MALAYSIA tampaknya harus sabar menjual gagasannya. Kepada
Indonesia, produsen timah terbesar di dunia itu pekan lalu
menawarkan keinginannya membentuk asosiasi untuk memperbaiki
mekanisme pemasaran komoditi tersebut. "Pembentukan asosiasi itu
penting bagi kami," kata Wakil PM Malaysia Datuk Musa Hitam.
Pernyataan terbuka tersebut dikemukakan orang Nomor 2 Malaysia
itu di Hotel Indonesia Kamis pekan lalu sesudah berbicara dengan
Presiden Soeharto selama hampir dua jam. Mengenakan setelan jas
abu-abu, Wakil PM Malaysia yang kelihatan santai itu dengan
tenang membentangkan semua hasil pembicaraannya. Menurut dia,
pembentukan asosiasi otomatis akan ditunda jika soal kenaikan
harga timah yang dituntut pr dusen -- sebesar 15% --bisa
disepakati konsumen.
Tapi negara konsumenyangdimotori AS, penyerap timah terbesar di
dunia, menolak kenaikan sebesar itu. Mereka hanya mau menerima
kenaikan 6,9% dari harga rata-rata Rp 9,9 juta per ton seperti
yang ditetapkan Dewan Timah Internasional (ITC) Oktober lalu.
Sampai menjelang batas akhir 30 April mendatang, belum tampak
tanda-tanda AS, yang mempunyai suara terbesar di ITC, akan
menandatangani Perjanjian Timah Internasional VI (ITA VI) yang
menerima kenaikan harga 15%.
Benarkah Indonesia dan Malaysia :lkan membentuk kartel?
"Indonesia tidak pernah menyetujui pembentukan kartel," kata
Menteri Pertambangan dan Energi Prof. Soebroto di DPR.
Pernyataan serupa juga dikemukakan Datuk Musa Hitam. "Tidak ada
niat kami mendiktekan harga timah dengan, membentuk kartel,"
katanya. "Kami tidak ingin konflik dengan konsumen, sebaliknya
kami malah membuka suatu negosiasi."
Namun dalam situasi mengambang seperti itulah, produsen timah
mendapat pukulan hebat dari London Metal Exchange (LME) dan
General Service Administration (CSA) AS. Di LME itu harga timah
pada awal tahun lalu pernah jatuh sampai f6083 (Rp 7,5 juta) per
ton dari tingkat harga tertinggi f 8450 (Rp 10,3 juta) pada
1980. Harga timah di bursa utama itu terancam anjlok terus
manakala GSA memperingatkan akan melepas cadangan timahnya
sebesar 30 ribu ton dalam jangka tiga tahun. Tapi sejak 1979,
GSA ternyata baru menjual 9 ribu ton dari cadangannya yang
berjumlah 200 ribu ton.
Perkembangan tersebut, tentu saja, merisaukan Malaysia yang
banyak memasarkan timahnya lewat LME. "Jatuhnya harga timah itu
jelas membahayakan kelanjutan industri timah kami," kata Menteri
Perindustrian Primer Malaysia Datuk Paul Leong. Dengan produksi
tahun lalu 68 ribu ton, timah yang menyetorkan US$ 990,1 juta
(Rp 647 milyar) merupakan penghasil devisa kelima buat Malaysia.
Didukung Kuwait
Kendati bukan merupakan komoditi terpenting -- tahun depan
Kuala Lumpur sudah akan mulai mengekspor gas alam cair -- PM
Mahathir Mohamad merasa perlu mencegah kejatuhan harga timah
lebih parah. Mungkin dimulai tahun depan, setiap tahun Malaysia
akan menurunkan produksinya sebesar 15 ribu ton (22% dari total
produksinya) Mahathir juga menawarkan untuk membina dan
mendorong suatu mekanisme pemasaran yang lebih berorientasi pada
penjualan langsung kepada konsumen-bukan lewat LME misalnya.
Untuk ini, dia menawarkan pembentukan asosiasi prdusen.
Indonesia rupanya tak tertarik diajak serta mengurangi produksi
timahnya berbeda dengan Malaysia, "Indonesia hnya produsen
kecil, dan timah merupakan penghasil devisa yang penting kata
Menteri Pertambangan dan Energi Prof. Soebroto. Dia menyatakan
itu sesudah berunding dengan Paul Leong yang menyertai Musa
Hitam. "Kami harap Malaysia mau memahami posisi kami," kata
Soebroto.
Soebroto benar. Segera sesudah harga minyak tak naik--harga
patokan OPEC US $ 34/barrel -- pemerintah kini berusaha
menggalakkan ekspor komoditi non-minyak. Tahun ini Jakarta
merencanakan ekspor 34,5 ribu ton timah bernilai US$ 500 juta
(Rp 326,5 milyar) naik dari ekspor tahun lalu yang berjumlah
31,8 ribu ton bernilai US$ 437,3 ribu (Rp 285,5 milyar).
Timah Indonesia itu sebagian besar langsung dijual kepada
konsumen (AS), dan hanya sebagian kecil dijual lewat bursa timah
di Penang. Jadi bisa dime ngerti jika Indonesia yang tak ingin
mendapat kesulitan dengan AS agak kurang hangat menanggapi
pembentukan asosiasi--apalagi kartel.
Malaysia rupanya tetap berkeinginan menyehatkan harganya yang
cenderung jatuh. Negeri itulah yang diduga keras dengan dukungan
uang Kuwait dan Bahrain, telah memborong timah lewat LME. Sejak
Juli tahun lalu, timah yang disedot pembeli "misterius" itu
diperkirakan berjumlah 50 ribu ton dengan nilai œ8.500 (Rp 10,4
juta) per ton. Dan di luar dugaan, tindakan pembeli itu
menyebabkan harga timah meroket sampai œ9.000 (Rp 11 juta) per
ton pekan lalu.
Benarkah pembeli itu Kuala Lumpur? PM Mahathir, dalam suatu
konperensi pers baru-baru ini, mengelak. "Mengapa saya yang
harus menjawabnya," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini