DALAM waktu dekat, PT Krakatau Steel akan tersisih dari posisinya sebagai pabrik baja terbesar di Asia Tenggara, digantikan oleh Gunawan Iron & Steel Sdn.Bhd. (GIS) dari Trengganu, Malaysia. Perusahaan yang markas induknya ada di Surabaya itu direncanakan berkapasitas 2,2 juta ton lembar baja per tahun, jauh di atas Krakatau Steel yang berkapasitas 1,2 juta ton per tahun. Ketika ditemui TEMPO pekan lalu di kantornya di Surabaya, Gunawan, pemilik pabrik baja yang ''merantau'' ke Malaysia itu, tampak enggan diajak bicara. ''Sudahlah. Pendirian pabrik baja di Malaysia tak usah diekspos,'' ujar Direktur Utama PT Gunawan Dianjaya Steel (GDS) itu. Sekalipun demikian, terungkap juga riwayat investasi yang dirintisnya sejak tiga tahun silam. Semula, Gunawan berniat mendirikan pabrik slab (bahan baku baja) di Jawa Timur. Niat itu tidak sembarang niat, karena landasannya kuat. Setelah makan asam garam dalam bisnis baja selama 32 tahun, Gunawan paham betul pentingnya mendirikan pabrik slab. Selama ini, untuk kebutuhan pabriknya, ia terpaksa mengimpor bahan baku baja dari Amerika Latin dan Eropa rata-rata 400 ribu ton per bulan. ''Kalau bisa menghasilkan slab sendiri, akan lebih menguntungkan,'' katanya. Namun cita-cita Gunawan membangun pabrik baja di Indonesia tak kesampaian. Dia mengincar tanah negara seluas 400 hektare di daerah Tuban. Ternyata, oleh Pemda setempat, tanah itu diperuntukkan bagi industri pengolahan kayu. Gubernur Soelarso, seperti dikutip harian Surya, keberatan untuk mengalihkan peruntukan itu. ''Pembebasan tanah memang diperuntukkan bagi wood center. Kalau Pemda mengizinkan GDS membangun pabrik baja di situ, apa kata rakyat nanti?'' ujarnya. Setelah larangan itu, Gunawan masih berusaha mencari lokasi lain. Namun perusahaan dari RRC yang menjadi rekanan Gunawan tak mau bersabar. Perusahaan itu menilai, waktu enam bulan untuk survei akan sia-sia saja. Ia lalu meminta agar lokasi dialihkan ke Malaysia. ''Saya menerima tawaran itu. Meskipun nama pabrik itu Gunawan Iron & Steel, andil investasi saya tak terlalu besar,'' kata Gunawan pula. Ia pun tak mau mengungkapkan berapa besar andilnya di situ. Satu hal diakui olehnya, investasi di Malaysia memang lebih menguntungkan. Soalnya, infrastruktur di sana lebih memadai. Fasilitas pelabuhan, misalnya. Begitu rencana diajukan, pemerintah Malaysia segera memperbesar fasilitas pelabuhan, hingga mampu menampung kapal berbobot mati di atas 50 ribu DWT. Selain itu, fasilitas lain seperti air, telepon, listrik, dan gas, relatif lebih gampang diperoleh ketimbang di Indonesia. Sebagai perbandingan, untuk pabriknya di Surabaya, Gunawan harus menarik air dari saluran PDAM (perusahaan daerah air minum) terdekat dan mengeluarkan biaya Rp 500 juta. Tak kurang penting ialah birokrasi Malaysia yang tak berbelit seperti di sini. Dengan demikian, proses perizinan dan persiapan pabrik bisa rampung dalam enam bulan. Semua kemudahan itu masih dilengkapi dengan tax holiday selama dua tahun. Sejak itu, jalan bagi GIS terbentang lebar. Dan Gunawan bertekad untuk menyukseskan proyek senilai US$ 760 juta yang kabarnya sempat mengundang kegusaran Ir. Hartarto (dulu Menteri Perindustrian), yang kini Menteri Koordinator Industri dan Perdagangan itu. Adapun sebagian dari dana untuk GIS diperoleh Gunawan dari konsorsium beberapa bank di Malaysia dan Singapura. Kini ia sudah membeli mesin bekas dari Skotlandia. ''Mesin ini telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan teknologi yang dipakai sekitar 96% pabrik baja di dunia. Itu sistem yang paling efisien,'' katanya. Bagi Malaysia, GIS akan tercatat sebagai pabrik slab pertama di negeri itu. September depan, pabrik itu mulai beroperasi dan akan menyuplai slab untuk pabrik milik Gunawan di Surabaya, yang memerlukan 900 ribu ton lembar baja per bulan. GSI dan K. Chandra Negara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini