Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisnis Sepekan

5 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lagi Lagi Kontroversi Impor Gula

Tata niaga impor gula kembali disorot. Kali ini pemicunya adalah pemberian izin impor gula sebanyak 112 ribu ton kepada PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). Lisensi impor yang dikantongi perusahaan pelat merah itu berlaku hingga akhir 2003. Menteri Pertanian Bungaran Saragih berkomentar bahwa koleganya di Departemen Perindustrian dan Perdagangan tidak konsisten menjalankan tata niaga gula. Di sisi lain, Badan Koordinasi Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia bersuara lebih keras. ”Kami mengancam unjuk rasa. Napas tata niaga gula adalah melindungi petani. Jangan diakali,” ujar Abdul Wachid, sang ketua.

Kegusaran mereka bisa dimaklumi. Sebab, SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 643 Tahun 2002 menyatakan bahwa impor gula hanya boleh dilakukan oleh produsen gula. Tujuannya, agar mereka dapat memanfaatkan hasil impor itu untuk membiayai usaha peningkatan mutu gula lokal. Yang kini terjadi, melimpahnya gula impor justru menjatuhkan harga gula, tak terkecuali harga jual tebu petani ke pabrik gula.

Bumi Mengantongi Kredit US$ 430 Juta

PT Bumi Resources akan mendapatkan pinjaman berjangka lima tahun senilai US$ 430 juta, atau setara dengan Rp 3,7 triliun, untuk membeli 100 persen saham Sangata Holding Limited dan Kalimantan Coal Limited. Kedua perusahaan ini meru-pakan unit usaha BP dan Rio Tinto, yang menguasai semua saham PT Kaltim Prima Coal (KPC).

Pinjaman untuk Bumi berasal dari konsorsium kreditor asing yang mengusung bendera International Club Deal Consortium. Hingga kini, negosiasi antara Bumi dan sindikasi kreditor yang dipimpin United Overseas Bank (UOB) Singapura masih berlangsung. Direktur Keuangan Bumi, Eddie J. Soebari, berharap pinjaman dapat direalisasi sebelum tenggat pelunasan aku-isisi, yakni 10 Oktober 2003.

Untuk bisa mendapatkan pinjaman, Bumi menjaminkan penyertaannya di sejumlah perusahaan. ”Sangata dan Kalimantan Coal juga akan dijaminkan ke kreditor,” ujar Martinus P. Tabalujan, pejabat hubungan investor Bumi.

Akuisisi Bumi atas Sangata dan Kalimantan Coal menimbulkan kontroversi karena terjadi pada saat para pemilik lama, yakni BP dan Rio Tinto, harus mendivestasi 51 persen kepemilikan mereka di KPC. Para petinggi Bumi pernah menyatakan akan tetap mengikuti ketentuan divestasi seperti yang digariskan pemerintah. ”Tapi kami masih akan fokus untuk menyelesaikan akuisisi dahulu,” kata Suryo B. Sulistio, Komisaris Utama Bumi, kepada Tempo News Room.

Kenaikan Peringkat dari Moody’s

Moody’s International Service, lembaga pemeringkat tingkat dunia, telah menaikkan peringkat utang Indonesia dalam valuta asing menjadi B2—sebelumnya B3. Moody’s juga memperbaiki peringkat deposito perbankan dalam mata uang asing menjadi B3 dari Caa1. Peringkat utang pemerintah Indonesia dalam mata uang rupiah turut naik menjadi B2, dari sebelumnya B3.

Perbaikan peringkat Moody’s ini dilakukan karena Indonesia berhasil menambah cadangan devisanya hingga tingkat yang dinilai aman terhadap guncangan eksternal. Moody’s menyebut keberhasilan Indonesia dalam menurunkan rasio utang sektor publik terhadap produk domestik bruto (PDB) menjadi 69 persen akhir tahun lalu, dibandingkan tahun 2000 yang 200 persen.

Namun Indonesia masih akan terhadang sejumlah risiko selama dua tahun mendatang, yang disebabkan berakhirnya kerja sama dengan IMF. Seperti halnya sejumlah pengamat, Moody’s juga memperkirakan cadangan devisa Indonesia akan turun, mengingat negeri ini masih harus melunasi utang yang jatuh tempo, sementara belum ada akses ke sumber dana yang lain.

Surat Bebas untuk Delapan Debitor

Daftar calon penerima surat bebas semakin panjang. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pekan lalu menyatakan akan mengeluarkan surat bebas bagi delapan debitor. Jika ditotal dengan rombongan terdahulu, ada 14 debitor yang akan segera mengantongi sertifikat bebas dari segala tuntutan (release and discharge).

Kedelapan debitor yang akan menerima surat bebas tersebut adalah para pemilik bank beku operasi yang menandatangani akta pengakuan utang (APU) pada tahun 2000. Mereka adalah Hashim Djojohadikusumo (nilai utang Rp 216,98 miliar), Njoo Kok Kiong (Rp 108,49 miliar), Honggo Wendratmo (Rp 108,49 miliar), The Ning King(Rp 45,14 miliar), Philip S. Widjaja (Rp 49,68 miliar), Mulianto Tanaga dan Hadiwijaya Tanaga (Rp 32,66 miliar), Andi Hartawan Sardjito (Rp 24,81 miliar), dan Ganda Eka Handria (Rp 14,69 miliar).

Deputi Ketua BPPN Taufik M. Ma’roef mengatakan, utang kedelapan debitor tersebut sebagian besar dilunasi dengan aset. Porsi utang yang dibayar secara tunai rata-rata hanya 30 persen. ”Utang kedelapan debitor ini pasti akan dinyatakan lunas,” ujarnya.

Sorak, UOB & Panin Mengincar BII

Divestasi 51 persen saham pemerintah di Bank International Indonesia (BII) diincar oleh tiga bank regional, dua di antaranya bank asing. Hal itu terungkap setelah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) mengumumkan hasil tahap awal divestasi awal pekan lalu. Mereka yang telah menyerahkan berkas penawaran awal adalah konsorsium Sorak Financial Holding, konsorsium United Overseas Bank, dan konsorsium Bank Panin.

Konsorsium Sorak dipimpin Kookmin Bank, bank terbesar di Korea Selatan. Mitra Kookmin di Sorak adalah Asia Financial Holdings Ltd., lengan bisnis konglomerat asal Singapura, Temasek Holdings Ltd. Sebelum ini, Temasek telah membeli 51 persen saham Bank Danamon. Sedangkan United Overseas Bank (UOB) adalah bank terbesar di Singapura yang menggandeng Credit Suisse First Boston, sebagai penasihat keuangannya.

Satu-satunya peminat BII dari dalam negeri adalah Bank Panin, berkongsi dengan grup keuangan asal Selandia Baru, ANZ. ”Mereka pemegang saham kami, jadi sudah pasti mereka ikut terlibat dalam konsorsium,” ujar Deputi Presiden Direktur Panin, Roosniati Salihin, kepada Koran Tempo. ANZ saat ini tercatat sebagai pemegang 10,93 persen saham Bank Panin.

Seleksi Ulang Karyawan PT Dirgantara

PT Dirgantara Indonesia (DI) akhirnya menyelesaikan proses seleksi ulang atas karyawannya yang akan dipekerjakan kembali. Dari 9.643 buruh yang dirumahkan sejak 11 Juli lalu, hanya 5.018 yang bersedia mengikuti proses untuk mengisi lowongan bagi 3.000 personel. Sisanya menolak ikut dengan berbagai alasan.

Bagi mereka yang tidak tersaring, Kepala Bagian Humas PT DI, Rakhendi, menjanjikan pihaknya tidak akan melupakan mereka. Katanya, tim seleksi karyawan akan berupaya menyalurkan para buruh ke berbagai perusahaan lain yang membutuhkan. Dan, menurut Direktur Umum PT DI, Nuril Fuad, saat ini sudah ada beberapa perusahaan yang berminat, antara lain PLN, Yamaha, PT Sanbe Farma, dan PT Cipta Karya Pranata. ”Sedikitnya seribu karyawan bisa tersalurkan, tapi yang segera bisa diserap baru 500-an,” kata Nuril.

Kendati disodori janji dan solusi, ribuan buruh PT DI tetap tidak puas atas keputusan direksi yang merumahkan mereka. Perasaan itulah yang ingin mereka tunjukkan melalui demonstrasi besar-besaran ke berbagai tujuan di Jakarta sepanjang pekan lalu. Mereka juga mengadukan nasibnya ke ILO, lembaga perburuhan internasional di bawah PBB, selain ke Istana Presiden dan Kementerian Negara BUMN.

Indonesia Lolos dari Sanksi FATF

Setelah beberapa kali diancam, Indonesia akhirnya direkomendasi untuk tidak dikenai sanksi balasan oleh Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering. Ini sesuai dengan hasil rapat FATF di Stockholm, Jumat pekan lalu. Organisasi beranggotakan 31 negara itu menyimpulkan bahwa Indonesia telah mencatat kemajuan penting dalam pemberantasan kejahatan pencucian uang.

Hal itu terlihat dari amendemen terhadap Undang-Undang Anti-Pencucian Uang yang tuntas dibahas pada September lalu. FATF pun menganggap revisi itu telah memenuhi standar internasional, seperti yang mereka rekomendasikan. Tapi FATF juga meminta agar Indonesia menyiapkan draf rencana implementasi sebagai panduan pelaksanaan. Untuk hal ini pun Indonesia, yang diwakili Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), tidak keberatan.

Seperti diketahui, dua bulan lalu, FATF dan Duta Besar AS, Ralph Boyce, mengingatkan kalau Indonesia membandel, mereka akan melakukan aksi balasan berupa pengucilan dari komunitas ekonomi dunia. Caranya: memblokir semua transaksi keuangan lintas negara dari dan ke Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus