Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Departemen Ekonomi Universitas Andalas Syafruddin Karimi menilai instruksi Presiden Prabowo Subianto menghapus kuota impor bertentangan dengan semangat swasembada pangan yang selama ini menjadi program pemerintah. Apabila rencana ini terjadi, Syafruddin mengatakan, publik bisa mempersoalkan retorika Prabowo dengan praktik kebijakan. “Sulit dipercaya Presiden Prabowo, yang selama ini dikenal sebagai sosok yang vokal menentang neoliberalisme dan dominasi asing, akan mengambil langkah yang kontradiktif seperti menghapus kuota impor secara sepihak,” kata Syafruddin dalam keterangan tertulis kepada Tempo, Rabu, 10 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Presiden Prabowo telah menginstruksikan kepada para menteri untuk menghapuskan kuota impor terutama untuk barang-barang kebutuhannya diperlukan oleh banyak orang. Sebab, kuota impor dinilai menghambat kelancaran perdagangan. “Siapa yang mampu, siapa yang mau impor, silakan, bebas. Tidak lagi kami tunjuk-tunjuk, hanya ini yang boleh, itu tidak boleh,” kata Prabowo saat menghadiri acara Sarasehan Ekonomi yang digelar di Menara Mandiri, Jakarta, mengutip dari keterangan tertulis, pada Selasa, 8 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Prabowo mengatakan instruksi itu telah disampaikan kepada Menteri Koordinator, Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan Ketua Dewan Ekonomi Nasional. Menurut mantan Menteri Pertahanan itu, langkah penghapusan kuota impor merupakan bagian dari upaya pemerintah memberikan kemudahan bagi para pelaku usaha dan untuk merampingkan birokrasi.
Syafruddin menilai penghapusan kuota impor, khususnya untuk komoditas strategis seperti kedelai, gula, ataupun beras, secara langsung bertentangan dengan semangat swasembada pangan yang termaktub dalam visi-misi pemerintah dan berbagai pidato Prabowo. Menurut dia, swasembada pangan bukan sekadar soal ketersediaan stok, melainkan soal kemampuan bangsa memenuhi kebutuhan dasar tanpa ketergantungan berlebihan pada negara lain. “Jika kebijakan impor dibuka tanpa kontrol, maka yang terjadi bukan penguatan ketahanan, melainkan pembiaran terhadap runtuhnya ekosistem pertanian nasional,” kata dia.
Ambruknya ekosistem ini bisa membuat petani akan kehilangan insentif untuk menanam, pasar lokal akan dibanjiri produk asing, dan harga komoditas domestik akan jatuh. Dalam jangka panjang, kata Syafruddin, fondasi pangan nasional akan melemah dan menjauhkan Indonesia dari impian besar menjadi bangsa yang berdikari di sektor pangan.
Menurutnya, jika Presiden Prabowo ingin memegang teguh janji politiknya soal kedaulatan dan anti-neoliberalisme, hendaknya tidak membuka keran impor tanpa batas. “Justru yang dibutuhkan adalah reformasi menyeluruh di sektor pertanian, peningkatan produktivitas melalui teknologi dan infrastruktur, serta proteksi cerdas yang disertai evaluasi kinerja agar swasembada pangan benar-benar tercapai, bukan sekadar menjadi slogan kampanye,” kata Syafruddin.
Alfitra Nefi berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Apindo: Pelemahan Rupiah Membebani Pengusaha