KEIICHI Oguro, staf dari organisasi perdagangan luar negeri
Jepang (JETRO) di Indonesia merasa kaget. Ia mengaku belum
diberitahu bahwa BKPM telah menawarkan tak kurang dari 57
pengusaha Indonesia sebagai partner modal asing.
Saya baru tahu hari ini, dari anda -- sungguh," kata
Keiichi-san kepada TEMPO pekan lalu. Ia merasa agak kecewa,
kenapa soal yang penting itu tak disampaikan kepada JETRO.
"Kalau BKPM tak keberatan, kami siap untuk mengedarkan daftar
itu ke alamat para pengusaha Jepang," katanya.
Bisa dipastikan BKPM dengan senang hati akan segera menyampaikan
daftar itu ke kantor JETRO di lantai 11 Wisma Nusantara,
Jakarta. Adalah Deputi I bidang Promosi dan Perencanaan BKPM,
Ir. Anwar Ibrahim yang pada 25 Februari lalu mengungkapkan soal
itu, untuk memudahkan investor asing mencari partner Indonesia.
"Sulit sekali untuk mencari partner Indonesia yang bonafide,"
kata Anwar.
Apa yang dilontarkan orang penting di BKPM itu cocok yang
dirasakan orang JETRO itu. Menurut Oguro, selama ini cara
mencari partner dilakukan dengan hubungan sebagai agen lebih
dahulu. Dan perusahaan Jepang yang memasarkan produk mereka di
sini berhubungan dengan perusahaan dalam negeri yang mau
memasarkannya.
Dari "kerjasama" sebagai agen itu lambat laun diadakan
penjajakan untuk meningkatkan hubungan lebih jauh. "Biasanya
problem akan timbul ketika mencari pengusaha pribumi," kata
Oguro.
Problem? Orang Jepang itu manggut, lalu menghela napas
sebentar. Menurut dia, ada sekitar 206 perusahaan Jepang yang
terdaftar berusaha di Indonesia. Mereka umumnya mengeluh sulit
memperoleh partner yang cocok dan bonafid. Dengan kata lain,
seperti juga diakui Anwar Ibrahim, sang partner Indonesia --
"pri" maupun "nonpri" haruslah punya kemampuan untuk menyetor
20% dari modal saham.
Maka JETR0, badan promosi perusahaan Jepang yang berstatus semi
pemerintah itu, mencoba membuat sendiri lis dari profil
pengusaha pribumi yang dianggap bonafide. "Sampai sekarang baru
ada sepuluh orang yang memenuhi syarat kami," katanya. "Mereka
harus mempunyai semangat wiraswasta, sabar, efisien dan
berpandangan maju."
Siapa? Ternyata yang masuk daftar JETR0 itu adalah pengusaha
"pri" yang memang sudah beken: Soedarpo Sastrosatomo, Ny.
Rukmini Zainal Abidin, Probosutejo, A. Baramuli, Sjarnubi
Said, Hasjim Ning, Siswono Judo Husodo, Julius Tahija, Ibnu
Sutowo dan Pontjo Nugroho Sutowo.
Namun beberapa tokoh pengusaha itu tak dikenal punya hubungan
dengan swasta Jepang, antara lain seperti Soedarpo, Ny. Rukmini
dan Julius Tahija. Ketiga pengusaha itu lebih banyak berpatungan
dengan investor dari Eropa dan AS.
Di antara 10 pengusaha pribumi yang top itu hanya Siswono,
Dir-Ut PT Bangun Cipta Sarana dan Pontjo Sutowo, paling muda.
Semiskin itukah elite pengusaha kita? Dir-Ut PT Pantja Niaga
dan Ketua Ekonid (Perkumpulan Ekonomi Indonesia-Jerman)
Djukardi Odang mengakui, "yang bisa dijadikan partner cuma
beberapa persen," katanya. "Akibatnya kalau mencari partner
pribumi, ya biasanya yang itu-itu lagi.
Hal itu juga tercermin dari hasil penelitian Christianto
Wibisono tentang PMA dan PMDN. Di situ dilaporkan bahwa 99 buah
(48,06%) dari 206 proyek PMA Jepang berpatungan dengan pengusaha
pribumi (lihat box). Tapi Christianto mengakui, penelitian
pemilikan saham berdasarkan Tambahan Berita Negara RI itu, tidak
dengan sendirinya berarti, Jepang berpatungan dengan 99
pengusaha "pri". Tapi, "sering terjadi seorang pengusaha pribumi
muncul di beberapa BTN-RI," kata Chris. Ia mengambil contoh T.M.
Gobel, yang sedikitnya muncul di tiga perusahaan sebagai
pemegang saham patungan dengan Jepang.
Hal yang serupa, menurut Chris, juga terjadi dengan kelompok
"nonpri". Di sini satu orang sering memiliki lebih dari satu
perusahaan. Semua itu bisa diteliti dari tabulasi komputer yang
menyertai laporan penelitian PMA dan PMDN tersebut.
Tapi tak semua orang setuju bahwa sukar mencari partner dalam
variasi yang besar. Yang tak sependapat misalnya Sjahfiri Alim,
Wakil Dir-Ut PT Goodyear Indonesia. "Yang mereka cari itu
partner yang bagaimana," ujarnya. "Jika partner yang benar-benar
memiliki kemampuan bekerja, saya kira cukup banyak di sini."
Orang penting di pabrik ban Goodyear Indonesia itu, dalam
usianya yang 52, agaknya lebih banyak bicara berdasarkan
pengalaman. Yang ia maksudkan, barangkali adalah sifat
perusahaan Jepang yang berbeda dari perusahaan Eropa dan Amerika
dalam menyeleksi partner.
"Perusahaan AS misalnya lebih menekankan pada soal biaya. Dengan
kata lain, tak berapa mempersoalkan siapa yang akan duduk dalam
pimpinan. Asal ternyata efisien dan menguntungkan perusahaan, ia
boleh jalan terus," katanya.
Ia memberi contoh dirinya. "Setelah bekerja selama 15 tahun,
saya dipercaya duduk dalam direksi Goodyear," katanya. "Tapi
coba tunjukkan pada saya, mana perusahaan Jepang yang bersedia
mempercayai pegawainya untuk menjabat pangkat setinggi itu?"
Ketinggian pangkat itu akan dipertegas lagi malah: bulan depan
Sjafiri Alim bahkan akan diangkat sebagai Direktur Utama PT
Goodyear Indonesia. Langkah yang mirip beberapa waktu lalu juga
sudah dipraktekkan dalam perusahaan modal Inggris-Belanda PT
Unilever Indonesia.
Pihak Jepang mengakui mereka memang lambat dalam soal
Indonesiaisasi dan alih teknologi. Namun Keiichi Oguro membantah
kalau ada yang mengatakan adalah merupakan kebijaksanaan dari
perusahaan swasta Jepang untuk tidak melaksanakan kedua
ketentuan dari BKPM itu. "Jika kami lambat itu lebih disebabkan
kondisi di Indonesia," kata Oguro. Ia lalu menyebutkan masalah
tenaga kerja di sini sebagai salah satu hambatan.
MENURUT orang JETRO itu, tak banyak sarjana Indonesia yang
bersedia bekerja di pabrik, suatu hal yang menurut dia,
merupakan suatu keharusan di Jepang. Kesediaan masuk ke pabrik
itu, "bukan untuk menjadikan mereka tukang, tapi agar para
sarjana itu menguasai betul pekerjaannya. Dengan demikian
kelangsungan perusahaan bisa terjamin," katanya.
Waktu pengalihan tenaga kerja, menurut Oguro, memang relatif.
"Waktu sepuluh tahun yang ditetapkan oleh BKPM bisa saja
dilaksanakan. Namun sebaiknya dilakukan secara bertahap jadi
tidak dipaksakan." Menurut pengalamannya selama dua tahun di
Indonesia, pengalihan modal lebih mudah dilaksanakan daripada
pengalihan tenaga pimpinan.
Salah satu contoh adalah pengusaha "pri" Suyatim, partner swasta
Jepang dalam perusahaan patungan PT Jakarta Kyoei Steel Works di
Pulogadung, Jakarta. Punya pengalaman dalam jual-beli besi
beton, Suyatim, Dir-Ut PT Bonecom (Bone Commercial Coy) dari
Ujungpandang, dalam tahun 1973 mendengar ada swasta Jepang yang
lagi mencari partner di bidang besi beton dan wire road (bahan
baku untuk membuat paku).
Menurut Suyatim, dari seluruh modal saham yang US$ 3,5 juta,
mula-mula dia hanya mampu menyetor US$ 100.000, tak sampai 3%.
Dalam waktu tiga tahun, andilnya meningkat menjadi 25%. "Ini
saya peroleh dengan susah payah, tanpa ada bantuan kredit dari
bank," katanya.
Belakangan C. Itoh, swasta Jepang yang terkenal itu, ikut
bergabung. Dan sekarang, pada 1981, komposisi modal saham
menjadi: 37% untuk C. Itoh 32% punya Kyoei Steel, sedang saham
Bonecom naik menjadi 31%. "Pada 1985 kami akan mencapai 51%,"
kata Suyatim pasti.
Sampai sekarang yang menjadi direktur utama perusahaan tersebut
adalah Arikawa dari C. Itoh. Tapi Suyatim merasa banyak belajar
dari partner Jepang, terutama dalam "cara bekerja dan mengatur
keuangan," katanya. Barangkali yang membuat ia kerasan
berpatungan dengan Jepang adalah pengalamannya tinggal di negara
itu selama enam tahun. "Saya kenal betul kebiasaan dan perangai
orang Jepang. Pokoknya saya tak bisa mereka permainkan,"
katanya.
Jepang memang tak selamanya ingin main-main di Indonesia.
Setelah pengalaman yang buruk di awal tahun 1974 -- terkenal
dengan peristiwa 15 Januari (Malari) -- Jepang sekarang menilai
Indonesia sebagai daerah penanaman yang paling stabil. Seorang
pengusaha Jepang, yang berusaha di Indonesia sejak 1973, setuju
dengan sinyalemen Deputi I BPKM Anwar Ibrahim, yang menilai
Indonesia jauh lebih stabil bagi PMA dibandingkan dengan Korea
Selatan, Iran, Muangthai dan Filipina sekalipun.
"Memang iklim penanaman modal asing di Indonesia sangat cocok
dengan kami," kata Masaaki Enomoto, 60 tahun, Direktur
Mitsubishi Corporation, Jakarta. Dibandingkan dengan pasaran
kendaraan Mitsubishi di negara ASEAN lain, Indonesia terbukti
memang paling unggul. Itu pula sebabnya, raksasa Jepang itu,
seperti diakui Enomoto, sudah mengajukan permintaan kepada BKPM
untuk memperluas investasi mereka di bidang permobilan. "Tahun
depan Mitsubishi akan mendirikan pabrik komponen dan mesin mobil
di Jakarta dan Surabaya," katanya. Jumlahnya US$ 150 juta. "Itu
di samping rencana pendirian proyek industri plywood (kayu
lapis) dan industri kimia," katanya.
Mitsubishi Corporation mulai dengan usaha patungan di Indonesia
sepuluh tahun lalu. Dalam waktu pendek perusahaan raksasa itu
sudah menyebarkan jalanya ke berbagai usaha perakitan mobil,
perkayuan, perikanan, konstruksi penerbangan dan tekstil. "Kami
sendiri yang mencari partner dagang," kata Masaaki Enomoto.
"Kalau mau berlayar dalam satu kapal, tentunya harus mencari
partner yang sepandangan, di samping yang bonafide."
Pengusaha Jepang itu bangga, beberapa perusahaan patungan mereka
memiliki pembagian saham yang kurang lebih seimbang. "Ada yang
60:40, tapi ada pula yang fifty-fifty," kata Enomoto. Yang
disebut terakhir itu adalah proyek patungan industri kayu lapis
dengan PT Dwima Jaya.
Toh perusahaan swasta Jepang tak selincah perusahaan Eropa dan
AS dalam mencari partner pribumi. Seperti ditunjukkan dalam
laporan penelitian Christianto, dari 72 perusahaan AS di
Indonesia, sebanyak 44 buah merupakan usaha patungan dengan
pribumi, dan hanya 12 perusahaan yang memilih partner "nonpri".
Sebanyak 12 usaha lagi merupakan penanaman langsung dan hanya
empat buah yang patungan dengan partner "membaur".
Demikian pula dengan modal Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). Dari
131 perusahaan MEE di Indonesia, sejumlah 71 perusahaan
berpatungan dengan "pri", 31 buah berupa investasi langsung dan
hanya satu perusahaan yang berpartner "membaur".
Pengertian "membaur" di sini adalah modal asing yang berpatungan
dengan perusahaan gabungan antara "nonpri" dan 'pri' atau
perusahaan milik negara. Usaha patungan yang demikian ternyata
masih sangat langka. Jepang, kampiun investasi di Indonesia,
berpatungan dengan partner yang "membaur" dalam 12 perusahaan
saja. Sedang para investor ASEAN di Indonesia hanya berpatungan
dengan satu perusahaan yang "membaur".
Karena kesulitan menghimpun modal saham sebanyak 20% bagi
partner Indonesia, terutama bagi yang "pri", Anwar Ibrahim
menganjurkan agar para calon partner itu untuk bekerjasama
dengan lembaga keuangan non-bank, seperti Uppindo (Usaha
Pembiayaan Pembangunan Indonesia). Menurut Anwar, lembaga
keuangan (LK) itu bisa membantu dengan ikut menyetor sebanyak
15%, sehingga 5% sisanya boleh ditanggung oleh sang calon
partner.
Tapi dalam praktek soalnya tak semudah itu. PT Uppindo lebih
banyak terjun ke dalam proyek-proyek kecil sampai menengah,
sesuai dengan yang digariskan Bank Indonesia, pemegang saham
terbesar LK tersebut. "Proyek patungan dengan asing biasanya
butuh modal besar," kata Lukman Dendawidjaja, 2 tahun, Deputy
Managing Director Uppindo.
Mereka baru boleh memberi bantuan kepada proyek patungan PMA
dengan syarat hasil produksi pabrik itu bisa diserap oleh
perusahaan kecil, misalnya, antara lain pabrik tekstil dan
pabrik cat di Pulogadung, Jakarta. Juga kedua pabrik yang
dibantu Uppindo itu dianggap menyerap cukup banyak tenaga kerja.
Barangkali itu pula sebabnya, LK yang didirikan sejak 1972 itu
baru membantu delapan proyek patungan dengan modal asing. "Jadi
rata-rata satu pabrik dalam setahun," kata Lukman kepada TEMPO
pekan lalu. Bantuan paling besar dinikmati PT Tubantia Kudus
Spinning Mills bermodal kombinasi Jerman Barat, Belanda dan
Inggris -- semuanya Rp 1,8 milyar. Sebanyak Rp 1 milyar
berbentuk saham, sisanya kredit. Bantuan paling kecil, berjumlah
Rp 120 juta, disalurkan untuk sebuah pembangunan hotel di Bali.
Menurut Lukman, dalam setahun rata-rata masuk lima sampai enam
permohonan untuk minta bantuan mewujudkan proyek patungan dengan
asing. Tapi banyak yang terpaksa ditolak, karena tak memenuhi
persyaratan. Uppindo hanya membantu dalam bentuk saham sebesar
25% dari modal saham, dan kredit maksimal Rp 700 juta untuk
tahap permulaan pendirian suatu proyek. Tapi yang juga penting,
"orang yang meminta bantuan sedikitnya harus sudah punya
pengalaman memimpin suatu usaha," kata pimpinan Uppindo itu.
Tapi ada kalanya kelemahan juga datang dari partner asing.
Beberapa proyek terpaksa ditolak oleh Uppindo, karena si calon
partner asing dipandang kurang beres. "Mereka itu broker yang
bertujuan mengejar komisi," katanya. "Tapi untung kami belum
pernah kebobolan."
Dari kedelapan proyek yang mereka bantu, Uppindo sudah
menanamkan modalnya -- dalam bentuk saham dan kredit -- sebesar
Rp 7 milyar. Uppindo memang bukan tergolong LK paling besar
yang bergerak di Indonesia. Tapi seperti diterangkan Dir-Ut
Uppindo, Moerdyono Sumadyono kepada TEMPO Senin malam kemarin,
hanya tiga kali oleh BI diizinkan untuk membantu dalam modal
saham: Uppindo, PT PDFCI (Private Development Finance Company
Indonesia) dan PT Bahana. Sedang LK yang lain, sebanyak 12 buah,
hanya bergerak di bidang kredit komersial.
KEHARUSAN untuk berpatungan minimal 20% dari modal saham PMA
itu oleh sementara -- pengusaha asing dilihat sebagai hambatan.
Selain tak mudah dipenuhi oleh banyak swasta Indonesia, dalam
praktek mereka juga sulit untuk meraih 51% dari jumlah saham
setelah berpatungan selama 10 tahun.
Keharusan untuk menguasai mayoritas saham itu memang sudah masuk
dalam ketentuan BKPM. Sekalipun terbuka kemungkinan untuk
mencari balabantuan dari lembaga keuangan, kemampuan lembaga itu
sendiri ternyata juga terbatas. Sehingga dalam praktek, seperti
diakui seorang pengusaha tekstil yang berpatungan dengan modal
Hongkong, ketentuan tersebut tidak berjalan mulus. Sedang
anjuran agar beberapa perusahaan Indonesia bergabung, alias
merger, dalam praktek paling sulit dilaksanakan.
Itu memang diakui oleh seorang pejabat BKPM. Ketentuan-ketentuan
yang bermaksud "mengendalikan" PMA itu mestinya sudah harus
berjalan sejak akhir tahun 1974. "Tapi dalam praktek baru mulai
digalakkan tiga tahun lalu," kata pejabat BKPM itu.
Mengapa arus masuknya PMA sampai perlu dibatas-batasi? Sebuah
jawaban, dari dalam BKPM, berbunyi "Ya, agar mereka tak hanya
mengeruk keuntungan di sini."
Modal asing, seperti kata Keiichi Oguro, agak merasa serba salah
juga bila mendengar ungkapan segalak itu. Berbicara soal
pemerataan modal, orang JETRO itu ragu bisa dilaksanakan. "Jika
distribusi yang ingin diratakan, saya kira masih bisa. Tapi apa
pendapatan bisa diratakan?" tanyanya.
Soal beda penglihatan terkadang memang bisa merepotkan. Menurut
Oguro, hampir semua pengusaha Jepang yang sudah menanamkan modal
di sini ingin mengembangkan usaha mereka. Tapi sering juga,
menurut oguro, mereka terhambat oleh ketentuan pemerintah. Dalam
Daftar Skala Prioritas (DSP) yang dikeluarkan oleh BKPM, tak
jarang ada hal-hal yang dirasakan sebagai "menghambat" pemekaran
kapital di Indonesia. "Ada bidang usaha yang menurut anggapan
pengusaha asing belum lagi jenuh, tapi pemerintah melihat
sebaliknya," kata Keiichi Oguro.
Beberapa perusahaan patungan ternyata ada yang sudah tutup.
Perusahaan PMA patungan Jepang PT Liber Daiko yang masih
tercantum dalam laporan Bank Indonesia -- dikabarkan sudah
menutup usahanya sejak 1977. Demikian pula dua usaha patungan
antara kelompok perusahaan Van Swaay dari Negeri Belanda dengan
unit perusahaan Pemda DKI Metrika. PT Van Swaay Indonesia dan PT
Van Swaay Metrika sudah tutup sejak lima tahun lalu.
Tapi yang agaknya menyolok belakangan ini adalah yang menimpa
perusahaan patungan PMA Hongkong PT Sinar Surya Metal Works di
Surabaya. Terkenal dengan produksi lampu petromaks dan hampir
saja diterima oleh Bapepam untuk memasyarakat (go public),
perusahaan patungan modal Hongkong dengan modal Indonesia yang
"membaur" itu, baru-baru ini dikabarkan nyaris bangkrut (lihat
Nyoto Tombeng, ke Mana ?).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini