Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Indonesia berhasil menambah penguasaan saham sebesar 10 persen di PT Freeport Indonesia menjadi 61 persen bersamaan dengan perpanjangan izin pertambangan selama 20 tahun sampai 2061.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan divestasi saham itu sebagai, "Kita kembalikan itu milik orang Indonesia."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Sehingga, total saham (Freeport) di pemerintah 61 persen," kata Bahlil dalam acara Kuliah Umum Potensi Investasi di IKN dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Nasional di Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru pada Kamis, 2 Mei 2024.
Menurut Bahlil, pemerintah memang terus berupaya menguasai saham PT Freeport Indonesia (PTFI). Hal ini terbukti dari peningkatan kepemilikan saham hingga Pemerintah Indonesia menjadi pemegang saham mayoritas.
Upaya menguasai sebagian saham perusahaan tambang emas dan tembaga yang beroperasi di Papua sejak awal Orde Baru ini, sudah dilakukan sejak lama mulai dari pembelian 10 persen oleh perusahaan Grup Bakrie sampai skandal Papa Minta Saham.
Dari Freeport ke Bakrie Lalu Kembali ke Freeport
Pada Desember 1991, Kontrak Karya II ditandatangani dan berlaku 30 tahun dengan klausul Freeport melepas saham di PTFI dalam 2 tahap. Pertama sebesar 9,36 persen yang dibeli PT Indocopper Investama Corp milik Grup Bakrie.
Tahap kedua, Freeport menawarkan 2 persen sahamnya setiap tahun sehingga saham pemerintah Indonesia mencapai 51 persen.
Setahun kemudian, PTFI mengakuisisi 49 persen saham PT Indocooper dan pada 1994, Presiden Soeharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 20/1994 tentang pelaksanaan kegiatan usaha mineral dan batu bara, yang membolehkan perusahaan asing memiliki saham hingga 100% dan bisa membeli saham perusahaan yang sudah didirikan dalam rangka penanaman modal dalam negeri.
Pada 1997, Bakrie menjual sisa sahamnya di Indocopper ke PT Nusamba Mineral Industri milik Bob Hassan, yang kemudian menjualnya ke PTFI. Walhasil Freeport menguasai 90,64 persen saham tambang di Mimika tersebut.
Papa Minta Saham
Kasus Papa Minta Saham mencuat setelah Menteri ESDM saat itu Sudirman Said melaporkan Ketua DPR Setya Novanto ke Mahkamah Kehormatan DPR (MKD) karena minta jatah 11 persen saham Freeport dengan mencatut nama Presiden Jokowi.
Laporan dibuat pada November 2015 berdasarkan rekaman percakapan Setya Novanto dengan Dirut PTFI Maroef Sjamsoeddin.
Skandal ini sempat menghebohkan dan disebut sebagai kasus "papa minta saham" sebagai plesetan dari penipuan bermodus permintaan pulsa melalui pesan singkat yang ngetop disebut "mama minta pulsa".
Sidang MKD akhirnya memutuskan Setya Novanto melanggar etik dalam pertemuan dengan pimpinan PTFI tersebut, dan menjatuhkan sanksi pencopotannya sebagai Ketua DPR pada 15 Desember 2015 dan pada hari yang sama, pimpinan Partai Golkar tersebut mengundurkan diri dari jabatannya.
Kasus ini sempat ditangani Kejaksaan Agung, namun kemudian dihentikan. Setya sendiri harus masuk penjara karena kasus korupsi e-KTP di Kementerian Dalam Negeri. Ia dihukum 15 tahun pada April 2018 karena terbukti korupsi.
Berikutnya: Pujian Bahlil untuk Jokowi
-
Menteri investasi Bahlil mengatakan, pada era sebelum 2018-2019, Indonesia hanya menguasai 10 persen saham Freeport. Namun, Presiden Jokowi berupaya mengambil sebagian saham-saham perusahaan asing yang mengelola kekayaan Indonesia. Karena itu, kata Bahlil, pembicaraan luar biasa tentang Freeport terjadi saban tahun.
"Akhirnya 2019 terjadi kesepakatan (Indonesia) membeli saham total 51 persen," kata Bahlil. "Sekarang Freeport sudah menjadi perusahaan Indonesia karena kita sudah mayoritas (pemegang saham)."
Bahlil juga mengatakan langkah Jokowi membeli saham Freeport tidak sia-sia. Sebab, kini nilai valuasi Freeport hampir US$ 20 miliar. "Rp 300 triliun," ujarnya.
Sebelumnya, Bahlil juga mengatakan kontrak Freeport perlu diperpanjang karena puncak produksi Freeport diperkirakan terjadi pada 2035. Jika kontrak tidak diperpanjang, Freeport tidak bisa melakukan eksplorasi karena terancam berhenti beroperasi.
"Produksinya habis dan eksplorasi underground itu butuh waktu 10 sampai 15 tahun," ujar Bahlil di Kementerian Investasi, Senin, 29 April 2024. "Kalau kita tidak melakukan perpanjangan (kontrak) sekarang, siap-siap aja 2040 Freeport tidak operasi."
Di sisi lain, Bahlil menilai perpanjangan kontrak Freeport bukan suatu masalah. Sebab, saat ini pemerintah sudah memegang saham Freeport sebanyak 51 persen. "Ini milik kita, kok. Barang kita, masak nggak boleh," kata dia.
TIM TEMPO
Pilihan Editor Kasus di Bea Cukai: setelah Denda Sepatu Adidas, kini Tas Hermes Dirobek