Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
PT Perkebunan Nusantara III (Persero) mencatat laba bersih per Mei 2021 senilai Rp 1,07 triliun.
PTPN mengklaim keuntungan berkat keberhasilan efisiensi dan peningkatan penjualan.
Tanpa detail laporan keuangan, klaim keberhasilan PTPN penuh keraguan.
MOHAMMAD Abdul Ghani terlihat percaya diri saat memaparkan kinerja perusahaan yang dipimpinnya. Di hadapan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat, yang antara lain membidangi industri, Senin, 21 Juni lalu, Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara III (Persero) itu menyatakan langkah restrukturisasi selama ini telah berdampak terhadap kinerja dan operasi perusahaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia mencontohkan perolehan laba setelah pajak per Mei 2021 yang mencapai Rp 1,07 triliun. “Itu jauh dari kinerja tahun lalu dan 2019,” kata Ghani. Dia mengatakan, pada periode yang sama tahun lalu, Grup PT Perkebunan Nusantara (PTPN) merugi Rp 834 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mendadak sontak paparan Ghani tentang lompatan kinerja keuangan induk Grup PTPN itu memenuhi pemberitaan nasional, bersamaan dengan rencana pembentukan perusahaan baru untuk menaungi bisnis gula PTPN. Dalam rapat yang berlangsung selama hampir tiga jam itu, Ghani tak mengurai dari mana keuntungan sebesar itu bisa diraup.
Direktur Utama PTPN III Mohammad Abdul Ghani dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI di Jakarta, 21 Juni 2021. ANTARA/HO-DPR
Dia hanya menjelaskan secara umum, seperti perubahan model operasi PTPN III dari strategic holding menjadi operating holding yang membuat Grup PTPN lebih efisien 10-20 persen dari sisi pengadaan barang dan jasa, juga pemasaran. “Dengan adanya transformasi, ketika beli bahan bakar dari mitra, sekarang diskonnya 30 persen,” tutur Ghani.
Pada saat yang sama, produktivitas komoditas prioritas PTPN, seperti sawit, tebu, dan karet, juga meningkat. Lonjakan terbesar tampak pada bisnis sawit. Sepanjang Januari-Mei 2021, angka produksi tandan buah segar telah mencapai 4,83 juta ton, naik hampir 20 persen dibanding pada periode yang sama tahun lalu. Begitu pula angka produksi minyak sawit mentah (CPO), yang naik 17 persen menjadi 1,03 juta ton. Adapun kenaikan jumlah produksi tebu yang mencapai 620 ribu ton hingga Mei lalu belum bisa menyamai capaian pada periode yang sama 2019 yang sebesar 1,01 juta ton.
Peningkatan produktivitas inilah yang menurut Ghani mengerek pendapatan Grup PTPN. Hingga Mei lalu, angka penjualan mencapai Rp 17,08 triliun, naik 37,7 persen dibanding pada periode yang sama 2020. Persoalannya, tak ada detail paparan tentang beban operasional yang bisa dipangkas sehingga PTPN tiba-tiba dapat menangguk untung ketika bertahun-tahun sebelumnya terus buntung.
Tempo berupaya meminta penjelasan dari manajemen PTPN III. Namun, pada Sabtu, 3 Juli lalu, perseroan lewat Sekretaris Perusahaan Imelda Alini Pohan menyatakan baru akan menjawab pertanyaan tertulis pada Senin, 5 Juli, awal pekan ini.
Ketidakjelasan detail datangnya laba itu membuat Abra P.G Talattov, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), tak berani buru-buru menilai capaian PTPN. Dia menggarisbawahi angka penjualan yang meningkat signifikan. “Ini yang kelihatannya memang mendorong perbaikan di PTPN,” kata Abra, yang mengikuti bisnis perkebunan dan pertanian lantaran menjadi Kepala Food Center Sustainable Food Development Indef.
Namun, tanpa adanya data tentang biaya, lonjakan tingkat penjualan dan tercapainya laba PTPN tak otomatis menjadi keberhasilan. Apalagi, Abra menambahkan, jika peningkatan itu lebih didorong oleh tren kenaikan harga komoditas, seperti CPO, belakangan ini. “Kalau dipengaruhi harga, PTPN jangan berpuas diri. Itu sifatnya given,” ucap Abra.
Masalahnya, mengukur kinerja keuangan Grup PTPN, kelompok usaha perkebunan milik negara dengan total aset senilai Rp 132,34 triliun, memang bukan main susahnya. Setidaknya, hingga pekan lalu, situs resmi perseroan hanya mempublikasikan Laporan Tahunan PTPN III 2019, yang di dalamnya berisi laporan keuangan tahun yang sama.
Merujuk pada laporan tersebut, hingga akhir 2019, PTPN III masih rugi bersih Rp 2,52 triliun, anjlok dari capaian laba Rp 281 miliar pada tahun sebelumnya. Dari komposisi pembentuk laba saat itu, PTPN III dan entitas anak usaha juga mencetak laba usaha senilai Rp 2,25 triliun lantaran pendapatan yang lebih besar ketimbang beban usaha. Untung ini berubah menjadi buntung justru ketika laba usaha itu dikurangi beban lain-lain, termasuk yang terbesar berupa beban keuangan senilai Rp 3,5 triliun per 31 Desember 2019.
Beban keuangan itulah yang menggambarkan masalah utama di tubuh PTPN selama ini. Duit Rp 3,4 triliun, dari total beban keuangan Rp 3,5 triliun sepanjang 2019, berasal dari kewajiban pembayaran bunga utang kepada perbankan. Sisanya digunakan untuk membayar bunga medium term note dan sejumlah obligasi.
Pada Januari dan Maret lalu, PTPN III berturut-turut mengumumkan penandatanganan perjanjian perubahan induk (MAA) dengan para kreditor Grup PTPN. Pendek kata, perjanjian ini berisi kesepakatan dari kreditor untuk memulai restrukturisasi utang PTPN, baik berupa pengurangan besaran angsuran maupun pelonggaran waktu pembayaran.
Sebanyak 21 kreditor, terutama yang terbesar bank milik negara, menyokong restrukturisasi utang senilai Rp 41 triliun—setara dengan 85 persen dari total utang grup. Restrukturisasi utang PTPN itu dibagi dalam tiga grup. Dua kelompok memiliki total tunggakan utang Rp 33 triliun, yakni grup hijau yang meliputi PTPN III, PTPN IV, dan PTPN V, serta grup kuning yang terdiri atas PTPN I, PTPN II, PTPN VI, PTPN X, PTPN XI, PTPN XII, dan PTPN XIV. Adapun grup merah, dengan eksposur kredit Rp 8 triliun, berisi PTPN VII, PTPN VIII, dan PTPN IX.
Langkah ini yang membuat PTPN kembali bisa menarik napas panjang. Bertahun-tahun neraca keuangan holding BUMN perkebunan ini memang terus tergencet gunungan utang yang berserak di 13 anak usaha PTPN. Setidaknya, hingga akhir 2019, total liabilitas Grup PTPN mencapai Rp 77,65 triliun. Dengan angka ini, rasio utang perusahaan terhadap total ekuitas (debt-to-equity ratio) merangkak naik menjadi 155,9 persen.
Buruknya kinerja Grup PTPN itu pula yang membuat Badan Pemeriksa Keuangan, dalam laporannya pada November 2020, menyebut PTPN III, yang ditunjuk sebagai holding company sejak 2014, tidak efektif meningkatkan kinerja Grup PTPN. Semenjak holding BUMN perkebunan dibentuk, kinerja keuangan terkait dengan likuiditas, solvabilitas, dan profitabilitas menurun. “Pembentukan PTPN III (Persero) sebagai holding BUMN perkebunan kurang efektif dalam meningkatkan perbaikan kinerja keuangan PTPN Grup,” demikian tertulis dalam laporan hasil pemeriksaan BPK tersebut.
Dalam rapat, Senin, 21 Juni lalu, anggota Komisi VI DPR, Elly Rachmat Yasin, sempat menyinggung hasil pemeriksaan itu. Abdul Ghani menjelaskan, laporan itu berisi penilaian terhadap kinerja holding pada 2015-2019. Menurut dia, selama kurun waktu tersebut, tak banyak yang dilakukan PTPN. “Atas dasar itu kami menyusun program. (Kini) kewenangan kami seratus persen,” ujar Ghani.
AISHA SHAIDRA, RETNO SULISTYOWATI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo