Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Alkisah, Suatu Hari di Meksiko

Inilah film yang berawal dengan klimaks dan berakhir dengan antiklimaks.

5 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Once Upon A Time in Mexico Pemain : Antonio Banderas, Salma Hayek, Johnny Depp Sutradara : Robert Rodriguez Skenario : Robert Rodriguez Produksi : Sony/Columbia

Di sebuah kedai minum, Antonio Banderas, si superhero, menatap musuh-musuhnya yang tak terhitung. Kematian tampak jelas di ujung hidungnya. Tapi, sebaliknya, jagoan yang berwajah bak kuda jantan ini melakukan sebuah ritual. Perlahan, seraya membuka kotak gitarnya dan memainkan sebuah lagu terkenal, Malaguena. Musik mengalir, tempo bergerak semakin lama semakin cepat, nada-nada terdengar semakin memekakkan kuping. Dan tatkala tingkat kecepatan mendekati puncaknya, sekonyong-konyong gitar di tangan Banderas memuntahkan ratusan peluru. Musik dan bisingnya berondongan senjata semi-otomatis kemudian menjadi satu, tak terpisah. Para musuh terpesona dan mati.

Ya, itulah suatu hari di Meksiko. Mitis, fiktif, tapi sungguh memantulkan sesuatu yang orisinal, khas Meksiko. Once Upon A Time in Mexico, karya sutradara dan sekaligus penulis skrip Robert Rodriguez, memang membuka dengan sebuah klimaks yang boleh jadi memukau. Kita tahu, itulah Meksiko, negeri tempat bersenyawanya dan bertumpangtindihnya cerita-cerita fiktif dan fakta tentang para pahlawan rakyat, Pancho Villa atau Emiliano Zapata. Di sanalah pula, di sebuah kafe, sutradara Rodriguez mengawali kisahnya dari mulut seorang informan yang bertutur tentang seorang gitaris jago tembak yang menghilang, pergi membawa luka dan dendam.

Dua puluh menit pertama, Rodriguez menyodorkan narasi legenda sang gitaris, musik flamenco, dan hampir segalanya yang memuaskan naluri penonton akan kekerasan: bercak darah segar yang tercecer di jalan-jalan berdebu dan dinding-dinding gereja yang putih, teriakan-teriakan parau orang kesakitan, dan—tentu saja—berondongan senapan yang bising. Tapi itu tak bertahan. Dua puluh menit kedua, film tersebut seakan kehabisan napas, dan penonton menyaksikan serangkaian adegan turun gunung. Antiklimaks, karena miskinnya cerita dan lemahnya pengembangan karakter-karakter yang dipasang—padahal Once Upon A Time in Mexico termasuk film yang menyodorkan begitu banyak karakter. Mungkin satu-satunya yang dapat mengencerkan kebingungan ini adalah menyingkirkan pikiran bahwa itu film feature. Anggaplah dia sebuah klip musik yang panjang, berdurasi 101 menit. Begitukah?

Alkisah, di sebuah kota kecil di Meksiko, tersebutlah seorang agen CIA bernama Sands (Johnny Depp), yang sedang sibuk mencari-cari El Mariachi (Antonio Banderas). Keduanya berkepentingan menghancurkan orang yang sama. Sands ingin menggagalkan rencana kudeta yang dimotori Jenderal Marquez (Gerardo Vigil), sedangkan El—panggilan pendek El Mariachi—bermaksud membalas dendam. Barillo orang yang kalah bersaing. Perempuan pujaannya, Carolina (Salma Hayek), ternyata lebih memilih El Mariachi ketimbang dirinya. Dan ia tidak sanggup menerima kenyataan ini. Dalam satu kesempatan, Marquez kemudian membantai El sekeluarga. Carolina dan putrinya tewas. El luka parah, tapi bisa bertahan.

Pada hari yang telah ditetapkan, Marquez membawa pasukan buat merebut istana, menahan presiden. Tapi hasrat itu tak kesampaian. Di jalan-jalan, di luar dugaan rakyat bangkit me-lawan pasukan Marquez. Di istana, El bersama dua rekannya menanti kedatangan Marquez dengan hasrat ganda: membalas dendam sekaligus melindungi Presiden Meksiko. Akhirnya, rakyat berhasil memukul pasukan Marquez, dan dendam El terbayar lunas.

Happy end, tapi perkembangan plotnya membuat kita bertanya-tanya: adakah pengambilan gambar dilakukan sebelum skrip selesai ditulis? Sama seperti dua trilogi sebelumnya, Desperado dan El Mariachi, karya sutradara Rodriguez kali ini lumayan patuh mengikuti patronnya dalam film-film kekerasan Quentin Tarantino. Dengan bujet supercekak, trilogi itu ditulis, diambil gambarnya, dan laku ditayangkan di gedung-gedung bioskop. Tapi Once Upon A Time in Mexico adalah Desperado yang kehilangan ketajamannya. Banderas yang dingin, Depp yang berkarakter, hanya dua aktor yang bermain bagus, tapi ikut tersesat dalam plot yang semakin rumit.

Sayang, sutradara Rodriguez telah mengawali dengan bagus. Ibarat rekonstruksi sebuah epos, bangunan yang dimaksud ternyata gagal berdiri.

Idrus F. Shahab

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus