Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyatakan, program 3 juta rumah yang digagas oleh presiden terpilih Prabowo Subianto dapat tingkatkan ancaman krisis pangan. Menurut dia, program ini dapat menimbulkan perebutan peruntukan lahan bagi usaha pertanian dan properti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Tanpa ada program 3 juta rumah per tahun, lahan pertanian sudah makin terdesak sekarang,” ujarnya saat dihubungi Tempo Kamis, 10 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bhima menuturkan, banyak lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi bangunan-bangunan karena bisnis properti dianggap lebih menguntungkan daripada usaha pertanian. Ia menyebut, kurangnya perhatian pemerintah pada kesejahteraan petani menjadi salah satu faktor profesi ini banyak ditinggalkan. Hal ini, menurut Bhima, dapat dilihat dari berkurangnya subsidi pupuk dalam anggaran pemerintah untuk tahun 2025.
“Kalau begitu kan input pertanian juga akan semakin mahal. Sehingga tidak banyak petani yang tertarik untuk bertani karena margin keuntungannya semakin tipis,” ujarnya.
Bhima menjelaskan, selama ini, pemerintah menutup kekurangan pasokan beras dalam negeri melalui impor dari negara lain. Namun, adanya krisis iklim global, berpotensi membuat negara-negara eksportir mengurangi ekspor bahan pangan mereka untuk cadangan dalam negeri.
"Ini kan berbahaya," ujarnya.
Bhima mengatakan, pemerintah harus mengkaji lebih dalam mengenai lokasi pembangunan jutaan rumah agar tidak mengganggu kegiatan pertanian. Sehingga pasokan bahan pangan tidak terganggu dan semakin memperparah ancaman krisis pangan.
“Kalaupun terpaksa untuk menggunakan lahan pertanian, pemerintah harus mengganti lahan pertanian tersebut di lokasi lain yang sepadan,”
Alih-alih menambah bangunan baru, menurut Bhima, pemerintah seharusnya melakukan revitalisasi bangunan apartemen dan rumah-rumah subsidi yang tidak laku dibandingkan membuat bangunan baru.
“Jangan loncat-loncat ke pembangunan rumah baru. Lebih baik lakukan revitalisasi bangunan yang sudah ada sebelumnya,” tuturnya.
Sebelumnya, lembaga riset Bright Institute merilis hasil studi yang mengungkap Indonesia memiliki potensi mengalami krisis pangan. Ekonom senior Bright Institute Awalil Rizky menyatakan, permintaan beras yang tinggi tidak dibarengi dengan suplai yang memadai membuat harga beras melambung.
“Saat ini, banyak negara yang mengamankan persediaan bahan pangan sebagai langkah preventif menghindari krisis pangan. Mereka juga membatasi ekspor,” ujarnya dalam webinar bertajuk “Rawan Pangan Mengancam” pada Selasa, 8 Oktober 2024.
Awalil menjelaskan, tren proteksionisme ini telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir. Ia menyebut, negara yang menyadari ketidakpastian kondisi pangan cenderung mengubah orientasinya ke ketahanan dalam negeri.
Adapun kondisi ini akan berdampak pada Indonesia yang jumlah penduduknya mencapai 285 juta jiwa dan berpotensi makin bertambah. “Maka kerawanan pangan akan menjadi persoalan yang jauh lebih serius,” kata Awalil.
Pilihan Editor: Terpopuler: Besaran Kenaikan Gaji dan Tunjangan Hakim yang Disetujui Kemenkeu, 12 Nama yang Dikabarkan Jadi Menteri Kabinet Prabowo