Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Food Estate Dikembangkan di Papua dan Sumatera, Greenpeace: Ancaman Baru Kerusakan Lingkungan

Greenpeace kritik rencana pengembangan food estate di Papua, Sumatera Selatan, dan Nusa Tenggara Timur.

12 Februari 2024 | 11.14 WIB

Aktivis Greenpeace, LBH Kalimantan Tengah, Save Our Borneo, dan Walhi Kalimantan Tengah meniru Presiden Joko Widodo saat berjalan di kawasan proyek food estate yang sedang dikerjakan Kementerian Pertahanan di Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Aksi ini bertepatan dengan pertemuan COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab yang juga dihadiri oleh Presiden Joko Widodo. Kredit: Jurnasyanto Sukarno/Greenpeace
Perbesar
Aktivis Greenpeace, LBH Kalimantan Tengah, Save Our Borneo, dan Walhi Kalimantan Tengah meniru Presiden Joko Widodo saat berjalan di kawasan proyek food estate yang sedang dikerjakan Kementerian Pertahanan di Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Aksi ini bertepatan dengan pertemuan COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab yang juga dihadiri oleh Presiden Joko Widodo. Kredit: Jurnasyanto Sukarno/Greenpeace

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Juru Kampanye Hutan (Forest Campaigner) Greenpeace Southeast Asia, Iqbal Damanik, menanggapi rencana pemerintah untuk melanjutkan mega proyek lumbung pangan atau food estate di wilayah lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Adapun sejumlah wilayah yang tengah dipertimbangkan sebagai lahan food estate baru adalah Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua, dan Sumatera Selatan. Hal ini diungkapkan oleh Asisten Deputi Percepatan dan Pemanfaatan Pembangunan Kemenko Perekonomian, Suroto pada Rabu, 7 Februari 2024. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Iqbal, program food estate ini tidak berpihak pada lingkungan dan masyarakat sekitar, terutama petani. “Jadi kita melihat industrialisasi pertanian bukan solusi untuk mengatasi krisis pangan dari ancaman krisis iklim yang sudah terjadi,” kata dia kepada Tempo, dikutip Senin, 12 Februari 2024.

Dia kemudian mencontohkan seperti food estate di Zanegi, Papua, di mana masyarakat justru kehilangan sumber pangan karena masuknya proyek food estate. Hal ini karena wilayah-wilayah sagu mereka ditebangi dan diupayakan menjadi padi, namun berujung gagal.

Oleh karena itu, dia mengatakan proyek food estate yang diharapkan untuk mengatasi pangan tapi justru berubah menjadi ancaman terhadap pangan lokal.

Lebih lanjut, Iqbal menegaskan bahwa proyek tersebut tidak melibatkan petani. “Di beberapa yang sudah kejadian, di Humbahas misalnya, petani malah terkunci. Mereka tidak bisa menjual hasil panennya selain kepada perusahaan yang sudah ditentukan oleh food estate dari si pemilik bibit,” kata dia.

Selain itu, meski diklaim tidak terdeforestasi secara langsung, Iqbal menyebut beberapa dampak lingkungan yang mungkin terjadi, seperti monokultur yang menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati di wilayah tersebut, hingga menyebabkan transboundary haze.

Sebelumnya, Suroto menyatakan bahwa pemerintah akan mengembangkan sebaran wilayah lumbung pangan. Ada sejumlah daerah yang diusulkan untuk menjadi lokasi food estate. “Ada usulan di NTT, Papua dan Sumatera Selatan. Tapi itu masih masuk di masterplan yang baru. Masterplan yang lama kan baru Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara,” kata dia. 

DEFARA DHANYA | ANNISA FEBIOLA

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus