Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Ekspansi Industri Ekstraktif di Era Prabowo, JATAM: Solusi Ekonomi atau Ancaman Ekologi?

Prabowo akan melakukan transformasi ke arah hilirisasi dan industrialisasi secara besar-besaran. JATAM ingatkan percepatan kerusakan lingkungan.

14 Februari 2025 | 16.49 WIB

Tambang batubara Darma Henwa.
Perbesar
Tambang batubara Darma Henwa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintahan Prabowo Subianto diprediksi akan semakin memperluas ekspansi industri ekstraktif di Indonesia, yang berpotensi memperbesar zona pengorbanan serta memperburuk dampak lingkungan. Hal ini disampaikan Alfarhat Kasman dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Amnesty Universitas Airlangga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

“Kurang lebih ada sekitar 7.000 sampai 8.000 izin usaha pertambangan, dengan luas konsesi sekitar 10 juta hektar dan ada 291 PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap), 144 PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) dan juga 53 smelter,” ujar Alfarhat dalam diskusi terbuka yang bertajuk ‘Konsesi Tambang untuk Perguruan Tinggi, Upaya Mencapai Kemandirian Finansial atau Ancaman terhadap Independensi Akademik?’ pada Kamis, 13 Februari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Alfarhat menyoroti bagaimana kebijakan hilirisasi di era Prabowo tidak hanya melanjutkan model eksploitasi sumber daya alam dari pemerintahan sebelumnya, tetapi juga memperluas cakupannya ke lebih banyak komoditas dan entitas, termasuk ormas keagamaan dan perguruan tinggi. Ia menilai langkah ini dapat meningkatkan ketimpangan sosial dan mempercepat kerusakan lingkungan, khususnya di wilayah-wilayah kaya sumber daya alam seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera.

“Pada saat pidato perdana dari Prabowo Subianto, dia menyampaikan bahwa yang ingin kita kejar adalah swasembada energi dan itu bisa dilakukan dengan cara hilirisasi,” ujar Alfarhat. Jika pada era Jokowi hilirisasi terutama berfokus pada sektor nikel untuk produksi baterai kendaraan listrik serta pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi atau PLTP dan PLTA di wilayah timur Indonesia, pemerintahan Prabowo berpotensi memperluas skema ini ke sektor lain, termasuk batubara. 

Upaya transisi energi di masa Jokowi yang mendorong metode seperti co-firing biomassa dengan pelet kayu dalam PLTU pun dinilai kurang efektif, karena campuran tersebut tetap didominasi oleh penggunaan batubara. Dengan arah kebijakan yang serupa, perlu diantisipasi bagaimana ekspansi industri ekstraktif ini akan berdampak lebih luas terhadap lingkungan dan masyarakat di sekitar wilayah tambang.

Selain perluasan hilirisasi di sektor ekstraktif, pemerintahan Prabowo juga berpotensi mendorong teknologi gasifikasi batubara, di mana batubara tidak lagi banyak digunakan untuk PLTU, tetapi diubah menjadi gas metana. 

"Kebijakan ini, bersama dengan pengembangan blue hydrogen, dua amonia, coal bed methane, serta batubara cair, justru memperkuat ketergantungan pada energi fosil," kata Alfarhat. Ia menilai bahwa langkah-langkah ini bertentangan dengan narasi pemerintah terkait transisi energi dan justru menjadikannya tidak rasional. Alih-alih mengurangi dampak lingkungan dari sektor energi, pendekatan ini dinilai hanya mengubah bentuk eksploitasi tanpa mengurangi esensi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil.

Dengan kebutuhan energi industri hilirisasi yang diperkirakan mencapai 5 gigawatt per tahun, ketergantungan Indonesia terhadap batubara justru meningkat. Data CREA mencatat kapasitas PLTU di Indonesia naik 15 persen dari 45.000 MW pada 2023 menjadi 52.000 MW pada 2024, dengan pertumbuhan signifikan di kawasan industri smelter yang diperkirakan mencapai 17 GW pada akhir tahun. 

Sementara negara lain seperti Tiongkok mulai mengurangi eksploitasi batubara di dalam negeri dan beralih ke impor, Indonesia masih mengorbankan bentang alamnya demi industri ekstraktif. Kondisi ini menunjukkan bahwa komitmen terhadap transisi energi dan kepatuhan terhadap perjanjian iklim global masih jauh dari kenyataan.

Sebelumnya, Prabowo telah membentuk Satuan Tugas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1 Tahun 2025, yang ditandatangani pada 3 Januari 2025. Satgas ini memiliki dua misi utama, yaitu mempercepat hilirisasi di sektor mineral dan batubara, minyak dan gas bumi, pertanian, kehutanan, serta kelautan dan perikanan untuk meningkatkan nilai tambah dalam negeri, serta mewujudkan ketahanan energi nasional dengan memastikan ketersediaan energi dari berbagai sumber, baik fosil maupun terbarukan.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus