Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan PPN 12 persen tahun depan.
Daya beli bakal masyarakat diperkirakan makin tertekan akibat kenaikan tarif PPN.
Sejumlah ekonom memperkirakan kenaikan tarif tidak otomatis memberikan pendapatan lebih banyak ke negara. Karena itu, kenaikan PPN disarankan ditunda.
MENTERI Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN tahun depan naik dari 11 persen menjadi 12 persen. Meski meningkat 1 persen dibanding pada tahun ini, sejumlah ekonom memperkirakan penerimaan negara tak otomatis ikut terdongkrak.
Sri Mulyani memastikan kenaikan PPN mulai 1 Januari 2025 ini sudah melalui beragam pertimbangan. "Ketika kami membuat kebijakan mengenai perpajakan, termasuk PPN ini, bukannya dilakukan dengan membabi buta dan seolah-olah tidak punya afirmasi atau perhatian terhadap sektor lain," ujarnya dalam rapat dengar pendapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu, 13 November 2024.
Dia juga memastikan, dalam implementasinya, Kementerian Keuangan bakal berhati-hati dan berupaya memberikan penjelasan yang baik kepada masyarakat. "Sudah ada undang-undangnya. Kami perlu menyiapkan agar itu (PPN 12 persen) bisa dijalankan tapi dengan penjelasan yang baik,” kataya.
PPN adalah pajak yang wajib dibayar konsumen saat melakukan transaksi jual-beli yang termasuk dalam obyek barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP). Perusahaan atau lembaga yang ditetapkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP) wajib menyetorkan PPN ke negara.
Barang yang kena PPN antara lain benda-benda elektronik, pakaian,
tanah dan bangunan, perabot rumah tangga, makanan olahan yang diproduksi kemasan, serta kendaraan bermotor. Selain itu, jasa layanan streaming musik dan film, seperti Spotify serta Netflix, menjadi target pengenaan PPN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen termaktub dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 yang disusun oleh Kabinet Indonesia Maju di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Dalam aturan itu disebutkan bahwa PPN dinaikkan secara bertahap, yakni 11 persen pada 1 April 2022 dan 12 persen pada 1 Januari 2025.
Sebelumnya Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengungkapkan bahwa potensi penerimaan negara dari kenaikan tarif PPN mudah dihitung. Kenaikan 1 persen tarif setara dengan tambahan 10 persen penerimaan dari total penerimaan pajak pertambahan nilai tahun ini. “Realisasi (PPN) dalam setahun Rp 730-an triliun, berarti kan tambahannya sekitar Rp 70 triliun,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun sejumlah ekonom punya pendapat berbeda. Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah menyatakan kenaikan tarif ini tidak lantas meningkatkan penerimaan PPN. "Ketika kita menyesuaikan tarif tapi akibat dari kenaikan itu menurunkan daya beli, penerimaan pajak juga bisa turun bukannya naik," tuturnya.
Piter menilai kenaikan PPN bisa memperlambat konsumsi masyarakat. Dia menjelaskan, kebijakan ini bakal membuat harga barang dan jasa melonjak. Masalahnya, daya beli masyarakat sedang melemah.
Indikator melemahnya daya beli masyarakat bisa dilihat dari data konsumsi rumah tangga yang tumbuh di kisaran 4,9 persen sepanjang tiga kuartal pada 2024. Angka tersebut lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada di kisaran 5 persen. Momentum seperti pemilihan umum hingga Lebaran tak mampu mendongkrak pertumbuhan konsumsi lebih tinggi.
Di tengah penurunan daya beli, masyarakat pasti bakal menahan belanja. Tak akan ada setoran PPN yang tinggi jika aktivitas ekonomi menurun. Alih-alih dapat tambahan penerimaan, pemerintah justru berpotensi harus menggelontorkan anggaran jaringan pengaman buat masyarakat agar daya beli mereka tidak anjlok. "Makanya sebenarnya usulan bahwa PPN ditangguhkan itu usulan yang logis," ujarnya.
Usulan penundaan itu salah satunya datang dari pengusaha. Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam mengaku sempat meminta pemerintah mempertimbangkan lagi kenaikan tarif PPN. Dia juga khawatir akan adanya tekanan terhadap daya beli masyarakat ke depan. "Kami selalu sampaikan ke pemerintah, kenaikan PPN tidak selalu berujung kenaikan revenue, jadi hati-hati," tuturnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan paparan dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 13 November 2024. ANTARA/Dhemas Reviyanto
Analis kebijakan ekonomi Apindo (Ajib Hamdani) menyebutkan kenaikan PPN sebesar 1 persen berpotensi menambah penerimaan negara sekitar Rp 80 triliun. "Tapi daya beli yang merosot akan memberikan tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi,” katanya. Sama seperti Piter dan Bob, ia juga melihat adanya tekanan pada konsumsi masyarakat setelah kebijakan ini diterapkan.
Saran untuk menunda kebijakan kenaikan PPN juga datang dari Direktur Center of Economic and Law Studies Indonesia Nailul Huda. Dia menyebutkan kebijakan ini akan menggerus kemampuan belanja masyarakat. Terlebih pada tahun depan pemerintah punya rencana lain yang bakal memberi tekanan, seperti kenaikan tarif kereta rel listrik dan pembatasan subsidi bahan bakar minyak.
"Jika diterapkan (kenaikan tarif PPN) akan meningkatkan kerentanan konsumsi rumah tangga. Dalam jangka pendek bisa mengganggu perekonomian secara makro," tutur Huda. Untuk menjaga daya beli, pemerintah harus merogoh kas negara dan menggelontorkan subsidi atau stimulus lain, khususnya ke kelas menengah yang konsumsinya jadi kunci pertumbuhan ekonomi.
Tempo berupaya menghubungi Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Deni Surjantoro serta Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Dwi Astuti mengenai potensi penerimaan negara dari kebijakan tersebut. Namun keduanya tak merespons hingga berita ini ditulis.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Ilona Estherina berkontribusi dalam penulisan artikel ini