Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jika Bulog di Bawah Presiden

Presiden Prabowo Subianto berencana melepaskan Bulog dari Kementerian BUMN untuk menjadi lembaga di bawah presiden. Mengapa?

11 November 2024 | 09.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Suasana di depan Sentra Penggilingan Padi (SPP) Bulog di Karawang, Jawa Barat, Mei 2024. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Prabowo Subianto berencana menjadikan Bulog sebagai lembaga otonom di bawah presiden.

  • Apa kelebihan dan kekurangan Bulog jika menjadi lembaga otonom di bawah presiden?

  • Ada potensi tumpang-tindih peran jika Bulog menjadi badan otonom di bawah presiden.

TELEPON seluler Wahyu Suparyono berdering pada Sabtu siang, 28 Agustus 2024, pukul 11.40 WIB. Panggilan tersebut berasal dari presiden terpilih Prabowo Subianto. Wahyu bergegas mengangkatnya. Di ujung telepon, Prabowo meminta Wahyu, yang saat itu menjabat Direktur PT Asabri (Persero), pindah memimpin Perusahaan Umum (Perum) Bulog.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Mas Wahyu masuk Bulog, benahi semua," ujar Wahyu menirukan instruksi Prabowo dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, 5 November 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak lama kemudian, Rabu, 9 September 2024, Wahyu resmi ditunjuk Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir menjadi Direktur Utama Bulog. Ia menggantikan Bayu Krisnamurthi yang menjabat sejak Desember 2023.

Wahyu mengatakan Prabowo memintanya menyiapkan transformasi kelembagaan Bulog. Perusahaan pelat merah di bawah Kementerian BUMN itu direncanakan kembali menjadi badan otonom atau lembaga pemerintah lain di bawah presiden. Artinya, secara kelembagaan, posisi Bulog akan kembali seperti pada masa Orde Baru.

Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, Bulog berstatus lembaga pemerintah non-departemen (LPND) di bawah presiden. Pada 2003, pemerintah mengubah status Bulog menjadi perusahaan pelat merah di bawah Kementerian BUMN.

Menurut Wahyu, gagasan Prabowo menjadikan Bulog sebagai badan otonom tersebut bertujuan mengefektifkan kinerja lembaga. Sebab, posisi Bulog sebagai BUMN justru membatasi gerak lembaga tersebut dalam mengelola bidang pangan. Sejak berada di bawah Kementerian BUMN, Bulog hanya bertindak selaku operator yang menunggu perintah regulator. Salah satu contohnya, saat akan melakukan operasi pasar, Bulog harus menunggu hasil rapat koordinasi terbatas kementerian dan lembaga terkait. Sistem ini, menurut Wahyu, tidak efisien.

Setelah menerima perintah Prabowo, Wahyu segera membentuk tim untuk menyusun rencana transformasi Bulog. Termasuk mengkaji Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2016 tentang Perum Bulog.

Wahyu menyatakan saat ini sedang menyiapkan usulan keputusan presiden tentang transformasi Bulog. Dia juga secara berkala bertemu dengan Presiden Prabowo untuk melaporkan perkembangan rencana itu. Jika kelak Bulog menjadi lembaga pemerintah, Wahyu akan memilih orang yang sepaham dengannya. "Kalau enggak sepaham, mundur," katanya.

Menteri Koordinator Pangan Zulkifli Hasan (kiri) dan Direktur Utama Perum Bulog Wahyu Suparyono (kanan) meninjau gudang Bulog di kawasan pergudangan Bulog, Sunter Timur, Jakarta, 4 November 2024. ANTARA/Muhammad Ramdan

Rencana transformasi tersebut sudah dilakukan sebelum Wahyu dilantik sebagai Direktur Utama Bulog. Karena posisinya masih di luar, praktis dia bekerja dengan orang-orang di luar kepengurusan Bulog. Sebagian dari mereka adalah orang-orang dekat atau pendukung Prabowo. Dari dokumen yang didapatkan Tempo, tim yang beranggotakan 17 orang itu diketuai oleh Rachmat Pambudy.

Rachmat adalah salah satu anggota dewan pakar di bidang pangan yang mendukung Prabowo sejak pemilihan presiden 2019. Ia juga pernah menjabat Sekretaris Jenderal hingga Wakil Ketua Dewan Pembina Himpunan Kerukunan Tani Indonesia. Saat ini Rachmat menjabat Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Saat dimintai konfirmasi, Rachmat belum merespons pesan yang dikirim Tempo ke nomor ponselnya.

Di tim tersebut juga ada nama Marga Taufiq, orang dekat Prabowo. Belakangan, Marga ditunjuk sebagai Wakil Direktur Bulog. Uniknya, dalam daftar anggota tim tersebut juga tertulis “Tim Hukum 02”. Nol dua merupakan nomor urut pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam pemilihan presiden 2024. Saat dimintai konfirmasi, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran, Habiburokhman, belum merespons pesan yang dikirim Tempo ke nomor ponselnya.

Transformasi ini merupakan manuver banting setir dari rencana pengembangan Bulog sebagai BUMN. Mantan petinggi Bulog yang mengetahui proses ini bercerita, pada Mei 2024, sebelum Wahyu menjabat, semua direksi dan manajemen Bulog sebenarnya telah selesai menyusun rencana jangka panjang (RJP) dengan format tetap sebagai BUMN.

Dalam menyusun RJP ini, Bulog mengadakan analisis perbandingan dengan badan-badan serupa di Cina, Malaysia, Filipina, India, dan Arab Saudi. Mereka juga telah membayar konsultan terkemuka dari McKinsey & Company. Namun tampaknya kini rencana tersebut berubah total.

Saat dimintai konfirmasi, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Kelembagaan Bulog Andrew Ramadhan Shahab mengatakan akan meneruskan permintaan konfirmasi ke Sekretaris Perusahaan. Namun, sampai berita ini terbit, belum ada jawaban dari Bulog kepada Tempo.

Tugas Bulog sebagai BUMN memang berat. Sejak berubah dari LPND menjadi BUMN pada 2003, Bulog mengemban fungsi ganda sebagai pengampu kewajiban pelayanan publik atau public service obligation (PSO) sekaligus lembaga komersial. Menjalankan dua peran tersebut membuat lembaga ini kelimpungan serta kerap merugi. Pada 2019, Bulog pernah merugi hingga Rp 1,7 triliun. Meski begitu, keuangan Bulog berangsur membaik. Sejak 2021, Bulog berhasil meraup laba. Bahkan pada 2023 Bulog meraup untung Rp 820 miliar.

Khudori, peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, mengatakan Bulog memang perlu diperbaiki. Namun, menurut dia, perbaikan Bulog tidak harus dengan mengubahnya menjadi lembaga otonom di bawah presiden. Perbaikan bisa dilakukan dengan mengintegrasikan kebijakan beras hulu-tengah-hilir, dengan memastikan adanya saluran (outlet) di hilir.

Sejak program beras untuk keluarga miskin (raskin) dan beras sejahtera (rastra) berubah menjadi bantuan pangan nontunai, Bulog tak lagi memiliki outlet yang pasti. Dengan pengintegrasian hulu-hilir, beras di gudang selalu segar karena berputar cepat dan berganti dengan yang baru.

Bulog juga dapat mengubah sistem penganggaran dari kredit perbankan berbunga komersial seperti saat ini, menjadi pendanaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Jika cadangan beras pemerintah (CBP) sebesar 1,5 juta ton dibiayai APBN melalui penyertaan modal negara Rp 25-30 triliun, beban bunga bank itu otomatis hilang. "Implikasinya, harga pokok beras Bulog akan turun drastis dan membuatnya kompetitif di pasar," kata Khudori.

Pemerintah juga dapat memperbesar pangsa pasar Bulog. Beras pemerintah tidak disimpan di gudang, melainkan selalu ada di pasar sebagai bagian dari upaya stabilisasi. Kalau harga beras naik, masyarakat punya alternatif pilihan beras Bulog yang harganya terjangkau. "Kalau ini bisa dilakukan, pemerintah tak lagi bertindak sebagai pemadam kebakaran seperti saat ini: melakukan operasi pasar saat harga tinggi," ucap Khudori.

Menurut Khudori, langkah Presiden Prabowo yang tiba-tiba mengubah posisi Bulog justru akan menyebabkan kebingungan di lingkup internal lembaga. Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, Bayu Krisnamurthi ditunjuk sebagai Direktur Utama Bulog untuk memperkuat lini bisnis lembaga. "Tapi sekarang tiba-tiba berubah lagi. Kasihan mereka yang ada di level lapangan dan di tengah, terombang-ambing oleh perubahan. Hal-hal baik yang sudah dilakukan jadi hilang," ujarnya.

Perubahan status Bulog menjadi lembaga otonom di bawah presiden juga akan mengakibatkan Bulog memiliki dua peran, yakni operator sekaligus regulator. Kondisi itu bisa menyebabkan konflik kepentingan. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, Bulog bukannya tidak punya masalah.

Saat itu Bulog memang bertugas memberikan pelayanan publik tanpa mencari keuntungan. Anggarannya sepenuhnya dibiayai negara. Namun, pada kenyataannya, Bulog juga menjalankan bisnis. Karena tak ada kewajiban menyetor kepada negara, keuntungan akhirnya masuk ke kas non-budgeter. Kondisi tersebut lantas membuka peluang korupsi para pejabat Bulog kala itu.

Masalah lain, Khudori melanjutkan, perubahan status Bulog menjadi lembaga otonom di bawah presiden akan mengakibatkan tumpang-tindih perannya dengan lembaga lain. Salah satunya Badan Pangan Nasional (Bapanas), institusi yang saat ini berfungsi sebagai regulator dan atasan langsung Bulog. Bapanas mendapat limpahan kewenangan dari Kementerian BUMN untuk menyusun penugasan kepada Bulog. "Kalau menumpuk dua tugas di satu lembaga, ada potensi konflik dengan lembaga yang lain," tuturnya.

Selain dengan Bapanas, peran Bulog bisa bertabrakan dengan Kementerian Koordinator Pangan, kementerian baru yang dibentuk Prabowo. Seperti Bapanas, kata Khudori, Menteri Koordinator Pangan bertugas mengkoordinasikan perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang pangan. Menteri Koordinator Pangan saat ini dijabat mantan Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan.

Eliza Mardian, peneliti Center of Reform on Economics, mengatakan perubahan status akan menjadikan Bulog mandiri dalam mengambil keputusan dan menjalankan operasi. Selama menjadi BUMN, Bulog tak bisa optimal menyerap gabah petani karena ada regulasi dan tuntutan mengambil keuntungan. Bulog disibukkan dengan urusan komersial untuk menjaga arus kas (cash flow). "Dengan adanya perubahan menjadi lembaga pemerintah non-kementerian/lembaga, Bulog dapat berfokus menyerap gabah petani," ujarnya, Ahad, 10 November 2024.

Ihwal potensi tumpang-tindih peran dengan kelembagaan lain, Eliza melanjutkan, fungsi dan wewenang Bulog berbeda dengan Bapanas. Keduanya, menurut dia, harus memperkuat koordinasi dan sinkronisasi. Bapanas berperan di tataran perumusan kebijakan ketersediaan dan stabilitas pangan secara keseluruhan. Sedangkan Bulog menjadi eksekutor stabilisasi pangan dan operasi pasar. "Bapanas yang akan menyusun neraca komoditas pangan strategis dan membuat regulasi jika impor dibutuhkan," katanya.

Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi menyatakan akan menaati perintah Presiden Prabowo Subianto ihwal perubahan Bulog menjadi regulator sekaligus operator. Arief yakin kepala negara dan timnya telah merumuskan rencana itu dengan matang. Ia juga mengatakan urusan pangan tak bisa dipegang satu lembaga, melainkan harus lintas kementerian, lembaga, dan BUMN.

Adapun peran Bapanas masih tetap sama sampai ada peraturan presiden yang mengatur penyesuaian tugas pokok dan fungsinya. "Sedang dirumuskan," ucapnya kepada Tempo ketika ditanyai soal risiko tumpang-tindih tupoksi Bapanas dengan Bulog pada Ahad, 10 November 2024.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus