Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta -Direktur Pengendalian Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Teguh Arifiyadi, menceritakan proses revisi kedua Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah menekan beleid ini pada 2 Januari 2024 lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Teguh bercerita, revisi kedua berangkat dari banyaknya keluhan dari publik, lembaga swadya masyarakat (LSM), dan media atas penerapan UU ITE. Keluhan itu sebagian besar berkisar dalam aspek pidana. Menurut Teguh, masukan-masukan itu sampai ke telinga Kominfo hingga Presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dari banyaknya aspirasi masyarakat, Teguh mengatakan kementerian membuka kembali putusan-putusan pengadilan. “Kami menemukan fakta hampir 70 persen perkara UU ITE sifatnya asimetri,” kata dia dalam diskusi Gedung Kominfo, Jakarta Pusat, yang dipantau Tempo secara daring, Kamis, 11 Juli 2024.
Teguh menjelaskan, perkara-perkara asimetri atau tak seimbang itu melibatkan pihak-pihak yang tidak setara. Misalnya, orang kaya dengan orang miskin, direktur dengan pegawai, kepala daerah dengan masyarakat, hingga tokoh publik dengan orang biasa. Angka kasus itu, kata dia, terus menggelembung.
Dari temuan itu, Teguh menyimpulkan beleid itu sering disalahtafsirkan oleh penegak hukum, hakim, hingga jaksa penuntut umum. Sebab, kritik-kritik kepada pejabat publik yang diduga merupakan hinaan sebenarnya bersifat ringan. “Ini model-model yang cukup meresahkan masyarakat,” kata dia.
Akhirnya, Teguh melanjutkan, Presiden memerintahkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan saat itu, Mahfud Md. mengevaluasi aturan itu. Dia mengklaim, substansi undang-undang itu telah dirumuskan dengan baik. Tapi ketika ditafsirkan, ada perbedaan pemahaman.
Undang-undang ITE baru mengubah sejumlah ketentuan di UU Nomor 11 Tahun 2008 dan UU Nomor 19 Tahun 2016. DPR dan pemerintah diketahui menghapus Pasal 27 ayat 3 yang dianggap karet. Pasal itu mengatur pidana penghinaan atau pencemaran nama baik melalui saluran elektronik.
Namun, revisi UU ITE tidak menyentuh beberapa pasal lainnya yang selama ini dianggap sebagai pasal karet karena mengatur larangan penyebaran informasi dan dokumen elektronik bermuatan penghinaan atau pencemaran nama. Pasal-pasal karet ini adalah Pasal 27 ayat 1, Pasal 28 ayat 2 dan 3, dan pasal 29. UU ITE jilid II juga mencantumkan pasal 27A berpotensi menjadi pasal karet baru.
Pasal 27A berbunyi, "Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik."