KEMAH yang dibuat tersamar terletak di pelataran kering,
diikat pohon-pohon yang akarnya merambat ke rawa-rawa. Di
dalamnya, Kamerad Kanika dari Tentara Revolusioner Kampuchea
Demokratik duduk di meja sambil menghirup minuman keras dari
nenas yang menghangatkan. Musim hujan sedang menimpa belantara
Kampuchea. Seorang prajurit berotot kuat dan berambut kelabu
berbicara tentang mimpi-mimpi ganas revolusi Khmer Merah dan
pemimpin legendarisnya, Pol Pot.
Begitu pembukaan suatu tulisan berudul In The Land of The Khmer
Rouge (Di Kawasan Khmer Merah). Reportase itu dengan apik
menggambarkan keadaan belantara kawasan kaum gerilyawan Khmer
Merah dan kegiatan di dalamnya. Padat, penuh warna dan
mengasyikkan. Di sana-sini diungkapkan pandangan politis dan
sikap golongan masing-masing yang kini saling mencurigai di
Kampuchea. Lengkap dengan data kekuatan dan sedikit latar
belakang sejarahnya. Dikisahkan hal pertempuran dan pertemuan
dengan para pemimpin mereka. Ada pula ungkapan bahasa asli
daerah itu, seperti Kamtech khman--suatu jeritan perang Pol Pot
yang berarti, "musuh harus dihancurkan jadi debu."
Tulisan itu muncul di mingguan The New York Times Magazine.
edisi 20 Desember 1981. Penulisnya: Christo er Jones, wartawan
freelance, banl berusia 24 tahun. Ayahnya seorang Amerika dan
ibunya dari Kuba.
Pada mulanya Christopher Jones dianggap hebat sekali karena
reportasenya itu. Tapi pekan lalu kejujurannya dipertanyakan.
Perwakilan Khmer Merah di Bangkok menyatkan Jones tidak pernah
berkunjung ke sarang gerilyawan Kampuchea, dan tidak ada dia
mewawancarai orang-orang yang dikutip dalam artikel yang dimuat
The New York Times Magazine, menurut laporan William Branigin,
wartawan Tbe Washin,ton Post.
Mulai Curiga
Kali ini suatu kesempatan bagi The Post memukul koran New York
itu. The Times pernah mengejek koran Washington itu seolah
ceroboh (critical failure) ketika tahun lalu The Post mengakui
betapa seorang reporternya menulis satu profil anak berusia 8
tahun yang kecanduan heroin. Artikel itu sempat memenangkan
Hadiah lulitzer tapi kemudian dicabut, setelah reporter
(wanita) itu mengaku dia telah menulis cerita khayal, fiksi
saja. The Post sangat malu waktu itu.
Redaktur Pelaksana The Times, A.M. Rosenthal, semula tidak
percaya bahwa Jones hanya menulis fantasinya. Dia berjanji
mengeceknya. Jones sendiri kcmudian bersembunyi, tidak bisa
dihubungi segera. Mulai curiga, redaksi The Times menunda
penugasan berikutnya untuk Jones supaya meliput peristiwa Kurdi
di Iran dan Irak.
James M. Markham yang berkantor di Madrid akhirnya bersama
redaktur Edward Klein dan koresponden Henry Kamm, yang baru saja
selesai bertugas di Bangkok selama 5 tahun, ditugaskan mencari
Jones. Ketiganya menjumpai Jones di Calpe, Spanyol. Dalam kota
pesiar yang menghadap ke Laut Tengah itu, demikian pengakuan
Jones, cerita untuk The Times itu ditulisnya tanpa pergi lagi ke
Kampuchea, tapi mengambil sebagian bahan dari hasil
perjalanannya ke Kampuchea dalam tahun 1980.
Majalah Time (edisi Asia, 20 Oktober 1980) pernah memakai
sebagian bahan laporan Jones. Dan dia mengolah kembali bahan
lama itu menjadi baru. Bahkan dia menjiplak dari novel The Royal
Way, karya Andre Malraux, yang terbit tahun 1935 dalam
terjemahan ke bahasa Inggris. Terutama dijiplaknya satu
deskripsi dari novel itu betapa seorang buta di Kampuchea
melagukan Ramayana sementara jarijarinya memetik kecapinya.
"Saya memerlukan sepotong warna," kata Jones yang menjelaskan
latar belakang jiplakan itu.
Jones semula bisa meyakinkan redaksi The Times bahwa dia
menghabiskan sejumlah biaya untuk hidup sebulan bersama kaurn
gerilyawan di Kampuchea. Ternyata ia hanya menghabiskan uang itu
untuk tinggal bersama orangtuanya di apartemen pantai lautnya
dan di villa di puncak bukit di Calpe, yang disewanya bersama
seorang fisiotherapis Jerman berumur 52 tahun, Eva Fitzek.
Setelah artikel itu rampung dalam Agustus, Jones dan Ny. Fitek
bermobil ke Lucarno, Swiss. Dan di sana ia mengeposkan artikel
itu ke New York. Dengan cara begitu Jones mencoba mengesankan
bahwa dia baru saja terbang dari Thailand ke Swiss untuk
beristirahat setelah petualangannya yang dahsyat itu. Rosenthal
dan stafnya waktu itu percaya.
Kasus Jones menambah satu contoh lagi bahwa cerita "isapan
jempol" dalam media Amerika, walaupun berwibawa seperti The
Times, bukannya tidak mungkin. Di Moskow, konon sering wartawan
asing berbohong melaporkan kepergiannya ke pedalaman, untuk
kemudian mengarang . . . dan mendapat ongkos perjalanan. Dalam
hal ini ada banyak Jones, tapi The Times sudah menulis, untuk
pembacanya satu pernyataan maaf.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini