Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pakem, riwayatmu kini

Paket 6 mei (pakem) sebagai pengganti sertifikat ekspor dianggap rumit oleh pengusaha. terutama lpk (laporan kebenaran pemeriksaan) yang terlalu banyak jenisnya. pengembalian bea masuk pun jadi kecil. (eb)

5 Juli 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RIWAYAT Sertifikat Ekspor (SE) akhirnya ditutup. Perjalanan singkat fasilitas empuk, yang memungkinkan eksportir memperoleh pengembalian bea masuk plus unsur subsidi itu, disudahi 30 Juni lalu -- setelah diperpanjang tiga bulan Sekalipun umurnya hanya mencapai sekitar tujuh tahun, SE, yang lazimnya diberikan satu paket bersama kredit ekspor itu, harus diakui telah mengangkat posisi banyak eksportir. Lebih dari Rp 600 milyar uang pemerintah telah digunakan untuk membantu mendorong ekspor nonmigas -- kendati tidak sedikit dari jumlah uang itu yang diselewengkan pengusaha. Bagi eksportir yang selama ini dengan jujur berusaha memanfaatkan fasilitas itu, berakhirnya pemberian rangsangan itu jelas bukan merupakan kabar gembira. Karena kebijaksanaan Paket 6 Mei (Pakem) sebagai penggantinya, tidak lagi memungkinkan mereka memperoleh uang ekstra. Singkatnya, jumlah pengembalian bea masuk yang bakal diperoleh eksportir akan lebih kecil dari uang SE yang sebelumnya pernah mereka terima. Wajar kalau pengusaha ban macam Sjahfiri Alim, Direktur Utama Goodyear, berkali-kali menyatakan kemasygulannya di pelbagai forum. Dengan Pakem, perusahaan ban dari AS ini paling banter hanya akan mendapat pengembalian bea masuk Rp 71, sedang dengan SE Rp 302 untuk setiap kg ban yang bisa diekspornya. SE yang dahulu bisa menolong daya saing, "Belum bisa digantikan oleh pengembalian bea masuk plus kemudahan mendapatkan bahan baku impor," katanya. Bukan hanya pada soal itu para pengusaha mengeluh. Ketika pekan lalu Kadin menyelenggarakan diskusi mengenai Pakem itu, Ketua Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (Ginsi), Zachri Achmad, menyebut banyaknya Laporan Kebenaran Pemeriksaan (LKP) untuk melindungi bahan baku yang masuk kawasan berikat (bonded zone). Padahal, dengan Inpres No. 4 tahun 1985, hanya dengan satu LKP, importir bisa mengeluarkan barang tanpa disentuh Bea Cukai. "Yang kami khawatirkan banyaknya LKP itu malah bakal menimbulkan ekses," katanya. Mungkin demi menghindarkan terjadinya penyalahgunaan kelonggaran, agar bahan baku atau bahan setengah jadi yang dimasukkan dari luar negeri tanpa bea masuk itu tidak bocor ke dalam negeri, pemerintah merasa perlu membuat beberapa jenis LKP. Untuk barang impor yang dimasukkan ke kawasan berikat, misalnya, harus dilindungi dengan LKP Impor Tujuan Bonded (LKPITB). Lalu untuk barang dari daerah pabean Indonesia lainnya yang tidak diolah lebih lanjut di kawasan berikat digunakan LKP Khusus Bonded (LKPKB). Sedang untuk barang yang diolah digunakan LKP Impor dari Bonded (LKPIDB). Pemindahan barang dari kawasan bonded ke kawasan bonded lainnya juga perlu menggunakan LKP Impor Antar-Bonded (LKPIAB). Begitu banyaknya jenis LKP yang diperlukan untuk mencegah penyelewengan, menyebabkan Ketua GINSI Zahri Achmad menilai usaha menyederhanakan peraturan di satu bidang, "Ternyata malah menimbulkan ketidaksederhanaan di bidang lain." Sementara itu, di negara lain yang juga punya bonded, "Pengaturannya tidak serumit kita," tambahnya. Memang belum terdengar ada pengusaha memanfaatkan Pakem dengan minta pengembalian atau pembebasan bea masuk. Sementara kebijaksanaan baru itu belum dijalani, tokoh pengusaha seperti Bankir Mochtar Riyadi, rupanya, cukup pusing memahami banyaknya peraturan yang mendukung Pakem itu. Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Keputusan Menteri yang menjadi induk Pakem itu 19 buah. Kalau dihimpun seluruhnya jadi 257 halaman. Lalu seperangkat peraturan, yang berhubungan dengan Pusat Pengelolaan Pembebasan dan Pengembalian Bea Masuk (P4BM) Departemen Keuangan, jumlah bukunya ada empat, dengan tebal tak kurang dari 150 halaman. Ketelitian dan kecermatan membaca perangkat ketentuan itu diperlukan benar, mengingat di situ dilampirkan pula contoh-contoh formulir, misalnya untuk permohonan pembebasan dan pengembalian bea masuk. Semua prosedur dan kewajiban yang harus dipenuhi produsen eksportir dipaparkan secara rinci di situ. Dari hasil isian itu, menurut Dr. Hamonangan Hutabarat, Kepala P4BM, instansinya akan mengikuti secara cermat proses produksi barang ekspor tertentu, berapa kandungan impornya, sampai kepada persediaannya. Bukti-bukti pemakaian bahan impor juga akan diminta. Karena itu, "P4BM juga punya hak untuk memeriksa pembukuan pemohon dan jumlah persediaan barang di gudang bersangkutan," katanya. Kerja sama yang baik dengan pihak SGS selaku surveyor, yang mengklasifikasikan suatu bahan baku atau komoonen untuk menentukan besarnya tarif, jelas sangat diperlukan. Beberapa kali memang karena keliru menggolongkan jenis barang, hingga tarif yang digunakan juga ikut keliru, surveyor ini kena tegur. Kesalahan mengenakan tarif itu tentu akan menyebabkan dua kemungkinan bagi negara: mengembalikan/membebaskan bea masuk terlalu banyak atau terlalu sedikit kepada produsen eksportir. Pengusaha semacam Tanu Margono, Direktur Systex Setia Garment, yang kelihatan sudah cukup membaca peraturan pengembalian atau pembebasan bea masuk itu, menganggap ketentuan administrasinya sangat ketat. Hingga memungkinkan pihak P4BM mengetahui pemakaian bahan baku sampai sekecil-kecilnya. Jadi, "Mereka akan tahu betul berapa sisanya, dan berapa yang digunakan," katanya. "Perusahaan nakal yang ingin memanfaatkan lubangnya sangatlah sulit." Tentu tidak berarti makin banyak ketentuan pendukung, usaha menyalahgunakan bisa dihilangkan. Seberapa ampuh banyaknya peraturan itu menjadi pagar, tentu masih harus dilihat. Bagi Tanri Abeng, Presiden Direktur Multi Bintang, apa yang kemudian dilakukan pemerintah dengan Pakem juga sudah dilakukan banyak negara lain sebelumnya. Juga perangkat instansinya seperti P4BM. Yang penting, "jangan sampai lembaga itu malah hanya berfungsi sebagai pemindahan birokrasi," katanya. Artinya, memindahkan kesulitan dari satu tempat ke tempat lain. Eddy Herwanto, Laporan Suhardjo, Budi Kusumah (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus