Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dicari partner bonafide

Djukardi odang direktur utama pt. pantja niaga, masalah partner dagang pma di indonesia. (eb)

14 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEIICHI Oguro, staf dari organisasi perdagangan luar negeri Jepang (JETRO) di Indonesia merasa kaget. Ia mengaku belum diberitahu bahwa BKPM telah menawarkan tak kurang dari 57 pengusaha Indonesia sebagai partner modal asing. Saya baru tahu hari ini, dari anda -- sungguh," kata Keiichi-san kepada TEMPO pekan lalu. Ia merasa agak kecewa, kenapa soal yang penting itu tak disampaikan kepada JETRO. "Kalau BKPM tak keberatan, kami siap untuk mengedarkan daftar itu ke alamat para pengusaha Jepang," katanya. Bisa dipastikan BKPM dengan senang hati akan segera menyampaikan daftar itu ke kantor JETRO di lantai 11 Wisma Nusantara, Jakarta. Adalah Deputi I bidang Promosi dan Perencanaan BKPM, Ir. Anwar Ibrahim yang pada 25 Februari lalu mengungkapkan soal itu, untuk memudahkan investor asing mencari partner Indonesia. "Sulit sekali untuk mencari partner Indonesia yang bonafide," kata Anwar. Apa yang dilontarkan orang penting di BKPM itu cocok yang dirasakan orang JETRO itu. Menurut Oguro, selama ini cara mencari partner dilakukan dengan hubungan sebagai agen lebih dahulu. Dan perusahaan Jepang yang memasarkan produk mereka di sini berhubungan dengan perusahaan dalam negeri yang mau memasarkannya. Dari "kerjasama" sebagai agen itu lambat laun diadakan penjajakan untuk meningkatkan hubungan lebih jauh. "Biasanya problem akan timbul ketika mencari pengusaha pribumi," kata Oguro. Problem? Orang Jepang itu manggut, lalu menghela napas sebentar. Menurut dia, ada sekitar 206 perusahaan Jepang yang terdaftar berusaha di Indonesia. Mereka umumnya mengeluh sulit memperoleh partner yang cocok dan bonafid. Dengan kata lain, seperti juga diakui Anwar Ibrahim, sang partner Indonesia -- "pri" maupun "nonpri" haruslah punya kemampuan untuk menyetor 20% dari modal saham. Maka JETR0, badan promosi perusahaan Jepang yang berstatus semi pemerintah itu, mencoba membuat sendiri lis dari profil pengusaha pribumi yang dianggap bonafide. "Sampai sekarang baru ada sepuluh orang yang memenuhi syarat kami," katanya. "Mereka harus mempunyai semangat wiraswasta, sabar, efisien dan berpandangan maju." Siapa? Ternyata yang masuk daftar JETR0 itu adalah pengusaha "pri" yang memang sudah beken: Soedarpo Sastrosatomo, Ny. Rukmini Zainal Abidin, Probosutejo, A. Baramuli, Sjarnubi Said, Hasjim Ning, Siswono Judo Husodo, Julius Tahija, Ibnu Sutowo dan Pontjo Nugroho Sutowo. Namun beberapa tokoh pengusaha itu tak dikenal punya hubungan dengan swasta Jepang, antara lain seperti Soedarpo, Ny. Rukmini dan Julius Tahija. Ketiga pengusaha itu lebih banyak berpatungan dengan investor dari Eropa dan AS. Di antara 10 pengusaha pribumi yang top itu hanya Siswono, Dir-Ut PT Bangun Cipta Sarana dan Pontjo Sutowo, paling muda. Semiskin itukah elite pengusaha kita? Dir-Ut PT Pantja Niaga dan Ketua Ekonid (Perkumpulan Ekonomi Indonesia-Jerman) Djukardi Odang mengakui, "yang bisa dijadikan partner cuma beberapa persen," katanya. "Akibatnya kalau mencari partner pribumi, ya biasanya yang itu-itu lagi. Hal itu juga tercermin dari hasil penelitian Christianto Wibisono tentang PMA dan PMDN. Di situ dilaporkan bahwa 99 buah (48,06%) dari 206 proyek PMA Jepang berpatungan dengan pengusaha pribumi (lihat box). Tapi Christianto mengakui, penelitian pemilikan saham berdasarkan Tambahan Berita Negara RI itu, tidak dengan sendirinya berarti, Jepang berpatungan dengan 99 pengusaha "pri". Tapi, "sering terjadi seorang pengusaha pribumi muncul di beberapa BTN-RI," kata Chris. Ia mengambil contoh T.M. Gobel, yang sedikitnya muncul di tiga perusahaan sebagai pemegang saham patungan dengan Jepang. Hal yang serupa, menurut Chris, juga terjadi dengan kelompok "nonpri". Di sini satu orang sering memiliki lebih dari satu perusahaan. Semua itu bisa diteliti dari tabulasi komputer yang menyertai laporan penelitian PMA dan PMDN tersebut. Tapi tak semua orang setuju bahwa sukar mencari partner dalam variasi yang besar. Yang tak sependapat misalnya Sjahfiri Alim, Wakil Dir-Ut PT Goodyear Indonesia. "Yang mereka cari itu partner yang bagaimana," ujarnya. "Jika partner yang benar-benar memiliki kemampuan bekerja, saya kira cukup banyak di sini." Orang penting di pabrik ban Goodyear Indonesia itu, dalam usianya yang 52, agaknya lebih banyak bicara berdasarkan pengalaman. Yang ia maksudkan, barangkali adalah sifat perusahaan Jepang yang berbeda dari perusahaan Eropa dan Amerika dalam menyeleksi partner. "Perusahaan AS misalnya lebih menekankan pada soal biaya. Dengan kata lain, tak berapa mempersoalkan siapa yang akan duduk dalam pimpinan. Asal ternyata efisien dan menguntungkan perusahaan, ia boleh jalan terus," katanya. Ia memberi contoh dirinya. "Setelah bekerja selama 15 tahun, saya dipercaya duduk dalam direksi Goodyear," katanya. "Tapi coba tunjukkan pada saya, mana perusahaan Jepang yang bersedia mempercayai pegawainya untuk menjabat pangkat setinggi itu?" Ketinggian pangkat itu akan dipertegas lagi malah: bulan depan Sjafiri Alim bahkan akan diangkat sebagai Direktur Utama PT Goodyear Indonesia. Langkah yang mirip beberapa waktu lalu juga sudah dipraktekkan dalam perusahaan modal Inggris-Belanda PT Unilever Indonesia. Pihak Jepang mengakui mereka memang lambat dalam soal Indonesiaisasi dan alih teknologi. Namun Keiichi Oguro membantah kalau ada yang mengatakan adalah merupakan kebijaksanaan dari perusahaan swasta Jepang untuk tidak melaksanakan kedua ketentuan dari BKPM itu. "Jika kami lambat itu lebih disebabkan kondisi di Indonesia," kata Oguro. Ia lalu menyebutkan masalah tenaga kerja di sini sebagai salah satu hambatan. MENURUT orang JETRO itu, tak banyak sarjana Indonesia yang bersedia bekerja di pabrik, suatu hal yang menurut dia, merupakan suatu keharusan di Jepang. Kesediaan masuk ke pabrik itu, "bukan untuk menjadikan mereka tukang, tapi agar para sarjana itu menguasai betul pekerjaannya. Dengan demikian kelangsungan perusahaan bisa terjamin," katanya. Waktu pengalihan tenaga kerja, menurut Oguro, memang relatif. "Waktu sepuluh tahun yang ditetapkan oleh BKPM bisa saja dilaksanakan. Namun sebaiknya dilakukan secara bertahap jadi tidak dipaksakan." Menurut pengalamannya selama dua tahun di Indonesia, pengalihan modal lebih mudah dilaksanakan daripada pengalihan tenaga pimpinan. Salah satu contoh adalah pengusaha "pri" Suyatim, partner swasta Jepang dalam perusahaan patungan PT Jakarta Kyoei Steel Works di Pulogadung, Jakarta. Punya pengalaman dalam jual-beli besi beton, Suyatim, Dir-Ut PT Bonecom (Bone Commercial Coy) dari Ujungpandang, dalam tahun 1973 mendengar ada swasta Jepang yang lagi mencari partner di bidang besi beton dan wire road (bahan baku untuk membuat paku). Menurut Suyatim, dari seluruh modal saham yang US$ 3,5 juta, mula-mula dia hanya mampu menyetor US$ 100.000, tak sampai 3%. Dalam waktu tiga tahun, andilnya meningkat menjadi 25%. "Ini saya peroleh dengan susah payah, tanpa ada bantuan kredit dari bank," katanya. Belakangan C. Itoh, swasta Jepang yang terkenal itu, ikut bergabung. Dan sekarang, pada 1981, komposisi modal saham menjadi: 37% untuk C. Itoh 32% punya Kyoei Steel, sedang saham Bonecom naik menjadi 31%. "Pada 1985 kami akan mencapai 51%," kata Suyatim pasti. Sampai sekarang yang menjadi direktur utama perusahaan tersebut adalah Arikawa dari C. Itoh. Tapi Suyatim merasa banyak belajar dari partner Jepang, terutama dalam "cara bekerja dan mengatur keuangan," katanya. Barangkali yang membuat ia kerasan berpatungan dengan Jepang adalah pengalamannya tinggal di negara itu selama enam tahun. "Saya kenal betul kebiasaan dan perangai orang Jepang. Pokoknya saya tak bisa mereka permainkan," katanya. Jepang memang tak selamanya ingin main-main di Indonesia. Setelah pengalaman yang buruk di awal tahun 1974 -- terkenal dengan peristiwa 15 Januari (Malari) -- Jepang sekarang menilai Indonesia sebagai daerah penanaman yang paling stabil. Seorang pengusaha Jepang, yang berusaha di Indonesia sejak 1973, setuju dengan sinyalemen Deputi I BPKM Anwar Ibrahim, yang menilai Indonesia jauh lebih stabil bagi PMA dibandingkan dengan Korea Selatan, Iran, Muangthai dan Filipina sekalipun. "Memang iklim penanaman modal asing di Indonesia sangat cocok dengan kami," kata Masaaki Enomoto, 60 tahun, Direktur Mitsubishi Corporation, Jakarta. Dibandingkan dengan pasaran kendaraan Mitsubishi di negara ASEAN lain, Indonesia terbukti memang paling unggul. Itu pula sebabnya, raksasa Jepang itu, seperti diakui Enomoto, sudah mengajukan permintaan kepada BKPM untuk memperluas investasi mereka di bidang permobilan. "Tahun depan Mitsubishi akan mendirikan pabrik komponen dan mesin mobil di Jakarta dan Surabaya," katanya. Jumlahnya US$ 150 juta. "Itu di samping rencana pendirian proyek industri plywood (kayu lapis) dan industri kimia," katanya. Mitsubishi Corporation mulai dengan usaha patungan di Indonesia sepuluh tahun lalu. Dalam waktu pendek perusahaan raksasa itu sudah menyebarkan jalanya ke berbagai usaha perakitan mobil, perkayuan, perikanan, konstruksi penerbangan dan tekstil. "Kami sendiri yang mencari partner dagang," kata Masaaki Enomoto. "Kalau mau berlayar dalam satu kapal, tentunya harus mencari partner yang sepandangan, di samping yang bonafide." Pengusaha Jepang itu bangga, beberapa perusahaan patungan mereka memiliki pembagian saham yang kurang lebih seimbang. "Ada yang 60:40, tapi ada pula yang fifty-fifty," kata Enomoto. Yang disebut terakhir itu adalah proyek patungan industri kayu lapis dengan PT Dwima Jaya. Toh perusahaan swasta Jepang tak selincah perusahaan Eropa dan AS dalam mencari partner pribumi. Seperti ditunjukkan dalam laporan penelitian Christianto, dari 72 perusahaan AS di Indonesia, sebanyak 44 buah merupakan usaha patungan dengan pribumi, dan hanya 12 perusahaan yang memilih partner "nonpri". Sebanyak 12 usaha lagi merupakan penanaman langsung dan hanya empat buah yang patungan dengan partner "membaur". Demikian pula dengan modal Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). Dari 131 perusahaan MEE di Indonesia, sejumlah 71 perusahaan berpatungan dengan "pri", 31 buah berupa investasi langsung dan hanya satu perusahaan yang berpartner "membaur". Pengertian "membaur" di sini adalah modal asing yang berpatungan dengan perusahaan gabungan antara "nonpri" dan 'pri' atau perusahaan milik negara. Usaha patungan yang demikian ternyata masih sangat langka. Jepang, kampiun investasi di Indonesia, berpatungan dengan partner yang "membaur" dalam 12 perusahaan saja. Sedang para investor ASEAN di Indonesia hanya berpatungan dengan satu perusahaan yang "membaur". Karena kesulitan menghimpun modal saham sebanyak 20% bagi partner Indonesia, terutama bagi yang "pri", Anwar Ibrahim menganjurkan agar para calon partner itu untuk bekerjasama dengan lembaga keuangan non-bank, seperti Uppindo (Usaha Pembiayaan Pembangunan Indonesia). Menurut Anwar, lembaga keuangan (LK) itu bisa membantu dengan ikut menyetor sebanyak 15%, sehingga 5% sisanya boleh ditanggung oleh sang calon partner. Tapi dalam praktek soalnya tak semudah itu. PT Uppindo lebih banyak terjun ke dalam proyek-proyek kecil sampai menengah, sesuai dengan yang digariskan Bank Indonesia, pemegang saham terbesar LK tersebut. "Proyek patungan dengan asing biasanya butuh modal besar," kata Lukman Dendawidjaja, 2 tahun, Deputy Managing Director Uppindo. Mereka baru boleh memberi bantuan kepada proyek patungan PMA dengan syarat hasil produksi pabrik itu bisa diserap oleh perusahaan kecil, misalnya, antara lain pabrik tekstil dan pabrik cat di Pulogadung, Jakarta. Juga kedua pabrik yang dibantu Uppindo itu dianggap menyerap cukup banyak tenaga kerja. Barangkali itu pula sebabnya, LK yang didirikan sejak 1972 itu baru membantu delapan proyek patungan dengan modal asing. "Jadi rata-rata satu pabrik dalam setahun," kata Lukman kepada TEMPO pekan lalu. Bantuan paling besar dinikmati PT Tubantia Kudus Spinning Mills bermodal kombinasi Jerman Barat, Belanda dan Inggris -- semuanya Rp 1,8 milyar. Sebanyak Rp 1 milyar berbentuk saham, sisanya kredit. Bantuan paling kecil, berjumlah Rp 120 juta, disalurkan untuk sebuah pembangunan hotel di Bali. Menurut Lukman, dalam setahun rata-rata masuk lima sampai enam permohonan untuk minta bantuan mewujudkan proyek patungan dengan asing. Tapi banyak yang terpaksa ditolak, karena tak memenuhi persyaratan. Uppindo hanya membantu dalam bentuk saham sebesar 25% dari modal saham, dan kredit maksimal Rp 700 juta untuk tahap permulaan pendirian suatu proyek. Tapi yang juga penting, "orang yang meminta bantuan sedikitnya harus sudah punya pengalaman memimpin suatu usaha," kata pimpinan Uppindo itu. Tapi ada kalanya kelemahan juga datang dari partner asing. Beberapa proyek terpaksa ditolak oleh Uppindo, karena si calon partner asing dipandang kurang beres. "Mereka itu broker yang bertujuan mengejar komisi," katanya. "Tapi untung kami belum pernah kebobolan." Dari kedelapan proyek yang mereka bantu, Uppindo sudah menanamkan modalnya -- dalam bentuk saham dan kredit -- sebesar Rp 7 milyar. Uppindo memang bukan tergolong LK paling besar yang bergerak di Indonesia. Tapi seperti diterangkan Dir-Ut Uppindo, Moerdyono Sumadyono kepada TEMPO Senin malam kemarin, hanya tiga kali oleh BI diizinkan untuk membantu dalam modal saham: Uppindo, PT PDFCI (Private Development Finance Company Indonesia) dan PT Bahana. Sedang LK yang lain, sebanyak 12 buah, hanya bergerak di bidang kredit komersial. KEHARUSAN untuk berpatungan minimal 20% dari modal saham PMA itu oleh sementara -- pengusaha asing dilihat sebagai hambatan. Selain tak mudah dipenuhi oleh banyak swasta Indonesia, dalam praktek mereka juga sulit untuk meraih 51% dari jumlah saham setelah berpatungan selama 10 tahun. Keharusan untuk menguasai mayoritas saham itu memang sudah masuk dalam ketentuan BKPM. Sekalipun terbuka kemungkinan untuk mencari balabantuan dari lembaga keuangan, kemampuan lembaga itu sendiri ternyata juga terbatas. Sehingga dalam praktek, seperti diakui seorang pengusaha tekstil yang berpatungan dengan modal Hongkong, ketentuan tersebut tidak berjalan mulus. Sedang anjuran agar beberapa perusahaan Indonesia bergabung, alias merger, dalam praktek paling sulit dilaksanakan. Itu memang diakui oleh seorang pejabat BKPM. Ketentuan-ketentuan yang bermaksud "mengendalikan" PMA itu mestinya sudah harus berjalan sejak akhir tahun 1974. "Tapi dalam praktek baru mulai digalakkan tiga tahun lalu," kata pejabat BKPM itu. Mengapa arus masuknya PMA sampai perlu dibatas-batasi? Sebuah jawaban, dari dalam BKPM, berbunyi "Ya, agar mereka tak hanya mengeruk keuntungan di sini." Modal asing, seperti kata Keiichi Oguro, agak merasa serba salah juga bila mendengar ungkapan segalak itu. Berbicara soal pemerataan modal, orang JETRO itu ragu bisa dilaksanakan. "Jika distribusi yang ingin diratakan, saya kira masih bisa. Tapi apa pendapatan bisa diratakan?" tanyanya. Soal beda penglihatan terkadang memang bisa merepotkan. Menurut Oguro, hampir semua pengusaha Jepang yang sudah menanamkan modal di sini ingin mengembangkan usaha mereka. Tapi sering juga, menurut oguro, mereka terhambat oleh ketentuan pemerintah. Dalam Daftar Skala Prioritas (DSP) yang dikeluarkan oleh BKPM, tak jarang ada hal-hal yang dirasakan sebagai "menghambat" pemekaran kapital di Indonesia. "Ada bidang usaha yang menurut anggapan pengusaha asing belum lagi jenuh, tapi pemerintah melihat sebaliknya," kata Keiichi Oguro. Beberapa perusahaan patungan ternyata ada yang sudah tutup. Perusahaan PMA patungan Jepang PT Liber Daiko yang masih tercantum dalam laporan Bank Indonesia -- dikabarkan sudah menutup usahanya sejak 1977. Demikian pula dua usaha patungan antara kelompok perusahaan Van Swaay dari Negeri Belanda dengan unit perusahaan Pemda DKI Metrika. PT Van Swaay Indonesia dan PT Van Swaay Metrika sudah tutup sejak lima tahun lalu. Tapi yang agaknya menyolok belakangan ini adalah yang menimpa perusahaan patungan PMA Hongkong PT Sinar Surya Metal Works di Surabaya. Terkenal dengan produksi lampu petromaks dan hampir saja diterima oleh Bapepam untuk memasyarakat (go public), perusahaan patungan modal Hongkong dengan modal Indonesia yang "membaur" itu, baru-baru ini dikabarkan nyaris bangkrut (lihat Nyoto Tombeng, ke Mana ?).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus