Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Eksploitasi Pekerja Sektor Perikanan Indonesia Masih Tinggi, Subsidi Nelayan Sulit

Pengusaha yang hanya mengejar keuntungan telah menyebabkan luasnya praktik kerja paksa, perdagangan manusia, dan perbudakan di sektor perikanan.

18 Maret 2024 | 14.07 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Delapan awak kapal WNI di kapal kargo di Taiwan, 28 Oktober 2022. (ANTARA FOTO/FAHMI FAHMAL SUKARDI)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti The Prakarsa, Samira Hanim, menyebut Indonesia merupakan 10 besar negara penghasil ikan terbesar di dunia, dengan produksi mencapai 5,40 juta metrik ton (MT) pada tahun 2012. Namun kurangnya kontrol atas praktik bisnis menyebabkan perlakuan eksploitatif terhadap pekerja kapal. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Pemilik kapal dan industri yang hanya mengejar keuntungan telah menyebabkan luasnya praktik kerja paksa, perdagangan manusia, dan perbudakan dalam rantai pasok perikanan,” kata Samira di Jakarta, Jumat, 15 Maret 2024, dikutip Senin, 18 Maret 2024. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jumat lalu, bersama The Transparency Indonesia, The Prakarsa menggelar seminar bertajuk tata kelola sektor perikanan. Pertemuan itu menyoroti sejumlah permasalahan yang dihadapi oleh pekerja kapal dan nelayan.

Tak hanya pekerja kapal, persoalan sektor perikanan juga dialami oleh nelayan. Ketua DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan, menyampaikan keresahannya soal subsidi perikanan. Menurut dia, World Trade Organization (WTO) secara tegas mendorong negara-negara mengurangi subsidi sehingga nelayan tak bisa mendapat subsidi yang cukup. 

“Meskipun subsidi BBM diberikan untuk nelayan kecil, namun nyatanya mereka tidak bisa mengakses BBM subsidi tersebut karena administrasi sulit dan infrastruktur pendukung terbatas," ucap Dani. "Nelayan kecil terpaksa membeli BBM mandiri yang harganya jauh lebih mahal.”

Menurut Dani, kemiskinan, permasalahan perempuan, dan pelanggaran HAM terhadap pekerja masih banyak terjadi. Dia menuntut pemerintah agar menentukan prioritas kebijakan yang efektif selama lima tahun ke depan di sektor perikanan. 

Merespons permasalahan itu, Ketua Tim Kerja Pengawakan Kapal Perikanan, Direktorat Kapal Perikanan dan Alat Penangkapan Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI (KKP), Muhammad Iqbal Gade, menyampaikan bahwa harus ada pemisahan antara aturan tenaga kerja di laut dan di darat.

"Penyadaran seluruh stakeholder atas perlindungan pada pekerja di kapal harus dilakukan, pemerintah berkomitmen untuk mengawal instrumen kontrol," ujar Iqbal.

Lebih lanjut, menurut Analis Kebijakan Ahli Madya Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Nurlaidi, kontribusi sektor perikanan untuk pendapatan negara justru masih sangat kecil. Padahal kata Nurlaidi, sejumlah insentif fiskal untuk sektor perikanan sudah cukup banyak diberikan pemerintah, mulai dari instrumen pajak hingga bentuk insentif lainnya.

"Insentif diberikan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan dapat memberikan kontribusi ke negara. Tapi, memang kontribusi penerimaan sektor perikanan masih sangat kecil di bawah 1% dari PDB,” tuturnya.

Savero Aristia Wienanto

Savero Aristia Wienanto

Bergabung dengan Tempo sejak 2023, alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ini menaruh minat dalam kajian hak asasi manusia, filsafat Barat, dan biologi evolusioner.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus