SI jabang bayi Tetuko, sesudah menjalani uji terbang 500 jam dan memperoleh sertifikat, rupanya, punya hoki bagus. Induknya, Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), yang membuat pesawat CN-235 itu, sekarang sudah mengantungi pesanan pasti untuk membuatnya sebanyak 15. Pembelinya: Merpati Nusantara Airlines (MNA). Transaksi jual beli Rp 150 milyar itu, pekan lalu, ditandatangani kedua pihak. Menurut Soeratman, Presiden Direktur MNA, harga setiap pesawat, yang jatuhnya Rp 10 milyar itu, sudah termasuk pelayanan purnajual, penyediaan suku cadang, dan jaminan selama enam bulan (1.000 jam terbang). Harga pesawatnya sendiri sekitar Rp 6 milyar. "Kalau dari 35 sampai 40 kursinya terisi antara 70% dan 80%, investasi itu akan kembali dalam jangka sekitar 12 tahun," katanya. Pilihan jatuh ke CN-235 karena pesawat serba guna, yang mempunyai ramp door seperti Hercules, itu gampang diubah untuk pelbagai keperluan. Misalnya dari pesawat penumpang jadi pesawat angkut barang. Bagi penerbangan di Irian Jaya dan pedalaman lain kondisi itu sangat menguntungkan. CN235 juga dianggap unggul karena hanya membutuhkan landasan antara 900 m dan 1.000 m. "Sedang pesawat MNA yang lain, seperti Fokker F-27 dan Hawker Siddeley HS 748, butuh landasan 1.300 m - 1.500 m," tambah Soeratman. Bukan hanya karena sejumlah kelebihan itu saja maka pilihan jatuh ke CN-235. Soal posisi MNA sebagai badan usaha milik negara (BUMN) jelas juga turut menentukan. Tentu terasa tidak lucu kalau pemerintah, yang punya uang (yang akan menyerahkan pengelolaan pesawat itu sebagai penyertaan modal pemerintah), misalnya, membeli pesawat Fokker atau Embraer. Kebijaksanaan untuk melindungi IPTN, yang juga BUMN itu, memang sudah dilakukan sejak awal ketika MNA membeli 21 CN-212 Aviocar dari IPTN. Jadi, bukan kebetulan kalau ABRI, yang diwakili Pangab Jenderal L.B. Moerdani, kemudian juga membeli enam CN-235 untuk kepentingan patroli maritim (sebagai pesawat antikapal selam). Tidak jelas berapa besar transaksinya. Yang sudah pasti gembira dengan mengalirnya kontrak itu, selain IPTN, juga pemasok mesin turboprop: General Electric dari AS. Harga sebuah mesin GE tipe CT7-7 ini, Januari tahun lalu, sekitar US$ 380 ribu sebuah. Sekarang sudah naik. Menurut Harsono D. Pusponegoro, Direktur Teknologi IPTN, harga sepasang mesin meliputi 30% dari harga CN-235. Dibandingkan dengan mesin serupa bikinan Pratt Whitney maupun Garret, GE CT7-7 itu dianggap punya kemampuan lebih baik. "Hingga memungkinkan dipasang di CN-235 yang direncanakan akan diperbesar," kata Harsono. Apalagi, "Pihak GE sudah menjanjikan akan mengembangkan kemampuan mesin itu." GE dipilih, karena perusahaan ini juga sanggup membantu membangun Pusat Pemeliharaan dan Perawatan Mesin (UMC) IPTN, sekaligus melatih tenaga-tenaga muda dari Bandung di Arkansas. Kelak fasilitas jasa pelayanan yang dibangun dengan biaya US$ 40 juta itu juga diharapkan akan menghasilkan sejumlah suku cadang. Kata pihak GE sendiri, sementara itu, mesin tadi bentuknya sederhana, dan terdiri dari empat modul. "Hingga, kalau terjadi sesuatu dengan mesin, tidak usah seluruh modul diturunkan," kata Jim Morrison dari GE. Cara jualan GE itu, belakangan, dicontoh juga Rolls-Royce (RR) dari Inggris, yang pekan lalu menandatangani perjanjian bantuan teknik pemeliharaan dan perbaikan mesin turboprop jenis Dart bikinannya. Memang perjanjian itu belum sampai menyebabkan IPTN kelak akan memilih juga mesin RR untuk jenis pesarat lainnya yang bakal dikembangkan. Tapi dengan memberi bantuan itu, yang memungkinkan UMC kelak bisa memperbaiki dan memelihara 200 mesin Dart yang digunakan pelbagai pesawat di sini, RR jelas berharap IPTN akan teringat budi baik yang diberikannya itu. Begitu juga kira-kira jalan pikiran Pratt & Whitney dan Avco Lycoming Textron, dua pembuat mesin pesawat terbang dari Amerika, yang menaruh kepercayaan serupa kepada UMC. Mengalirnya bantuan dan kepercayaan dari pembuat mesin pesawat itu, agaknya, merupakan petunjuk akan pasar masa depan bagi produk IPTN yang dianggap cukup lumayan. Bahkan Boeing, sesudah melihat fasilitas teknologi dan kapasitas IPTN, dikabarkan mengundang BUMN ini turut membuat sejumlah komponen bagi pesawat komersialnya. Ada alasan cukup kuat, memang, mengapa perusahaan besar pembuat pesawat dan mesin mulai mendekati IPTN. Kalau proteksi yang diberikan pemerintah cukup kuat, kelak, bukan tak mungkin seluruh armada MNA yang 56 buah itu akan digantikan produk IPTN. Juga Atra 90, yang direncanakan bersama IPTN-MBB-Boeing, bisa-bisa nantinya menggantikan Fokker-28 Garuda. Semua rencana itu jelas baru berjalan mulus kalau dana pemerintah tersedia. Orang boleh saja tidak setuju dengan terobosan yang bakal dilakukan IPTN yang menguras cukup banyak uang minyak -- sementara proyek yang ditangani pemerintah tidak kecil. Tapi sebagai bos IPTN, Menteri Ristek B.J. Habibie juga punya jawaban: Kalau satu pesawat CN-235 bisa dijual ke luar negeri, hitung saja devisa yang bisa diperoleh. Bisa tidaknya IPTN menerobos tentu harus ditunggu, mengingat industri itu baru berumur 10 tahun dan baru memupuk kebanggaan. EH, Laporan Ahmed S. dan Rudy N. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini