JALAN panjang yang ditempuh PT E windo ternyata tidak sia-sia.
Pembuat kawat listrik dari Bandung itu, sesudah melewati ujian
kualitas secara ketat, akhirnya (18 Oktober) mendapat sertifikat
Japan Industrial Standard (JIS). Dengan mengantungi sertifikat
itu, produk Ewindo hari-hari mendatang bakal dengan mudah
memasuki Jepang. "Tujuan karni memang ke sana," ujar Matsunaga,
presiden direktur Ewindo, ketika merayakan pengakuan JIS itu di
Hotel Sari Pacific, Jakarta, pekan lalu.
Ewindo, patungan Merbabu Trading Co. dengan Nikkatsu Densen
Seizo (49%), Ny. Moendriati Suwarno (40,6%), dan Nikkatsu,
Bandung, (10,4%) selama tiga tahun menyiapkan saat ujian itu. Di
Tokyo, kelompok yang dipimpin Saburo Kono, direktur Ewindo,
selama dua hari menjalani ujian mengenai proses produksi, cara
pelayanan, dan pengontrolan mutu produk. Lalu tiga penguji dari
Kementerian Perdagangan dan Industri Internasional (MITI) Jepang
masih meninjau pelaksanaan proses produksi dan manajemen
perusahaan di Bandung. Kabarnya, mereka sangat berdisiplin.
"Diajak makan bersama pun mereka tidak mau," ujar Kono.
Produksi kawat listrik Ewindo, dengan diameter 0,1 mm sampai
1,8 mm, setiap bulan rata-rata 20 ton. Sekitar 80% diserap
industri komponen lokal, seperti PT Nikkatsu Electric Works
(Bandung) yang membuat trafo untuk lampu neon. Karena permintaan
lokal lesu dan banyak muncul saingan baru, penjualan kawat
listrik perusahaan itu, menurut Matsunaga, turun dari produksi
tahun lalu. Tapi, bagi Ewindo, dengan sertifikat JlS - yang
kabarnya belum diperoleh industri serupa di sini - pasar di
Jepang kini terbuka, ujar Matsunaga.
Di pasar bebas, produk Ewindo terjual Rp 2 800 sampai 4.000 per
kg. Semakin kecil diameter kawat listrik itu, harganya semakin
mahal. Pembuatan produk itu sesungguhnya cukup sederhana, tapi
memerlukan ketelitian dan pengawasan yang tinggi. Mula-mula
bahan haku berupa kawat tembaga berdiameter 8 mm - dibeli dengan
harga Rp 2.000 per kg dari suatu pabrik di Tangerang -
dimasukkan dalam unit pengecil. Dari sini kawat yang sudah
diperkecil, dengan diameter berbeda-beda itu, dilapisi cairan
pernis (pewarna) dalam bak celup, sebanyak tiga kali sesuai
dengan ketebalan lapisan yang dikehendaki.
Semua proses produksi diawasi ketat oleh dua tenaga ahli mutu
dari induk perusahaan Nikkatsu. Di bagian penghalusan dan
pelapisan kawat, faktor ketelitian sangat diperhatikan.
"Sedikit saja ada perbedaan pada tebal lapisan pewarna dan
diameter, bisa diklaim konsumen," ujar Sujadi, kepala bagian
umum Ewindo. Tapi pekerjaan teknis lain dilakukan karyawan sini.
Kawat Ewindo yang sebelumnya juga sudah mendapat Standar
Industri Indonesia (SII) kini sudah dijadikan bahan baku utama
pembuatan beberapa komponen listrik. Padahal, dulu "cuma sebagai
bahan pengganti saja," kata Matsunaga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini