PERBEDAAN sikap antara Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) dan BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) tampaknya akan berakhir. Hal itu setidaknya tercermin dari penempatan seorang tokoh BPPT di Bappenas. Rahardi Ramelan, deputi bidang pengkajian industri di BPPT, dilantik menjadi wakil ketua Bappenas Kamis pekan silam. Bukan tidak mungkin Rahardi akan banyak memberi warna lain pada Bappenas. Teknologi, nilai tambah, dan sumber daya manusia adalah kata-kata kunci yang selalu menjadi pegangan BPPT dan juga Rahardi. Dilahirkan di Sukabumi 12 September 1939, Rahardi mengatakan bahwa ia sudah lama kenal dengan bosnya yang baru, Menteri Pengawasan Pembangunan Negara dan Ketua Bappenas Ginandjar Kartasasmita. Tamat dari Czech Tehnical Institute, Ceko- Slowakia, tahun 1964, setahun kemudian ia menjadi perwira wajib militer Angkatan Udara. Pada tahun 1966, ketika menjalani Sekolah Dasar Perwira di Panasan, Surakarta, ia berlatih sama-sama dengan Ginanjar. ''Setelah kami sama-sama menjadi perwira AU, sejak tahun 1979 kami menempuh jalan hidup masing-masing,'' kata Ginandjar. Sejak itu Rahardi tetap bertahan di pemerintahan, tapi paling lama di BPPT (21 tahun). Ia terlibat dalam berbagai tim lembaga tinggi negara, khususnya dalam merumuskan berbagai kebijaksanaan. Klimaksnya ialah ketika ia memperkuat komisi pembahasan GBHN 1983 di MPR. Berbicara tentang dunianya yang baru, ia pertama-tama dihadapkan pada soal pencairan dana pinjaman. ''Disbursement-nya lamban,'' kata Rahardi. Diakuinya, hal ini terkait dengan beberapa departemen dan proyek. Ia harus memperhatikan masalah tersebut, apalagi kelambanan itu sudah dikritik oleh banyak negara donor. ''Tapi ini harus dikoordinasikan dengan Menko Ekonomi Keuangan,'' tandasnya. Sebagai orang luar yang dipasang di Bappenas, insinyur mesin yang berkarier di berbagai lapangan itu mengharapkan agar pengalaman mikronya dapat dimanfaatkan untuk perencanaan makro. Maksudnya? ''Agar sejak dini sudah dipertimbangkan perencanaannya,'' kata Rahardi serius. Sebagai contoh ia menampilkan PT INKA yang memproduksi kereta api. Nah, untuk pengadaan gerbong yang mengandalkan pinjaman luar negeri, pelaksanaannya jangan sampai mengorbankan INKA. Ketika menyentuh masalah makro, Rahardi melihat bahwa Pemerintah bersungguh-sungguh mengenai masalah pemerataan. Pembentukan satu departemen untuk pembinaan pengusaha kecil ditafsirkannya sebagai bukti kesungguhan itu. Lain lagi terjemahannya di bidang industri. Selama ini industri yang kita kembangkan berorientasi ekspor. Ini biasanya jenis industri dengan biaya buruh murah, jadi nilai tambahnya kecil. ''Untuk yang low labor cost, yang kita jual adalah harga upah yang rendah. Kita tidak menjual nilai tambah dari bahan baku yang kita olah, karena kita memang tidak menghasilkan bahan bakunya, misalnya sepatu,'' katanya memberi contoh. Menurut insinyur ini, dalam hal semacam itu kita harus hati-hati. Mengapa? Kalau ada negara yang memberi insentif yang lebih menarik dan buruhnya lebih murah, kita bakal kehilangan industri itu. Di sinilah Rahardi mengingatkan, sesuai dengan GBHN, dalam merencanakan pembangunan, kita sudah harus beralih dari industri yang mengandalkan upah buruh rendah ke industri yang bernilai tambah tinggi. Sering juga itu disebut sebagai Habibienomics yakni konsep pembangunan ekonomi dari Menristek B.J. Habibie, yang menekankan pada nilai tambah tinggi. Diakui Rahardi, dalam pelaksanaannya, konsep itu menuntut subsidi dan proteksi. Menanggapi kedua tuntutan itu, ia bereaksi dalam suara datar. ''Kalau perlu, memang proteksi dan subsidi,'' tandasnya. ''Di dunia ini mana ada yang tidak diproteksi?'' Max Wangkar dan Iwan Qodar Himawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini