Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Obral ala Pedagang Mangga

Kalau akhirnya cuma dijual 6 sen, untuk apa BPPN susah payah merestrukturisasi Chandra Asri?

5 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akhir tahun masih jauh, tapi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) rupanya sudah tak sabar untuk menuntaskan cuci gudang. Senin pekan lalu, dokter perbankan itu mengumumkan ”keberhasilan” menjual PT Chandra Asri Petrochemical Center, perusahaan petrokimia terpadu yang berlokasi di Banten. Pembelinya adalah Glazer & Putnam Investment, yang disebut-sebut berasal dari Thailand.

Namun penjualan itu segera menuai kritik. ”Chandra Asri jangan diobral,” kata Ketua Komite Pemantau BPPN Mar’ie Muhammad.

Soalnya, kilang yang menghasilkan berbagai bahan baku plastik itu cuma dilego dengan harga Rp 602 miliar. Padahal nilai aset pemerintah yang tertanam di sana mencapai Rp 10 triliun.

Rinciannya berupa tagihan yang sudah direstrukturisasi sebesar US$ 100 juta, 25,86 persen saham senilai US$ 417 juta, pinjaman perumahan Rp 15 miliar, serta surat utang dari PT Inter Petrindo Inti Citra milik Prajogo Pangestu senilai Rp 5,45 triliun. Alhasil, aset pemerintah yang kembali cuma 6 persen. Dan itu sama artinya dengan pemerintah memberikan potongan utang sebanyak 94 persen.

Kendati hal ini mengecewakan, Deputi Ketua BPPN Bidang Dukungan Kerja dan Administrasi, Junianto Tri Prijono, dengan enteng berkilah bahwa harga tersebut sudah lebih tinggi ketimbang harga dasar yang ditetapkan BPPN. ”Harga dasarnya sekitar Rp 600 miliar,” katanya.

Penetapan harga yang begitu rendah jelas sangat mengherankan. Perlu diingat, BPPN pernah membuat perhitungan nilai pengembalian Chandra Asri dengan pilihan: dilikuidasi, direstrukturisasi, atau langsung dijual.

Menurut simulasi itu, bila direstrukturisasi, pengembalian Chandra Asri bisa mencapai US$ 300 juta atau Rp 2,55 triliun (kurs Rp 8.500 per dolar AS). Sedangkan jika dilikuidasi, nilainya masih sekitar US$ 150 juta alias setara dengan Rp 1,28 triliun. Berdasarkan hitungan tersebut, pemerintah memutuskan merestrukturisasi Chandra Asri.

Sebelum tender penjualan dibuka, Deputi Ketua BPPN Bidang Aset Manajemen Kredit, Mohammad Syahrial, pun pernah menyampaikan hasil penilaian dari dalam dan luar BPPN yang menunjukkan nilai komersial Chandra Asri masih sekitar 10 sen per satu dolar AS. Nilai sebesar itu dihubungkannya dengan kewajiban yang menggunung hingga US$ 725 juta, termasuk utang US$ 625 juta kepada Marubeni Corporation, Jepang.

Kenyataannya, setelah restrukturisasi berjalan dua tahun, harga Chandra Asri malah merosot jadi tinggal Rp 602 miliar. ”Kalau begitu, mending pemerintah sejak dulu langsung menjual saja,” ujar seorang praktisi pasar modal.

Rendahnya harga jual Chandra Asri mungkin terkait dengan kinerja keuangan perusahaan yang melempem. Selama dua tahun terakhir, pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) perusahaan petrokimia itu terus merosot.

Pada 2001, pendapatannya mencapai US$ 150 juta. Kemudian, ketika hendak direstrukturisasi, turun menjadi US$ 80 juta. Akhir tahun lalu, pendapatan perusahaan itu mencapai rekor terendah, yaitu US$ 13,93 juta.

Tapi tunggu dulu. Ada yang aneh dari memburuknya kinerja keuangan perusahaan itu. Soalnya, pasar bagi produk petrokimia selama lima tahun terakhir justru terus meningkat. Konsumsi polimer, yang merupakan salah satu produk petrokimia, misalnya, terus meroket dari 1,65 juta ton pada 1997 menjadi 2 juta ton pada saat ini. Jadi, mengapa pendapatan Chandra Asri terus merosot? Mungkinkah ada kesengajaan?

Pertanyaan itu tak mudah dijawab. Namun, ditengarai, kinerja keuangan yang memble itulah yang membuat harga Chandra Asri tertekan. ”Pendapatan perusahaan yang rendah itu membuat harga penawaran dari investor juga rendah,” ujar sumber TEMPO di BPPN.

Bahkan peserta tender sempat menawar lebih rendah dari harga dasar yang ditetapkan BPPN, sehingga dokter perbankan itu meminta tender diulang.

Bagaimanapun, bila harga terlampau rendah, suara kekecewaan sulit dibendung. ”Kalau cuma menjual dengan harga murah, pedagang mangga di Pasar Minggu pun bisa,” kata ekonom Faisal Basri sambil bersungut-sungut.

Nugroho Dewanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus