SEJENIS agar-agar dari air kelapa tua, yang disebut nata de
coco, telah dibajak siswa-siswa SMA Regina Pacis, Bogor?
Dalam acara Krida Remaja TVRI beberapa waktu lalu, beberapa
siswa SMA itu memperagakan pembuatan sejenis agar-agar dari air
kelapa tua. Ada kesan, para remaja itulah yang menemukan
resepnya. Dalam acara itu tak disebut-sebut bahan-bahan bacaan.
Tapi, 10 Desember lalu muncul surat pembaca di harian Kompas,
dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Hasil
Pertanian. Surat yang dikirim oleh Ir. Atih Siryati itu
menyatakan, peragaan pembuatan nata de coco oleh siswa-siswa SMA
Regina Pacis, sebenarnya, "hasil penelitian kami yang diambil
demikian saja dan dalam siaran diakui sebagai hasil mereka."
Bukan cuma agar-agar Filipina itu yang disebut-sebut surat itu,
tapi juga resep pembuatan santan tahan basi dan madu kelapa,
yang diperagakan di TVRI, 28 November lalu, oleh siswa-siswa SMA
yang sama.
Di tengah berkembangnya kegiatan ilmiah remaja kini - misalnya
jumlah peserta lomba karya ilmu pengetahuan selalu meningkat
dari tahun ke tahun - teguran Atih Suryati, 35, mengundang
perhatian. Dan, tentu, bagi SMA Regina Pacis, yang termasuk
sekolah favorit di Bogor, surat itu terasa tak enak.
Apalagi, selama ini SMA itu tak pernah absen dalam lomba-lomba
karya ilmu pengetahuan. Bahkan tahun ini, Hesty Widayani, siswa
SMA tadi, menjadi juara pertama dalam Lomba Karya Ilmu
Pengetahuan Departemen P & K. Ia tahun depan berhak mewakili
remaja Indonesia dalam kontes ilmuwan remaja di Eropa (TEMPO, 22
Agustus).
Dan, sebenarnya, bukan baru kali itu SMA Regina Pacis mengisi
acara Krida Remaja, acara yang diasuh LIPI dan TVRI sejak tiga
tahun lalu. Sudah 11 kali siswa-siswa SMA itu muncul di layar
televisi memperagakan pembuatan ini dan itu, yang bersifat karya
ilmu pengetahuan. Dan sebelum mereka muncul di TVRI, sudah
tentu, LIPI menilai apakah percobaan para remaja itu layak
ditampilkan.
Menurut Soedito, kepala Biro Hubungan Masyarakat LIPI, pihaknya
antara lain menilai pilihan obyek yang hendak diperagakan. Lalu,
mengamati sistematika pembuatan, dan hasilnya. "Tapi yang
ditekankan ialah bagaimana siswa-siswa itu mengatasi masalah
yang muncul dalam percobaan itu," katanya.
Rupanya, yang ditekankan dalam acara Krida Remaja memang berbeda
dengan lomba karya ilmu pengetahuan. Yang pertama menekankan
bagaimana para remaja itu menjelaskan secara urut proses
pembuatan, misalnya, nata de coco itu. Tak menjadi masalah
apakah proses itu persis sama dengan yang pernah dilakukan pihak
lain.
Toh, biasanya, pihak LIPI pun menanyakan sumber informasi
percobaan itu bila siswa-siswa lupa mengatakannya. Dan dalam
rencana acara peragaan pembuatan berbagai produk dari air kelapa
yang lalu, memang siswa SMA Regina Pacis menyebutkan bermacam
daftar bacaan. "Salah satunya, dikatakan kepada kami, bahan dari
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Hasil Pertanian
di Bogor itu," kata Soedito pula.
Bila Balai Besar Penelitian di Bogor itu merasa tak enak dengan
penampilan Regina Pacis, bisa dimaklumi. Balai Besar itulah yang
dulu, menurut Atih Suryati, bersusah payah bikin percobaan
bagaimana membuat nata de coco, agar-agar khas Filipina yang
enak itu. Sebab, ketika Darjo Somaatmaja, kepala Balai Besar,
membawa nata de coco ke Indonesia, 1971, proses pembuatan belum
diketahui secara persis. Konon, memang dirahasiakan oleh
orang-orang Filipina.
Baru pada 1975 Balai Besar berhasil membuat resep nata de coco,
bahkan lebih baik daripada resep Filipina. "Kadar gula nata de
coco Filipina 10%. Tapi, menurut percobaan kami, yang paling
naik kadar gulanya cuma 7% " tutur Atih, alumnus IPB itu.
Agar-agar Filipina itu pertama kali diperkenalkan dalam Seminar
Teknologi Pangan II, di Bogor, 1975. Dan kini, paling tidak,
tercatat empat pabrik pembuatan sejenis agar-agar yang biasanya
dimakan dengan sirup itu, di Bogor.
Jadi, benarkah siswa SMA Regina Pacis menjiplak? Menurut Wendie
Razi, 30, guru Kimia yang juga menjadi pembimbing siswa dalam
penelitian, siswa-siswanya memang suka keluar-masuk
lembaga-lembaga penelitian.
"Jadi, seandainya sumber nata de coco dan santan awet adalah
Balai Besar, tentu sudah seizin Pak Darjo, kepalanya," kata
Wendie, membela siswa-siswanya.
Dari pihak TVRI pun tak ada kekeliruan, misalnya salah
penyuntingan gambar hingga ada bagian yang hilang. Andil TVRI
dalam acara ini tentu saja bukan dalam segi ilmiahnya. "Kami
hanya mengurus segi produksi," kata Suhardi Syalnas, salah
seorang pengarah acara Krida Remaja. "Misalnya, di hadapan
kamera siswa-siswa itu gugup atau tidak."
Sementara itu, siswa yang muncul di TVRI itu sendiri
tenang-tenang saja. "Kami sih, tak peduli amat," kata Devi,
salah seorang dari empat siswa SMA Regina Pacis yang muncul
dalam Krida Remaja, 28 November lalu. Tapi kini siswa SMA Regina
Pacis sering diledek siswa SMA lain. "E, kena lu, bisanya
nyontek, sih . . . "
Agaknya, memang ada kesalahpahaman, seperti yang dikatakan
kepala SMA Regina Pacis dalam surat pembaca di Kompas pekan
lalu. Dan itu, karena "anak-anak itu memang salah, tak
menyebutkan sumber bacaan mereka," kata Nyonya Khoiruddin, ibu
Devi, yang rupanya cukup rendah hati.
Sebenarnya Balai Besar tak usah bicara keras. Sebab, seperti
dikatakan Atih Suryati kemudian, baik nata de coco maupun santan
tahan basi bukan asli penemuan Balai Besar. Jadi, bisa saja
siswa-siswa itu memperoleh sumber bahan dari lembaga lain.
Bagaimanapun, ini sebuah pelajaran untuk tak mengaku-ngaku teori
hasil pikiran sendiri, sementara yang dilakukan cuma
mempraktekkan teori orang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini