DI awal Kabinet Pembangunan V dunia usaha diguncangkan oleh Gebrakan Sumarlin, dan pada kabinet yang baru terbentuk bulan lalu segera terasa adanya hentakan. Tidak sekeras yang dikirimkan Sumarlin, memang. Tapi seorang pengusaha kayu lapis spontan saja bereaksi, ''Ini namanya gebrakan Djamaloedin.'' Ucapan itu tampaknya tidak berlebihan. Belum lagi sebulan menjabat menteri (sambil merangkap sebagai Dirjen Pengusahaan Hutan), Menteri Kehutanan Djamaloedin Soeryohadikoesoemo sudah menurunkan kebijaksanaan yang cukup mengejutkan. Pekan lalu, dalam acara silaturahmi Departemen Kehutanan, Djamaloedin menyatakan bahwa pengusaha pemegang HPH yang memiliki kinerja kurang baik akan menghadapi dua ancaman. Pertama, ia tidak akan memperoleh izin perpanjangan usaha. Atau kalau tidak, HPH yang dia pegang (sebagian atau seluruhnya) akan dialihkan ke badan usaha milik negara (BUMN) yang berada di bawah koordinasi Departemen Kehutanan. Dengan kata lain, HPH-nya akan dicabut. Kebijaksanaan baru ini tak dapat tidak membuat banyak pemegang HPH (hak pengusahaan hutan) pusing tujuh keliling. Tiba-tiba saja mereka dihadapkan pada satu tantangan lain lagi. Padahal, sebelum rencana ''pem-BUMN-an'' ini diumumkan bulan lalu Hasyrul Harahap pada akhir masa jabatannya sebagai Menteri Kehutanan sudah mengumumkan bahwa pemerintah akan menaikkan Dana Reboisasi (DR) dan Iuran Hasil Hutan (IHH) yang harus dibayar pengusaha. Menurut sebuah sumber TEMPO di Departemen Kehutanan, kenaikan IHH dan DR ini diberlakukan per 1 Mei 1993. Jumlah kenaikannya memang belum jelas. Tapi sinyalemen menyebutkan, jika dijumlahkan, DR dan IHH yang harus dibayar mulai Mei depan adalah 27 dolar. Berarti naik 80% jika dibandingkan dengan DR dan IHH lama, 15 dolar per meter kubik. Penyesuaian DR dan IHH ini rupanya tidak terlalu mengkhawatirkan, kendati jelas-jelas akan memangkas penghasilan pemegang HPH. ''Dua puluh tujuh dolar per hektare masih feasible,'' ujar seorang pengusaha. Yang dikhawatirkannya justru desas-desus yang beredar sepekan belakangan. Isu itu menyebutkan bahwa IHH dan DR dinaikkan menjadi 37 dolar. ''Kalau itu yang terjadi, kami jelas akan merasa sangat keberatan,'' ujarnya. Terlepas dari beban DR dan IHH, banyak pemegang HPH yang cemas terhadap rencana pem-BUMN-an yang akan dilaksanakan Menteri Djamaloedin. Apalagi terkesan, itu bukan ancaman kosong. Bahkan pekan lalu Menhut memastikan bahwa ada 18 HPH yang siap di- BUMN-kan. Dan tampaknya, jika langkah yang diayunkan Djamaloedin konsisten, jumlah pemegang HPH yang menjadi ''korban'' akan bertambah banyak. Seperti dikemukakan sebuah sumber, tak kurang dari 100 pemegang HPH (seluruhnya ada 560) yang saat ini tidak memenuhi syarat pengusahaan hutan. Apa yang mereka lakukan selama ini hanya memegang HPH tapi tidak memiliki industri. Lantas diapakan HPH yang mereka peroleh dari pemerintah? Gampang dan enak. Caranya: kontrakkan saja hutan yang mereka kuasai kepada pengusaha besar (terutama kayu lapis) yang memiliki industri. Dengan cara ini saja, tanpa harus berkeringat dan melakukan investasi, mereka bisa memperoleh pendapatan (fee) 7- 25 dolar per meter kubik kayu yang ditebang. Keberadaan pengusaha HPH tanpa industri ini, ''Sangat menguntungkan kami,'' kata seorang direktur perusahaan kayu lapis. Sebab, tanpa harus mengajukan permohonan HPH baru, produksi bisa terus jalan. Dari kayu gelondongan saja, pemegang HPH yang memanfaatkan sistim kontrakan bisa meraih 10 dolar per meter kubik. Bahkan, ''Hampir seluruh perusahaan kayu lapis yang besar ikut menikmati keuntungan dari para pemegang HPH pasif,'' ungkapnya terus terang. Jelaslah, yang akan terpukul oleh gebrakan Djamaloedin bukan hanya pemegang HPH, tapi juga pengusaha besar yang ikut memanfaatkan situasi. ''Tak ada pilihan lain,'' demikian tanggapan Menteri, yang sejak dulu memang dikenal tegas. Maksud Djamaloedin, pemegang HPH yang telah mengingkari forestry agreement tak bisa ditolerir lagi. Kesalahan yang dijadikan pangkal pencabutan HPH bisa macam-macam. Mulai dari tidak melakukan investasi untuk membangun industri sampai pada pelanggaran penebangan. Contohnya, seorang pemegang HPH (setelah masa operasi 20 tahun) harus menyisakan virgin forest sebanyak 15/35 bagian dari izin konsesinya. Pencabutan memang tidak dilakukan begitu saja. Sebelumnya, kata Menteri, para pemegang HPH akan diberi peringatan sebanyak tiga kali (setiap peringatan dilakukan setahun sekali). Selain itu tidak semua pemegang HPH yang berpenampilan buruk akan dicabut izinnya. Apalagi pemegang HPH yang sudah membuat pabrik kayu lapis. Terhadap perusahaan-perusahaan seperti ini, yang hanya lemah dalam hal pengelolaan hutan (seperti penebangan), pemerintah akan masuk sebagai pemegang 20% saham. Namun pemerintah tidak akan menyuntikkan dana segar. Menurut Menteri, di samping menempatkan tenaga ahli kehutanan, pemerintah juga akan membayar bagian sahamnya secara mencicil dari dividen yang dihasilkan perusahaan yang bersangkutan. Jadi tak berbeda dengan sistem yang dipakai oleh koperasi-koperasi yang membeli saham perusahaan konglomerat. Akan halnya pemegang HPH yang diambil alih 100%, pemerintah tidak akan memberikan ganti rugi apa pun. Mereka akan langsung di-BUMN-kan agar hutannya bisa segera direhabilitir. Memang pemerintah juga mengakui bahwa para pemegang HPH itu telah mengeluarkan dana untuk membangun jalan dan membeli alat-alat berat. Tapi itu kan sudah termasuk dalam biaya eksploitasi dan penyusutan. ''Di luar itu mereka tidak melakukan investasi apa- apa,'' tuturnya. Sementara Menteri Kehutanan tampak bersungguh-sungguh menertibkan pengusahaan hutan, timbul sebuah pertanyaan, mampukah BUMN mengelola HPH bekas swasta? Pertanyaan ini wajar saja, sebab langkah yang diambil Djamaloedin boleh dibilang bertolak belakang dengan kebiaksanaan pemerintah sebelumnya. Dulu justru BUMN-lah yang mencari swasta sebagai mitra, bukan sebaliknya. Contohnya Inhutani I, yang pengelolaan hutannya di Kalimantan Timur digarap oleh lima perusahaan swasta. ''Kalau ada areal HPH yang di-BUMN-kan, saya agak merasa aneh. Atau barangkali arah kebijaksanaannya sudah berubah,'' kata Mochamad Harris Suranggajiwa, pensiunan yang pernah menjabat Kepala Direktorat Reboisasi dan Kepala Direktorat Bina Program- Departemen Kehutanan. Harris yang juga pernah menjabat Dirut Inhutani I tampaknya meragukan kemampuan BUMN mengelola areal HPH bekas swasta. Untuk memperoleh hasil yang baik, ''BUMN itu perlu bekerja ekstra-keras,'' katanya. Tak kurang menarik adalah pendapat Harris yang menyatakan bahwa langkah ini sebenarnya tak perlu dilakukan pemerintah. Alasannya? ''Kalau pengawasan dan pengendaliannya cukup benar, pemerintah rasanya tak perlu turun tangan pada tingkat pelaksanaan,'' demikian Ketua Himpunan Konsultan Kehutanan Indonesia ini dalam nada pasti. Budi Kusumah dan Dwi S. Irawanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini