Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sehabis telur pecah

Nilai rupiah terhadap dolar mengalami depresiasi. kurs dolar terhadap rupiah mencapai 1000. eksportir senang, industri yang punya pasaran dalam negeri merasa rugi. (eb)

24 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYAK pemilik uang yang mulai pasang kuda-kuda di hari Rabu Wage, 14. Desember. Maklum di hari itu, 17 hari sebelum tutup tahun 1983, money changers (tempat penukaran valuta asing) di Jakarta memasang kurs jual Rp 1.000 untuk satu dolar AS. Beberapa hari sebelumnya, ketika kurs jual di tempat penukaran uang sudah pasang menjadi Rp 998 untuk satu dolar, banyak orang memang sudah menunggu-unggu "telur akan segera pecah," kata seorang pedagang valuta asing. Sekalipun begitu, "belum terasa adanya rush - orang menyerbu dolar," kata Fuady Mourad, direktur Panin Bank. Syukur, rush yang ditakuti itu tidak terjadi. Apalagi, sehari setelah itu kurs tadi turun lagi menjadi 998, untuk kemudian naik lagi menjadi 1.000 pada 16 Desember, dan bertahan sampai awal minggu ini. Dari Bank Indonesia sendiri tampak ada upaya untuk mengendalikan kurs tengah di Bursa Valuta Asing (BVA) sebanyak enam point di bawah: Rp 994 untuk satu dolar. Namun, penjualan valuta asing lewat BVA pada 14 Desember itu mencapai US$ 37,5 juta. Akhir September lalu, jumlahnya baru US$ 3,25 juta dengan kurs tengah Rp 982. Kurs rupiah bulan-bulan terakhir ini tampak mengalami depresiasi yang agak kencang (lihat grafik). Tapi banyak ekonom bersepakat, tak ada alasan buat pemerintah untuk melakukan tindakan devaluasi lagi. Apalagi tingkat inflasi masih bisa dikendalikan sekitar 12% tahun ini. Dan sidang OPEC di Jenewa, yang berakhir 9 Desember lalu, bersepakat membekukan harga patokan minyak mentah US$ 29 per barel dan kuota produksi total minyak OPEC yang resminya tak boleh melampaui 17,5 juta barel sehari. Kalau saja pada bulan Februari harga minyak tidak melorot sebanyak US$ 5 per barel, kurs rupiah yang ketika itu Rp 700 untuk satu dolar pasti tak akan didevaluasikan hingga melonjak menjadi Rp 970. Kendali terhadap rupiah - sebelum sidang OPEC di London memutuskan menurunkan harga minyak dari US$ 34 menjadi 29 per barel memang belum dikendurkan benar sekalipun harga minyak mulai tidak keruan. Kendali itu hanya dikendurkan - secara pelan, hampir dengan perasaan - oleh Bank Indonesia, dengan membiarkan depresiasi rupiah merangkak hingga mencapai 700 untuk satu dolar pada awal Maret lalu. Kini dengan ekonomi AS yang mulai bangkit kembali (lihat: Si Jumbo Bangkit . . . ), dan ekonomi Jepang yang, seperti kata Prof. Moh. Sadli, "kesehatan tubuh ekonominya tidak terganggu penyakit dalam yang struktural", (TEMPO, 10 Desember), kedua negeri industri itu diperkirakan tetap mampu menyerap ekspor minyak dari Indonesia, paling sedikit sama dengan tahun ini. Menguatnya dolar memang merupakan kabar baik buat ekspor minyak, kayu lapis, dan nonminyak lainnya. Tapi bagi sektor industri, terutama perusahaan yang memperoleh kredit investasi dan modal kerja dari valuta asing, menguatnya sang dolar itu agaknya memusingkan juga. Ambil saja pabrik tekstil Kanebo Tomen Sandang Synthetics Mills (KTSM). Pimpinan pabrik itu mengatakan, harus selalu menyesuaikan harga jual produksinya, tetoron cotton, untuk pasaran dalam negeri. "Harga akan terus memngkat, menyesuaikan dengan nilai tukar yang juga meningkat," kata A. Toishi, manajer KTSM. Upaya itu terpaksa dilakukan KTSM untuk, kata Toishi, "menutup kerugian selisih kurs dolar dengan rupiah dalam pembayaran utang nanti." Kalau beleid menaikkan harga itu ditempuh terus, pasar dalam negeri yang mulai pulih bukan mustahil akan kendur lagi. Itu pula sebabnya KTSM lalu berusaha memanfaatkan menguatnya dolar dengan mencoba meraih pasaran yang lebih besar di luar negeri, terutama ke AS. Jika tahun ini volume ekspor KTSM baru 7,2 juta yard, maka tahun depan pabrik itu mencanangkan bisa melempar 10 juta yard, bernilai US$ 6 juta dari produksi total yang 24 juta yard. Toishi agaknya melihat peluang itu, terutama setelah AS memutuskan untuk memberlakukan kuota yang amat ketat bagi tekstil dari RRC dan Taiwan. "Itu menambah kemungkinan kami mengekspor lebih banyak ke sana," katanya. Peluang tampaknya masih ada. Sampai awal pekan ini belum ada tanda-tanda Bank Sentral AS akan melonggarkan suplai dolarnya. Lebih-lebih, ancaman untuk melakukan intervensi ke pasar bebas, seperti yang terjadi bulan Juni lalu. Ketika itu, AS bersama sejumlah negara industri turut memompa dolar bernilai 3 milyar ke pasar bebas, dengan memborong mata uang mark Jerman Barat, franc Prancis, dan mata uang kuat beberapa negeri Eropa lain. Maksudnya, tak lain, adalah untuk mengerem laju kenaikan dolar. Tapi tindakan intervensi itu ternyata tak berpengaruh banyak. Nyatanya, dolar sampai sekarang tetap bertengger sekuat posisinya pada bulan Agustus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus