Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Diplomasi timah di jakarta

Harga timah cenderung turun, malaysia menawarkan asosiasi yang diharapkan bisa menyehatkan pasar, hal tersebut dikemukakan oleh wakil pm datuk musa hitam dalam kunjungannya di indonesia. (eb)

27 Februari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MALAYSIA tampaknya harus sabar menjual gagasannya. Kepada Indonesia, produsen timah terbesar di dunia itu pekan lalu menawarkan keinginannya membentuk asosiasi untuk memperbaiki mekanisme pemasaran komoditi tersebut. "Pembentukan asosiasi itu penting bagi kami," kata Wakil PM Malaysia Datuk Musa Hitam. Pernyataan terbuka tersebut dikemukakan orang Nomor 2 Malaysia itu di Hotel Indonesia Kamis pekan lalu sesudah berbicara dengan Presiden Soeharto selama hampir dua jam. Mengenakan setelan jas abu-abu, Wakil PM Malaysia yang kelihatan santai itu dengan tenang membentangkan semua hasil pembicaraannya. Menurut dia, pembentukan asosiasi otomatis akan ditunda jika soal kenaikan harga timah yang dituntut pr dusen -- sebesar 15% --bisa disepakati konsumen. Tapi negara konsumenyangdimotori AS, penyerap timah terbesar di dunia, menolak kenaikan sebesar itu. Mereka hanya mau menerima kenaikan 6,9% dari harga rata-rata Rp 9,9 juta per ton seperti yang ditetapkan Dewan Timah Internasional (ITC) Oktober lalu. Sampai menjelang batas akhir 30 April mendatang, belum tampak tanda-tanda AS, yang mempunyai suara terbesar di ITC, akan menandatangani Perjanjian Timah Internasional VI (ITA VI) yang menerima kenaikan harga 15%. Benarkah Indonesia dan Malaysia :lkan membentuk kartel? "Indonesia tidak pernah menyetujui pembentukan kartel," kata Menteri Pertambangan dan Energi Prof. Soebroto di DPR. Pernyataan serupa juga dikemukakan Datuk Musa Hitam. "Tidak ada niat kami mendiktekan harga timah dengan, membentuk kartel," katanya. "Kami tidak ingin konflik dengan konsumen, sebaliknya kami malah membuka suatu negosiasi." Namun dalam situasi mengambang seperti itulah, produsen timah mendapat pukulan hebat dari London Metal Exchange (LME) dan General Service Administration (CSA) AS. Di LME itu harga timah pada awal tahun lalu pernah jatuh sampai f6083 (Rp 7,5 juta) per ton dari tingkat harga tertinggi f 8450 (Rp 10,3 juta) pada 1980. Harga timah di bursa utama itu terancam anjlok terus manakala GSA memperingatkan akan melepas cadangan timahnya sebesar 30 ribu ton dalam jangka tiga tahun. Tapi sejak 1979, GSA ternyata baru menjual 9 ribu ton dari cadangannya yang berjumlah 200 ribu ton. Perkembangan tersebut, tentu saja, merisaukan Malaysia yang banyak memasarkan timahnya lewat LME. "Jatuhnya harga timah itu jelas membahayakan kelanjutan industri timah kami," kata Menteri Perindustrian Primer Malaysia Datuk Paul Leong. Dengan produksi tahun lalu 68 ribu ton, timah yang menyetorkan US$ 990,1 juta (Rp 647 milyar) merupakan penghasil devisa kelima buat Malaysia. Didukung Kuwait Kendati bukan merupakan komoditi terpenting -- tahun depan Kuala Lumpur sudah akan mulai mengekspor gas alam cair -- PM Mahathir Mohamad merasa perlu mencegah kejatuhan harga timah lebih parah. Mungkin dimulai tahun depan, setiap tahun Malaysia akan menurunkan produksinya sebesar 15 ribu ton (22% dari total produksinya) Mahathir juga menawarkan untuk membina dan mendorong suatu mekanisme pemasaran yang lebih berorientasi pada penjualan langsung kepada konsumen-bukan lewat LME misalnya. Untuk ini, dia menawarkan pembentukan asosiasi prdusen. Indonesia rupanya tak tertarik diajak serta mengurangi produksi timahnya berbeda dengan Malaysia, "Indonesia hnya produsen kecil, dan timah merupakan penghasil devisa yang penting kata Menteri Pertambangan dan Energi Prof. Soebroto. Dia menyatakan itu sesudah berunding dengan Paul Leong yang menyertai Musa Hitam. "Kami harap Malaysia mau memahami posisi kami," kata Soebroto. Soebroto benar. Segera sesudah harga minyak tak naik--harga patokan OPEC US $ 34/barrel -- pemerintah kini berusaha menggalakkan ekspor komoditi non-minyak. Tahun ini Jakarta merencanakan ekspor 34,5 ribu ton timah bernilai US$ 500 juta (Rp 326,5 milyar) naik dari ekspor tahun lalu yang berjumlah 31,8 ribu ton bernilai US$ 437,3 ribu (Rp 285,5 milyar). Timah Indonesia itu sebagian besar langsung dijual kepada konsumen (AS), dan hanya sebagian kecil dijual lewat bursa timah di Penang. Jadi bisa dime ngerti jika Indonesia yang tak ingin mendapat kesulitan dengan AS agak kurang hangat menanggapi pembentukan asosiasi--apalagi kartel. Malaysia rupanya tetap berkeinginan menyehatkan harganya yang cenderung jatuh. Negeri itulah yang diduga keras dengan dukungan uang Kuwait dan Bahrain, telah memborong timah lewat LME. Sejak Juli tahun lalu, timah yang disedot pembeli "misterius" itu diperkirakan berjumlah 50 ribu ton dengan nilai œ8.500 (Rp 10,4 juta) per ton. Dan di luar dugaan, tindakan pembeli itu menyebabkan harga timah meroket sampai œ9.000 (Rp 11 juta) per ton pekan lalu. Benarkah pembeli itu Kuala Lumpur? PM Mahathir, dalam suatu konperensi pers baru-baru ini, mengelak. "Mengapa saya yang harus menjawabnya," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus