BENAR juga: akhirnya direksi PT Sepatu Bata memutuskan
perusahaan tersebut go public. Mulai pekan ini dilemparnya 1,2
juta saham biasa atas riama atau 15% dari modal yang
disetor--nominal Rp 1.000 setiap saham--yang dijual lewat Pasar
Modal dengan penawaran Rp 1.275 setiap saham.
Dengan cara itulah, PT Sepatu Bata, anggota Bata Shoe
Organization (Tomas Bata pertama kali mendirikan pabrik sepatu
itu tahun 1894 di Zlin, Cekoslowakia), berusaha menghimpun dana
dari masyarakat yang akan dipakainya untuk memperbarui fasilitas
pabriknya di Kalibata (Jakarta) dan Medan, serta merencanakan
mendirikan pabrik ketiga di Surabaya. Untuk kepentingan
perluasan usaha, perusahaan ini Oktober lalu meminjam US$ 6 juta
(Rp 3.750 juta) dari Morgan Guaranty Trust Company, New York --
suatu lembaga keuangan yang memimpin konsorsium berbagai bank.
PT Sepatu Bata semula bernama NV Nederlandsch-Indiche
Schoenhandel Maatschappij Bata, memulai bisnisnya di Indonesia
pada 1931 dari sebuah gudang di Tanjungpriuk. Ketika itu dia
hanya sebagai penyalur sepatu impor. Usaha membuat sepatu
sendiri baru dilakukannya delapan tahun kemudian dengan
mendirikan pabrik di Kalibata, Jakarta. Sesudah melewati pasang
surut, perusahaan ini memperluas usaha dengan mendirikan pabrik
kedua (1961) di Medan.
Kini perusahaan yang mempekerjakan 1.600 karyawan itu, setiap
tahunnya memproduksi enam juta pasang sepatu yang terdiri dari
476 model. Dalam lima tahun mendatang, Bata merencanakan
memproduksi 10 juta pasang sepatu setahun. "Hasil penjualan kami
dari tahun ke tahun meningkat," kata Hans B. Sumampouw, Direktur
Personalia dan Hubungan Industri. Pada 1978 penjualan bersihnya
baru Rp 7 milyar, dua tahun kemudian mencapai Rp 18,1 miiyar
dengan laba sebelum pajak Rp 3 milyar.
Yang mengesankan, sejak 1963 Bata mengajak serta perusahaan
kecil sepatu -- sebagai subkontraktor--dalam proses produksi.
Dengan sistem kontrak "mereka tak usah pusing memikirkan
pemasarannya," ujar F.J. Ayal, Manajer Komersial Bata.
Sebagai bapak angkat, Bata membina 19 perusahaan kecil sepatu di
Jakarta, Tangerang, Bogor, dan Jakarta. Selain diajar
ketrampilan teknis -- seperti menggunting kulit yang hemat
untuk mendapatkan sepatu sebanyak mungkin --mereka juga diberi
pembinaan manajemen.
Karena bekerja menurut pesanan, Bata terikat menyediakan bahan
dan disain. Tapi disainnya sering dianggap ketinggalan zaman. Di
berbagai kota besar Indonesia kini, disain yang ditampilkan
Adidas, Kickers, Puma, maupun Bally-sekalipun harganya
mahal--banyak menarik kalangan menengah ke atas. "Kami tidak
takut bersaing. Kami hanya membuat sepatu dengan mutu kuat yang
bisa dijangkau seluruh lapisan masyarakat," kata Sumampouw.
Haji Razali, pengusaha kecil sepatuyang mempekerjakan 25
karyawan, terikat kontrak dengan Bata sejak 1974. Setiap minggu
dia menghasilkan 2000 pasang jenis itu. Menjelang lebaran lalu
pesanan mencapai 100 ribu pasang. Dia mengaku banyak mendapat
pengetahuan dari Bata. "Sekarang kami sudah tahu cara mengelem
yang baik," katanya. Karyawannya pun kini sudah bekerja dengan
sistem unit -- antara tukang lem dan jahit masing-masing punya
tanggungjawab. Sepasang sepatu bikinan Razali yang pabriknya
terletak di Ciomas, Bogor, kemudian dibeli Bata dengan harga
antara Rp 1.900 - Rp 5.000.
Lukman Kusnadi, pengusaha kecil sepatu lainnya, terikat kontrak
Bata sejak 1971. Dia pernah menolak kerja sama itu ketika
pasaran sepatu tahun 60-an sedang ramai. Ketika pasar jenuh, dia
akhirnya menerima kerjasama itu. Mempekerjakan 25 karyawan,
Lukman setiap minggu menghasilkan 2.000 pasang sepatu perempuan.
"Bata kejam dalam soal kualitet. Pertama kali mengerjakan
pesanan Bata, sepatu saya banyak diklaim karena mutunya kurang
baik," katanya. "Tapi pembayarannya cepat."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini