BANYAK pemilik uang yang mulai pasang kuda-kuda di hari Rabu
Wage, 14. Desember. Maklum di hari itu, 17 hari sebelum tutup
tahun 1983, money changers (tempat penukaran valuta asing) di
Jakarta memasang kurs jual Rp 1.000 untuk satu dolar AS.
Beberapa hari sebelumnya, ketika kurs jual di tempat penukaran
uang sudah pasang menjadi Rp 998 untuk satu dolar, banyak orang
memang sudah menunggu-unggu "telur akan segera pecah," kata
seorang pedagang valuta asing. Sekalipun begitu, "belum terasa
adanya rush - orang menyerbu dolar," kata Fuady Mourad, direktur
Panin Bank.
Syukur, rush yang ditakuti itu tidak terjadi. Apalagi, sehari
setelah itu kurs tadi turun lagi menjadi 998, untuk kemudian
naik lagi menjadi 1.000 pada 16 Desember, dan bertahan sampai
awal minggu ini. Dari Bank Indonesia sendiri tampak ada upaya
untuk mengendalikan kurs tengah di Bursa Valuta Asing (BVA)
sebanyak enam point di bawah: Rp 994 untuk satu dolar. Namun,
penjualan valuta asing lewat BVA pada 14 Desember itu mencapai
US$ 37,5 juta. Akhir September lalu, jumlahnya baru US$ 3,25
juta dengan kurs tengah Rp 982.
Kurs rupiah bulan-bulan terakhir ini tampak mengalami depresiasi
yang agak kencang (lihat grafik). Tapi banyak ekonom bersepakat,
tak ada alasan buat pemerintah untuk melakukan tindakan
devaluasi lagi. Apalagi tingkat inflasi masih bisa dikendalikan
sekitar 12% tahun ini. Dan sidang OPEC di Jenewa, yang berakhir
9 Desember lalu, bersepakat membekukan harga patokan minyak
mentah US$ 29 per barel dan kuota produksi total minyak OPEC
yang resminya tak boleh melampaui 17,5 juta barel sehari.
Kalau saja pada bulan Februari harga minyak tidak melorot
sebanyak US$ 5 per barel, kurs rupiah yang ketika itu Rp 700
untuk satu dolar pasti tak akan didevaluasikan hingga melonjak
menjadi Rp 970. Kendali terhadap rupiah - sebelum sidang OPEC di
London memutuskan menurunkan harga minyak dari US$ 34 menjadi 29
per barel memang belum dikendurkan benar sekalipun harga minyak
mulai tidak keruan. Kendali itu hanya dikendurkan - secara
pelan, hampir dengan perasaan - oleh Bank Indonesia, dengan
membiarkan depresiasi rupiah merangkak hingga mencapai 700 untuk
satu dolar pada awal Maret lalu.
Kini dengan ekonomi AS yang mulai bangkit kembali (lihat: Si
Jumbo Bangkit . . . ), dan ekonomi Jepang yang, seperti kata
Prof. Moh. Sadli, "kesehatan tubuh ekonominya tidak terganggu
penyakit dalam yang struktural", (TEMPO, 10 Desember), kedua
negeri industri itu diperkirakan tetap mampu menyerap ekspor
minyak dari Indonesia, paling sedikit sama dengan tahun ini.
Menguatnya dolar memang merupakan kabar baik buat ekspor minyak,
kayu lapis, dan nonminyak lainnya. Tapi bagi sektor industri,
terutama perusahaan yang memperoleh kredit investasi dan modal
kerja dari valuta asing, menguatnya sang dolar itu agaknya
memusingkan juga.
Ambil saja pabrik tekstil Kanebo Tomen Sandang Synthetics Mills
(KTSM). Pimpinan pabrik itu mengatakan, harus selalu
menyesuaikan harga jual produksinya, tetoron cotton, untuk
pasaran dalam negeri. "Harga akan terus memngkat, menyesuaikan
dengan nilai tukar yang juga meningkat," kata A. Toishi, manajer
KTSM. Upaya itu terpaksa dilakukan KTSM untuk, kata Toishi,
"menutup kerugian selisih kurs dolar dengan rupiah dalam
pembayaran utang nanti."
Kalau beleid menaikkan harga itu ditempuh terus, pasar dalam
negeri yang mulai pulih bukan mustahil akan kendur lagi. Itu
pula sebabnya KTSM lalu berusaha memanfaatkan menguatnya dolar
dengan mencoba meraih pasaran yang lebih besar di luar negeri,
terutama ke AS. Jika tahun ini volume ekspor KTSM baru 7,2 juta
yard, maka tahun depan pabrik itu mencanangkan bisa melempar 10
juta yard, bernilai US$ 6 juta dari produksi total yang 24 juta
yard.
Toishi agaknya melihat peluang itu, terutama setelah AS
memutuskan untuk memberlakukan kuota yang amat ketat bagi
tekstil dari RRC dan Taiwan. "Itu menambah kemungkinan kami
mengekspor lebih banyak ke sana," katanya.
Peluang tampaknya masih ada. Sampai awal pekan ini belum ada
tanda-tanda Bank Sentral AS akan melonggarkan suplai dolarnya.
Lebih-lebih, ancaman untuk melakukan intervensi ke pasar bebas,
seperti yang terjadi bulan Juni lalu. Ketika itu, AS bersama
sejumlah negara industri turut memompa dolar bernilai 3 milyar
ke pasar bebas, dengan memborong mata uang mark Jerman Barat,
franc Prancis, dan mata uang kuat beberapa negeri Eropa lain.
Maksudnya, tak lain, adalah untuk mengerem laju kenaikan dolar.
Tapi tindakan intervensi itu ternyata tak berpengaruh banyak.
Nyatanya, dolar sampai sekarang tetap bertengger sekuat
posisinya pada bulan Agustus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini