Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Nata de coco dari regina pacis

Peragaan hasil penemuan siswa regina pacis, dituduh membajak hasil penelitian balai besar litbang industri hasil pertanian.(pdk)

24 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJENIS agar-agar dari air kelapa tua, yang disebut nata de coco, telah dibajak siswa-siswa SMA Regina Pacis, Bogor? Dalam acara Krida Remaja TVRI beberapa waktu lalu, beberapa siswa SMA itu memperagakan pembuatan sejenis agar-agar dari air kelapa tua. Ada kesan, para remaja itulah yang menemukan resepnya. Dalam acara itu tak disebut-sebut bahan-bahan bacaan. Tapi, 10 Desember lalu muncul surat pembaca di harian Kompas, dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Hasil Pertanian. Surat yang dikirim oleh Ir. Atih Siryati itu menyatakan, peragaan pembuatan nata de coco oleh siswa-siswa SMA Regina Pacis, sebenarnya, "hasil penelitian kami yang diambil demikian saja dan dalam siaran diakui sebagai hasil mereka." Bukan cuma agar-agar Filipina itu yang disebut-sebut surat itu, tapi juga resep pembuatan santan tahan basi dan madu kelapa, yang diperagakan di TVRI, 28 November lalu, oleh siswa-siswa SMA yang sama. Di tengah berkembangnya kegiatan ilmiah remaja kini - misalnya jumlah peserta lomba karya ilmu pengetahuan selalu meningkat dari tahun ke tahun - teguran Atih Suryati, 35, mengundang perhatian. Dan, tentu, bagi SMA Regina Pacis, yang termasuk sekolah favorit di Bogor, surat itu terasa tak enak. Apalagi, selama ini SMA itu tak pernah absen dalam lomba-lomba karya ilmu pengetahuan. Bahkan tahun ini, Hesty Widayani, siswa SMA tadi, menjadi juara pertama dalam Lomba Karya Ilmu Pengetahuan Departemen P & K. Ia tahun depan berhak mewakili remaja Indonesia dalam kontes ilmuwan remaja di Eropa (TEMPO, 22 Agustus). Dan, sebenarnya, bukan baru kali itu SMA Regina Pacis mengisi acara Krida Remaja, acara yang diasuh LIPI dan TVRI sejak tiga tahun lalu. Sudah 11 kali siswa-siswa SMA itu muncul di layar televisi memperagakan pembuatan ini dan itu, yang bersifat karya ilmu pengetahuan. Dan sebelum mereka muncul di TVRI, sudah tentu, LIPI menilai apakah percobaan para remaja itu layak ditampilkan. Menurut Soedito, kepala Biro Hubungan Masyarakat LIPI, pihaknya antara lain menilai pilihan obyek yang hendak diperagakan. Lalu, mengamati sistematika pembuatan, dan hasilnya. "Tapi yang ditekankan ialah bagaimana siswa-siswa itu mengatasi masalah yang muncul dalam percobaan itu," katanya. Rupanya, yang ditekankan dalam acara Krida Remaja memang berbeda dengan lomba karya ilmu pengetahuan. Yang pertama menekankan bagaimana para remaja itu menjelaskan secara urut proses pembuatan, misalnya, nata de coco itu. Tak menjadi masalah apakah proses itu persis sama dengan yang pernah dilakukan pihak lain. Toh, biasanya, pihak LIPI pun menanyakan sumber informasi percobaan itu bila siswa-siswa lupa mengatakannya. Dan dalam rencana acara peragaan pembuatan berbagai produk dari air kelapa yang lalu, memang siswa SMA Regina Pacis menyebutkan bermacam daftar bacaan. "Salah satunya, dikatakan kepada kami, bahan dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Hasil Pertanian di Bogor itu," kata Soedito pula. Bila Balai Besar Penelitian di Bogor itu merasa tak enak dengan penampilan Regina Pacis, bisa dimaklumi. Balai Besar itulah yang dulu, menurut Atih Suryati, bersusah payah bikin percobaan bagaimana membuat nata de coco, agar-agar khas Filipina yang enak itu. Sebab, ketika Darjo Somaatmaja, kepala Balai Besar, membawa nata de coco ke Indonesia, 1971, proses pembuatan belum diketahui secara persis. Konon, memang dirahasiakan oleh orang-orang Filipina. Baru pada 1975 Balai Besar berhasil membuat resep nata de coco, bahkan lebih baik daripada resep Filipina. "Kadar gula nata de coco Filipina 10%. Tapi, menurut percobaan kami, yang paling naik kadar gulanya cuma 7% " tutur Atih, alumnus IPB itu. Agar-agar Filipina itu pertama kali diperkenalkan dalam Seminar Teknologi Pangan II, di Bogor, 1975. Dan kini, paling tidak, tercatat empat pabrik pembuatan sejenis agar-agar yang biasanya dimakan dengan sirup itu, di Bogor. Jadi, benarkah siswa SMA Regina Pacis menjiplak? Menurut Wendie Razi, 30, guru Kimia yang juga menjadi pembimbing siswa dalam penelitian, siswa-siswanya memang suka keluar-masuk lembaga-lembaga penelitian. "Jadi, seandainya sumber nata de coco dan santan awet adalah Balai Besar, tentu sudah seizin Pak Darjo, kepalanya," kata Wendie, membela siswa-siswanya. Dari pihak TVRI pun tak ada kekeliruan, misalnya salah penyuntingan gambar hingga ada bagian yang hilang. Andil TVRI dalam acara ini tentu saja bukan dalam segi ilmiahnya. "Kami hanya mengurus segi produksi," kata Suhardi Syalnas, salah seorang pengarah acara Krida Remaja. "Misalnya, di hadapan kamera siswa-siswa itu gugup atau tidak." Sementara itu, siswa yang muncul di TVRI itu sendiri tenang-tenang saja. "Kami sih, tak peduli amat," kata Devi, salah seorang dari empat siswa SMA Regina Pacis yang muncul dalam Krida Remaja, 28 November lalu. Tapi kini siswa SMA Regina Pacis sering diledek siswa SMA lain. "E, kena lu, bisanya nyontek, sih . . . " Agaknya, memang ada kesalahpahaman, seperti yang dikatakan kepala SMA Regina Pacis dalam surat pembaca di Kompas pekan lalu. Dan itu, karena "anak-anak itu memang salah, tak menyebutkan sumber bacaan mereka," kata Nyonya Khoiruddin, ibu Devi, yang rupanya cukup rendah hati. Sebenarnya Balai Besar tak usah bicara keras. Sebab, seperti dikatakan Atih Suryati kemudian, baik nata de coco maupun santan tahan basi bukan asli penemuan Balai Besar. Jadi, bisa saja siswa-siswa itu memperoleh sumber bahan dari lembaga lain. Bagaimanapun, ini sebuah pelajaran untuk tak mengaku-ngaku teori hasil pikiran sendiri, sementara yang dilakukan cuma mempraktekkan teori orang lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus