabaya, Semarang, Tangerang, dan Kalimantan.

Di awal pembentukan Gombal Project, komunitas itu menggunakan iuran dari kas anggota sebesar Rp 10 ribu per bulan untuk membiayai daur ulang baju bekas. Iuran itu digunakan untuk membeli benang dan gunting.

Komunitas itu kemudian memperbaiki manajemen pengelolaan keuangan. Lisa mencontohkan, sejak 2021 komunitasnya mulai banyak mendapat undangan dari sejumlah kampus dan komunitas untuk berbagi keterampilan menjahit baju bekas.

Honor dari mengisi acara itu digunakan untuk biaya produksi, misalnya jasa penjahit. Setiap penjahit mendapat upah Rp 70 ribu. Adapun keuntungan untuk Gombal Project di bawah Rp 70 ribu. “Kami tidak fokus pada profit, tapi pada penyelamatan lingkungan,” kata dia.

Selain itu, Gombal Project menaikkan harga jual produk mereka seiring dengan pengembangan desain. Dahulu desain tas, misalnya, masih sederhana. Sedangkan kini desainnya lebih unik dengan sejumlah penambahan.

Salah satu pembeli produk Gombal Project, Rochmi Ardyani, mengetahui gerakan itu dari Instagram. Perempuan asal Lombok Utara itu tertarik membeli tote bag hasil daur ulang karena keresahannya terhadap pencemaran lingkungan dari limbah tekstil. “Selain berbahan daur ulang, desainnya unik,” ucapnya.

Rochmi membeli tote bag berbahan jins pada 2020. Semula, dia ingin mendonasikan jins bekas ke Gombal Project. Tapi gempa di Lombok membuatnya urung berdonasi karena pakaiannya sudah disumbangkan untuk para korban. Rochmi mendukung Gombal Project dan ikut menyebarkan pemahaman mengenai pentingnya mengurangi konsumsi pakaian untuk menekan limbah.

SHINTA MAHARANI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Shinta Maharani

Shinta Maharani

Kontributor Tempo di Yogyakarta

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus