LELANG tembakau Jawa yang akan berlangsung di Bremen, Jerman Barat, pekan depan, tengah dinantikan para peserta dengan waswas. Jumlah lelang yang dianggap ideal untuk pasar tradisional itu, dewasa ini, paling banyak 25.000 bal (@ 1 kuintal) saja. Sedang lelang yang akan berlangsung 9-10 Juli itu akan melibatkan hampir 33.000 bal, sehingga kemungkinan harga jatuh lebih besar daripada mengharapkan orang lebih banyak mengisap cerutu tahun ini. Jumlah yang merobek batas ideal itu terjadi akibat kekacauan jadwal. Adalah kapal Ocean Prima yang dituding sebagai biang kekacauan. Mereka seperti hendak melupakan sumpah serapah para petani, yang tahun lalu tembakaunya diabaikan, gara-gara musim bertingkah merusakkan mutu inilah balasan Tuhan 'kan ? Ocean Prima, yang berstatus kapal carteran PT (pelayaran) Samudera Indonesia itu seharusnya tiba di Bremen 25 Mei, tepat sebulan sebelum lelang tembakau Jawa I yang dijadwalkan 25-26 Juni lalu. Muatannya, sebanyak 12.000 bal tembakau, sedianya dilelang bersama sekitar 12.500 bal lagi yang dibongkar dari kapal HS Panjang milik PT Trikora Lloyd. HS Panjang bisa tiba di Bremen sesuai dengan jadwal, 20 Mei, tapi Ocean Prima tiba terlambat dua minggu dari jadwal. Akibatnya, jadwal lelang 25-26 Juni lalu batal, dan digeser ke 9-10 Juli. Tapi lelang yang akan dilaksanakan pekan depan itu sebenarnya jadwal untuk lelang tembakau Jawa II. Untuk itu sudah dikirim sekitar 25.000 bal lagi dengan kapal Bontang. Kapal Bontang pun ternyata terlambat tiba di Bremen: seharusnya 9 Juni tapi baru masuk 20 Juni lalu. Kini sudah sekitar 50.000 bal tembakau dari Jawa Timur dan Jawa Tengah yang diangkut ketika kapal tadi menumpuk di Bremen. Bila dipaksakan sekaligus dilelang pekan depan, harganya akan anjloknya entah sampai di mana. Ternyata, para eksportir harus berperang urat saraf di Bremen. Masing-masing ingin agar barangnya dilelang 9-10 Juli. Sebab, setelah jadwal itu, pasar tembakau di Bremen akan libur musim panas. Lelang berikutnya baru akan dibuka 9-10 September mendatang. Barang yang tak sempat dilelang pekan depan, berarti, harus ditimbun di sana untuk tiga bulan. Tentu pemiliknya terlambat menerima uang tunai, bunga pinjaman bertambah, dan bisa dibayangkan kerepotan serta biaya yang harus ditanggung untuk menyimpan barangnya. Beberapa hal sudah bisa dihitung. Untuk sewa gudang saja diperlukan DM 1,52 per bal. Dan tidak mudah untuk mendapatkan gudang yang cocok untuk penimbunan tiga bulan di sana. Belum lagi remeh-temeh lain. Tikar, misalnya, harganya DM 21,50 per lembar. Buruh kasar untuk menjahit tikar serta menyusun kemasan tidak gampang di negeri semaju Jerman Barat -- yang mau pun jelas menuntut upah tinggi. Kemudian fumigasi untuk mencegah bahaya penyakit perlu dilakukan dua kali untuk masa tiga bulan dengan biaya DM 13,15 per bal. "Lebih parah dari semua itu, kerugian yang tak bisa dihitung dengan uang," tutur Direktur Komersial/Umum PTP 27 di Jember, Anang Sujat. Katanya, pembeli bisa menjatuhkan harga atas barang yang sudah dilihatnya menumpuk tiga bulan sebelum jadwal lelang. Dikhawatirkan, calon pembeli menganggap produksi Indonesia sedang melimpah "Mereka tentu sibuk memperkirakan apa yang terjadi di Indonesia," tambah Anang Sedangkan Ketua Indonesia Tobacco Association (ITA) Jawa Timur, R. Boedi Hidajat, khawatir kepercayaan terhadap Indonesia sebagai pemasok tembakau jadi hancur. Dalam suasana kekacauan jadwal di Bremen itu, DITH (Deutscha-Indonesische Tabak-Handelsgesellschaft mbH & Co.) yang biasa mengelola tembakau dari PTP-PTP, bergerak gesit. Dalam lelang Jawa I, yang mencatat hanya sekitar 7.500 bal milik PTP Jember, ditambahkan 5.212 bal tembakau PTP Solo, yang sebenarnya masuk jadwal lelang Jawa II. Jadi, tinggal 1.788 bal tembakau PTP Solo yang akan menunggu lelang Jawa II, 9-10 September. Sedangkan Temindo GmbH, perusahaan milik para anggota ITA di Bremen, hanya berani menambahkan pangsa dari sekitar 17.000 menjadi 20.000 bal. Sekitar 15.000 bal lebih ditahan untuk lelang berikut. Dengan demikian, jumlah tembakau yang akan dilelang pekan depan sekitar 33.000 bal. Jumlah itu, menurut Boedi Hidajat, bisa mengurangi selera pembeli. Sebab, penarikan contoh oleh pembeli tidak akan akurat. Bagaimanapun, nasib sekitar 33.000 kuintal tembakau itu akan dijadikan patokan bagi eksportir untuk menentukan patokan lelang berikutnya. Sekitar 17.000 kuintal, yang dinilai menurut LC sekitar DM 30 juta, terpaksa ditimbun tiga bulan di Bremen. Soeyitno Ch., Sekretaris ITA Jember, memperkirakan harga lelang pekan depan "normal seperti tahun lalu, DM 6-DM 34 per pon sesuai dengan mutu, atau hancur". Namun, para pengurus ITA di Jawa Timur yakin bahwa tembakau Jawa, khususnya jenis Besoeki Na Oogst, belum akan terkupas dari cerutu Eropa, kendati ada saingan dari Kamerun dan Italia. Sementara ini di Indonesia, ITA mencoba mengklaim pemilik kapal. Pembicaraan dilakukan sudah sampai ke tingkat Departemen Perdagangan, tapi tampaknya tak akan mungkin. Menurut Direktur Djasagetri (Djakarta Lloyd, Samudera Indonesia, Gesuri, dan Trikora Lloyd) -- grup dari INSA yang menangani khusus jalur angkutan samudra ke Eropa -- sudah sejak konperensi 1936 ditentukan dalam setiap surat perjanjian muatan kapal laut (Bill of Lading) bahwa pengirim barang tak bisa menuntut kerugian akibat keterlambatan kapal. Pengorbanan eksportir memakai pelayaran nasional yang didasarkan pada nasionalisme belaka, menurut Ketua ITA Pusat, H. Ismail, tampaknya dianggap maskapai pelayaran sebagai kegoblokan eksportir sendiri. "Kini kami bakal bertindak zakelijk. Jika pelayaran nasional tetap brengsek, kapal siapa pun akan kami pakai," tutur Ismail. Namun, peristiwa yang menimpa eksportir tembakau Jawa itu, harap dicatat, baru sekali ini terjadi selama 27 tahun. Konon, tarif angkutan Djasagetri juga masih cukup bersaing dengan yang ditawarkan pihak asing. "Kalau tidak, mana bisa kami dapat muatan?" tutur sumber dari Djasagetri. Max Wangkar, Laporan Yopie Hidayat (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini